Liputan6.com, Jakarta: Bersih-bersih di Mahkamah Agung ternyata bukan perkara gampang. Sederet masalah, dari patgulipat kasus, jual-beli perkara, hingga bobroknya integritas hakim agung menjadi topik keseharian dalam pembicaraan mengenai MA. Tak heran, bila masyarakat tidak terlalu percaya dengan kinerja para penegak hukum tersebut. Karena bila berhubungan dengan MA, mereka kerap harus menjual dua sapi, tiga kerbau, dan empat kuda, hanya untuk mengurus hilangnya seekor kambing. Jumlah yang tak sedikit, tentunya.
Nada minor tentang MA sebenarnya lagu lama yang terus ditembangkan. Hampir di tiap sudut Gedung MA tercium aroma kolusi. Para calo perkara berseliweran di mana-mana. Dari pelataran parkir hingga ke dalam ruang para hakim agung. Tersiar kabar, lantai dasar dan kantin MA adalah tempat favorit bagi calo untuk menawarkan jasa dan memutuskan perkara. Makelar di MA itu biasanya tak terlalu peduli dengan tetek-bengek kasus. Yang mereka perlu adalah berapa duit di kantong "pasien" dan hakim agung yang harus dikontak untuk memutuskan kasus pesanan itu. Untuk biaya, tak perlu khawatir, karena semuanya itu bisa dibicarakan. Hanya, jumlahnya memang relatif mahal: sekitar puluhan juta sampai miliaran rupiah. Tergantung pada besarnya nilai perkara yang tengah disengketakan. Nah, kalau angka yang disepakati telah cocok, hasil putusan pun bisa sesuai dengan selera pemesan. Sungguh ironis.
Pengaturan perkara model begini ternyata bukan hanya monopoli para makelar. Sejumlah hakim agung dikabarkan bersedia untuk diajak kolusi. Maklumlah, proses rekrutmen dan pengawasan terhadap para hakim agung memang sangat lemah alias tak ketat-ketat amat. Bahkan, banyak hakim agung yang bermental bobrok dan tak mempunyai integritas baik. Itu sebabnya, pengamat masalah Indonesia Prof. Daniel Lev mengusulkan tindakan tegas untuk membenahi MA. Ia menyarankan agar pemerintah mempensiunkan seluruh hakim agung yang ada. Para penggantinya adalah mereka yang masih memiliki rasa malu dan bertekad kuat untuk menegakkan kembali kredibilitas dan kewibawaan benteng terakhir keadilan ini.
Mengenai hal itu, mantan Ketua MA periode 1992-1994 Purwoto Suhadi Gandasubrata pernah menuturkan borok ini. Sejak 1974, kolusi dan patgulipat kasus memang telah menjadi rahasia umum di MA. Situasi ini sangat berbeda dengan era 1945-1955, ketika MA digawangi para profesional hukum yang bersih dan berbobot. Saat itu, banyak hakim tua seperti Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. R.S. Kartanegara, atau Mr. R.H. Tirtaatmadja yang sangat disegani para pencari keadilan. Hardikan mereka saja bisa membuat gemetar orang-orang yang berurusan dengan keadilan.
Sayang, tambah Purwoto, riwayat para pendekar keadilan itu kini cuma kenangan kejayaan hukum di masa lampau. Pasalnya Presiden Soeharto --kala itu-- mulai mengintervensi dan mempengaruhi kekuasaan MA. Akibatnya, sejak saat itu pula, perkara di MA terus menumpuk. "Jumlahnya mencapai 15.000 perkara," kata Ketua Muda MA Bidang Peradilan Agama Drs HM. Taufik, SH. Kondisi ini akhirnya menjadi ladang subur bagi bibit kolusi. Orang-orang pun berlomba menempuh jalan tersingkat memenangi perkara dengan uang.
Nah, untuk menyelesaikan persoalan itu ternyata --lagi-lagi-- bukanlah perkara sepele. Menurut pengamat hukum J.E. Sahetapy, penyelesaian perkara yang menumpuk harus ditangani melalui mekanisme tersendiri. Misalnya saja, diperlukan suatu rambu tersendiri untuk menghalau kemungkinan terjadinya kolusi dalam proses naik banding. Ia menuturkan, pada zaman Wiryono menjadi Ketua MA, banyak putusan dan penegak hukum di Pengadilan Negeri yang bermutu. Sayangnya, ketika MA mulai direcoki penguasa, keadaan itu berubah. Banyak keputusan hakim yang tak memenuhi selera keadilan. Vonis hakim pun acap tak diterima. Kalau sudah begitu, biasanya hakim selalu bilang: Jika Anda tak puas, silahkan memakai upaya hukum banding. Ini bukti celah kolusi yang sengaja dibuka.
Patgulipat di celah ini pernah terungkap dalam kasus Gandhi Memorial School pada 1996. Saat itu, Ketua Muda MA Adi Andojo telah membagi kasus tersebut ke Tim B --sebuah tim di MA. Entah mengapa, kasus itu tiba-tiba ditangani oleh Tim D dan kemudian diputus dengan cepat. Kebijakan ini kontan membuat Adi berang. Ia langsung mempersoalkan dan memprotes kejanggalan tersebut. Namun bukannya dukungan yang didapat, Adi malah ditendang setelah diperiksa oleh tim pengawasan MA yang dipimpin oleh Sarwata.
Celah lain yang kerap diincar adalah hakim yustisial alias hakim nonpalu di MA. Para pejabat di bagian ini sebenarnya bertugas memberi ringkasan dan pertimbangan ke majelis hakim. Celakanya, di tengah tugasnya, resume kerap diplintir dan sering berbelok arah. Padahal, banyak hakim agung yang memutuskan perkara berdasarkan resume tersebut. Hasilnya mudah ditebak: putusan palsu pun berjatuhan. Sekedar contoh, pada 1990, pernah terungkap kasus pemalsuan vonis yang dilakukan Abdul Nasser, seorang pegawai MA. Bunyi putusan kasasi yang membatalkan pembebasan terdakwa penyelundupan rotan Tony Guritman lalu disulap menjadi sebaliknya.
Kisah tak adil juga pernah dialami Robert Sudjasmin, seorang pencari keadilan. Ceritanya, 10 tahun silam, ia membeli tanah seluas 8.320 meter persegi di kawasan Kelapagading, Jakarta Utara. Tanah itu ia beli dari Badan Urusan Piutang Negara melalui lelang negara terbuka. Anehnya, setahun kemudian, sertifikat tanah itu turut diakui oleh PT Summarecon Agung, pengembang perumahan Kelapagading Permai, yang kemudian menggugatnya.
Nah, ketika proses hukum itu berlangsung, seorang hakim mendatangi Robert dan menawarkan jasa baik. Menurut hakim tersebut, Robert harus dibela karena membeli tanah resmi dari negara. Sayang, kegembiraan Robert tak berlangsung lama. Rupanya ada niat tersembunyi dari tawaran hakim tersebut. Robert diminta menyediakan uang Rp 50 juta untuk memenangkan kasus itu. Robert kaget dan langsung menolak tawaran tersebut. Sebab ia tetap berkeinginan untuk menjalani proses tersebut dengan murni. Buntutnya jelas: Robert kalah di persidangan. Bukti kepemilikan yang ada di tangannya diabaikan hakim. Lantaran upaya mengajukan banding tak sukses, ia menempuh kasasi pada 1994. Hasilnya? Robert tetap kalah. Tersiar kabar, PT Summarecon Agung memberi ratusan juta rupiah kepada para hakim kasus ini.
Seperti halnya Robert, Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia Muchtar Pakpahan juga pernah dikecewakan kinerja MA. Pakpahan menilai peradilan atas dirinya berlangsung tak adil. Selain itu, perjalanan kasus kerusuhan buruh yang menimpa dirinya juga terasa janggal. Padahal, pada bulan Maret 1996, jaksa penuntut umum telah mengajukan kasus tersebut dan persidangannya digelar sebulan kemudian. Oktober 1996, vonis kasus itu baru ditetapkan. Anehnya, saat Muchtar mengajukan PK pada bulan Januari 1997, sidang baru digelar tujuh bulan kemudian, dan belum divonis sampai sekarang.
Menurut Ketua MA Sarwata, ia belum memutuskan kasus permohonan PK Pakpahan. Sepanjang pengetahuannya pula, berkas perkara PK Pakpahan malahan belum tercatat di register perkara MA. Keterangan ini jelas membuat Pakpahan kaget. Menurut dia, MA sengaja menunda kasus tersebut dengan alasan politis. Jadi, selain persoalan fulus, pertimbangan politis juga kerap membuat perkara terus saja menumpuk di MA.
Bila mau, cerita mengenaskan yang lain masih banyak untuk dibeberkan. Sayangnya, kisah patgulipat ini memang tak pernah bisa dibuktikan secara hitam putih. Kini, Robert, Rusli, Muchtar, dan ribuan pencari keadilan pun hanya bisa berharap: semoga masih ada kejujuran dan kewibawaan di tubuh MA. Semoga.(ULF)
Nada minor tentang MA sebenarnya lagu lama yang terus ditembangkan. Hampir di tiap sudut Gedung MA tercium aroma kolusi. Para calo perkara berseliweran di mana-mana. Dari pelataran parkir hingga ke dalam ruang para hakim agung. Tersiar kabar, lantai dasar dan kantin MA adalah tempat favorit bagi calo untuk menawarkan jasa dan memutuskan perkara. Makelar di MA itu biasanya tak terlalu peduli dengan tetek-bengek kasus. Yang mereka perlu adalah berapa duit di kantong "pasien" dan hakim agung yang harus dikontak untuk memutuskan kasus pesanan itu. Untuk biaya, tak perlu khawatir, karena semuanya itu bisa dibicarakan. Hanya, jumlahnya memang relatif mahal: sekitar puluhan juta sampai miliaran rupiah. Tergantung pada besarnya nilai perkara yang tengah disengketakan. Nah, kalau angka yang disepakati telah cocok, hasil putusan pun bisa sesuai dengan selera pemesan. Sungguh ironis.
Pengaturan perkara model begini ternyata bukan hanya monopoli para makelar. Sejumlah hakim agung dikabarkan bersedia untuk diajak kolusi. Maklumlah, proses rekrutmen dan pengawasan terhadap para hakim agung memang sangat lemah alias tak ketat-ketat amat. Bahkan, banyak hakim agung yang bermental bobrok dan tak mempunyai integritas baik. Itu sebabnya, pengamat masalah Indonesia Prof. Daniel Lev mengusulkan tindakan tegas untuk membenahi MA. Ia menyarankan agar pemerintah mempensiunkan seluruh hakim agung yang ada. Para penggantinya adalah mereka yang masih memiliki rasa malu dan bertekad kuat untuk menegakkan kembali kredibilitas dan kewibawaan benteng terakhir keadilan ini.
Mengenai hal itu, mantan Ketua MA periode 1992-1994 Purwoto Suhadi Gandasubrata pernah menuturkan borok ini. Sejak 1974, kolusi dan patgulipat kasus memang telah menjadi rahasia umum di MA. Situasi ini sangat berbeda dengan era 1945-1955, ketika MA digawangi para profesional hukum yang bersih dan berbobot. Saat itu, banyak hakim tua seperti Mr. Wirjono Prodjodikoro, Mr. R.S. Kartanegara, atau Mr. R.H. Tirtaatmadja yang sangat disegani para pencari keadilan. Hardikan mereka saja bisa membuat gemetar orang-orang yang berurusan dengan keadilan.
Sayang, tambah Purwoto, riwayat para pendekar keadilan itu kini cuma kenangan kejayaan hukum di masa lampau. Pasalnya Presiden Soeharto --kala itu-- mulai mengintervensi dan mempengaruhi kekuasaan MA. Akibatnya, sejak saat itu pula, perkara di MA terus menumpuk. "Jumlahnya mencapai 15.000 perkara," kata Ketua Muda MA Bidang Peradilan Agama Drs HM. Taufik, SH. Kondisi ini akhirnya menjadi ladang subur bagi bibit kolusi. Orang-orang pun berlomba menempuh jalan tersingkat memenangi perkara dengan uang.
Nah, untuk menyelesaikan persoalan itu ternyata --lagi-lagi-- bukanlah perkara sepele. Menurut pengamat hukum J.E. Sahetapy, penyelesaian perkara yang menumpuk harus ditangani melalui mekanisme tersendiri. Misalnya saja, diperlukan suatu rambu tersendiri untuk menghalau kemungkinan terjadinya kolusi dalam proses naik banding. Ia menuturkan, pada zaman Wiryono menjadi Ketua MA, banyak putusan dan penegak hukum di Pengadilan Negeri yang bermutu. Sayangnya, ketika MA mulai direcoki penguasa, keadaan itu berubah. Banyak keputusan hakim yang tak memenuhi selera keadilan. Vonis hakim pun acap tak diterima. Kalau sudah begitu, biasanya hakim selalu bilang: Jika Anda tak puas, silahkan memakai upaya hukum banding. Ini bukti celah kolusi yang sengaja dibuka.
Patgulipat di celah ini pernah terungkap dalam kasus Gandhi Memorial School pada 1996. Saat itu, Ketua Muda MA Adi Andojo telah membagi kasus tersebut ke Tim B --sebuah tim di MA. Entah mengapa, kasus itu tiba-tiba ditangani oleh Tim D dan kemudian diputus dengan cepat. Kebijakan ini kontan membuat Adi berang. Ia langsung mempersoalkan dan memprotes kejanggalan tersebut. Namun bukannya dukungan yang didapat, Adi malah ditendang setelah diperiksa oleh tim pengawasan MA yang dipimpin oleh Sarwata.
Celah lain yang kerap diincar adalah hakim yustisial alias hakim nonpalu di MA. Para pejabat di bagian ini sebenarnya bertugas memberi ringkasan dan pertimbangan ke majelis hakim. Celakanya, di tengah tugasnya, resume kerap diplintir dan sering berbelok arah. Padahal, banyak hakim agung yang memutuskan perkara berdasarkan resume tersebut. Hasilnya mudah ditebak: putusan palsu pun berjatuhan. Sekedar contoh, pada 1990, pernah terungkap kasus pemalsuan vonis yang dilakukan Abdul Nasser, seorang pegawai MA. Bunyi putusan kasasi yang membatalkan pembebasan terdakwa penyelundupan rotan Tony Guritman lalu disulap menjadi sebaliknya.
Kisah tak adil juga pernah dialami Robert Sudjasmin, seorang pencari keadilan. Ceritanya, 10 tahun silam, ia membeli tanah seluas 8.320 meter persegi di kawasan Kelapagading, Jakarta Utara. Tanah itu ia beli dari Badan Urusan Piutang Negara melalui lelang negara terbuka. Anehnya, setahun kemudian, sertifikat tanah itu turut diakui oleh PT Summarecon Agung, pengembang perumahan Kelapagading Permai, yang kemudian menggugatnya.
Nah, ketika proses hukum itu berlangsung, seorang hakim mendatangi Robert dan menawarkan jasa baik. Menurut hakim tersebut, Robert harus dibela karena membeli tanah resmi dari negara. Sayang, kegembiraan Robert tak berlangsung lama. Rupanya ada niat tersembunyi dari tawaran hakim tersebut. Robert diminta menyediakan uang Rp 50 juta untuk memenangkan kasus itu. Robert kaget dan langsung menolak tawaran tersebut. Sebab ia tetap berkeinginan untuk menjalani proses tersebut dengan murni. Buntutnya jelas: Robert kalah di persidangan. Bukti kepemilikan yang ada di tangannya diabaikan hakim. Lantaran upaya mengajukan banding tak sukses, ia menempuh kasasi pada 1994. Hasilnya? Robert tetap kalah. Tersiar kabar, PT Summarecon Agung memberi ratusan juta rupiah kepada para hakim kasus ini.
Seperti halnya Robert, Ketua Serikat Buruh Seluruh Indonesia Muchtar Pakpahan juga pernah dikecewakan kinerja MA. Pakpahan menilai peradilan atas dirinya berlangsung tak adil. Selain itu, perjalanan kasus kerusuhan buruh yang menimpa dirinya juga terasa janggal. Padahal, pada bulan Maret 1996, jaksa penuntut umum telah mengajukan kasus tersebut dan persidangannya digelar sebulan kemudian. Oktober 1996, vonis kasus itu baru ditetapkan. Anehnya, saat Muchtar mengajukan PK pada bulan Januari 1997, sidang baru digelar tujuh bulan kemudian, dan belum divonis sampai sekarang.
Menurut Ketua MA Sarwata, ia belum memutuskan kasus permohonan PK Pakpahan. Sepanjang pengetahuannya pula, berkas perkara PK Pakpahan malahan belum tercatat di register perkara MA. Keterangan ini jelas membuat Pakpahan kaget. Menurut dia, MA sengaja menunda kasus tersebut dengan alasan politis. Jadi, selain persoalan fulus, pertimbangan politis juga kerap membuat perkara terus saja menumpuk di MA.
Bila mau, cerita mengenaskan yang lain masih banyak untuk dibeberkan. Sayangnya, kisah patgulipat ini memang tak pernah bisa dibuktikan secara hitam putih. Kini, Robert, Rusli, Muchtar, dan ribuan pencari keadilan pun hanya bisa berharap: semoga masih ada kejujuran dan kewibawaan di tubuh MA. Semoga.(ULF)