Sukses

Kuasa Hukum Sebut IUP yang Ditandatangani Mardani Maming Tidak Dipersoalkan dalam Putusan

Kuasa Hukum Bendum PBNU Mardani Maiming, Irfan Idham, mengatakan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Korupsi Banjarmasin Kalimantan Selatan tidak mempersoalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ditandatangani kliennya.

Liputan6.com, Jakarta - Kuasa Hukum Bendum PBNU Mardani Maiming, Irfan Idham, mengatakan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Korupsi Banjarmasin Kalimantan Selatan tidak mempersoalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ditandatangani kliennya.

“Ini menunjukkan bahwa pelimpahan IUP kepada PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN) yang ditandatangani oleh Mardani (mantan Bupati Tanah Bumbu) tidak terkait dengan suap yang diterima oleh Dwidjono,” kata Irfan dalam keterangannya.

Dalam sidang putusan, Rabu (22/6/2022), majelis hakim memvonis terdakwa bekas Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo, bersalah menerima suap karena kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 11 Undang-Undang Tipikor) dan bukan karena tindakannya dalam merekomendasikan IUP (Pasal 12b).

Dalam persidangan sebelumnya, Dwidjono juga menyatakan bahwa Mardani Maming sebagai atasannya tidak menerima sepeser pun dari dugaan suap Rp27,65 miliar rupiah yang dia terima dari Direktur Utama PT PCN, mendiang Henri Soetio.

Irfan menjelaskan bahwa proses penerbitan surat keputusan bupati sudah sesuai prosedur karena didasarkan atas rekomendasi Kepala Dinas Pertambangan, paraf bagian hukum Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu, dua asistennya, dan status clean and clear atas IUP dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

“Kalaupun ada masalah lain dalam surat keputusan, misalnya terkait apakah IUP bisa dipindahtangankan pada saat itu (tahun 2011), semua itu bisa diperdebatkan secara hukum tapi ranahnya ada di pengadilan tata usaha negara,” kata Irfan.

2 dari 3 halaman

Vonis Dwidjono

Majelis hakim memvonis Dwidjono dua tahun penjara dan denda 500 juta rupiah. Majelis hakim menolak argumen penasihat hukum Dwidjono bahwa uang dari Henri kepada Dwidjono merupakan utang dan bukan suap.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai argumen tersebut tidak berdasar karena pinjaman dilakukan melalui rekening orang lain (seorang staf PT PCN), tanpa agunan apa pun, dan tanpa perjanjian utang piutang antara Henri dan Dwidjono. Bagi majelis, kenyataan tersebut membuktikan bahwa Henri dan Dwidjono menyadari mereka tengah melakukan perbuatan yang dilarang.

“Apa yang terjadi antara terdakwa dan Henri adalah upaya menyamarkan kejahatan yang dibuat seolah-olah pinjaman,” kata Ketua Majelis Hakim, Yusriansyah.

Namun, dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum soal jumlah suap yang diterima Dwidjono dari Henri. Majelis hakim menyebut suap itu berjumlah Rp13,65 miliar rupiah sementara jaksa dalam dakwaannya menyebut 27,65 miliar rupiah, yang terdiri dari Rp13,65 miliar rupiah ke rekening Yudhi Aaron, staf PT PCN, dan Rp14 miliar rupiah dari rekening PT PCN ke rekening PT Borneo Mandiri Prima Energi (PT BMPE), perusahaan milik Dwidjono yang menjual batubara ke PT PCN.

Menurut Irfan, itu berarti majelis hakim tidak ingin memasuki urusan bisnis antar perusahaan. “Ini menarik sebab, jika transaksi antar perusahaan dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis yang jelas, tidak ada alasan untuk mengkriminalisasinya,” katanya.

Bagi Irfan, pertimbangan majelis hakim itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa transaksi bisnis antara PT PCN dengan perusahaan- perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani tidak bisa dianggap suap atau gratifikasi, seperti transfer Rp89 miliar rupiah dari PT PCN kepada PT Permata Abadi Raya (PT PAR) dan PT Trans Surya Perkasa (PT TSP) yang diklaim oleh saksi Direktur Utama PT PCN, Christian Soetio (pengganti Henri), dan penasihat hukum Dwidjono, sebagai suap kepada Mardani.

“Apalagi semua transaksi finansial tersebut merupakan bagian dari kewajiban pembayaran utang PT PCN yang prosesnya terang benderang karena tertuang dalam perjanjian tertulis dan diproses dalam perkara PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” papar Irfan.

3 dari 3 halaman

Janji Kooperatif dengan KPK

Meskipun perkara ini sudah ditangani Kejaksaan Agung sejak April 2021 dan berproses di Pengadilan Tipikor Banjarmasin sejak Januari 2022, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Mardani sebagai tersangka pada Kamis, 16 Juni 2022, dalam perkara yang sama. Itu karena, menurut Irfan, selama diperiksa oleh KPK pada Kamis, 22 Juni 2022, Mardani ditanyai seputar perkara tersebut.

“Mardani akan kooperatif dalam penyidikan KPK, seperti yang dia lakukan dalam persidangan di Banjarmasin,” ujar Irfan.

“Apa yang dituduhkan kepada klien kami di persidangan Banjarmasin sebenarnya hanya terkait dengan persoalan bisnis yang tertuang dalam perjanjian tertulis dan bahkan masuk dalam proses PKPU di Pengadilan Niaga."