Liputan6.com, Jakarta - Kondisi belasan juta petani sawit kecil kini tengah menjerit. Sebab, harga TBS (Tandan Buah Segar) sawit saat ini sedang terjun bebas jauh di bawah harga keekonomian dan sangat merugikan.
Menurut Anggota Komisi VI DPR RI, Deddy Yevri Hanteru Sitorus, mendorong Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri Perdagangan Zulkifki Hasan untuk membuat kebijakan yang menguntungkan para petani.
“Saat ini harga pupuk melonjak tajam di luar daya beli petani, padahal kalau tidak dipupuk maka dipastikan tahun depan produktivitas sawitnya pasti menurun. Tantangan bagi Menko Marves dan Mendag adalah menyiapkan skenario menjamin pasokan rantai pasok dan cadangan minyak goreng nasional,” kata Deddy dalam siaran pers diterima, Jumat (24/6/2022).
Advertisement
Menurut data dimilikinya, fakta menyebut demand CPO global terlihat mengalami penurunan hampir 30% dan harga patokan sudah di angka 4.632 Ringgit Malaysia (USD 1.053) atau sekitar Rp. 15.584/kg per 22 Juni 2022.
Baca Juga
Menurut Deddy, angka itu jika dikurangi pajak ekspor, pungutan levi, dan biaya port di luar kewajiban DMO berarti harga CPO domestik seharusnya berada di Rp. 11.026/kg. Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Kalimantan Utara ini melanjutkan, merujuk harga domestik yang mengacu pada lelang KPB tersebut ditambah kewajiban DMO 16,7%, maka harga CPO harusnya berada di Rp. 10.780/kg.
Deddy meyakini, jika harga domestik sebesar itu maka logikanya harga ke-ekonomian TBS petani (dengan rendemen 20%) seharusnya berada di atas Rp. 2.000/kg tergantung daerahnya atau rata-rata Rp. 2.156/kg. Tetapi, fakta menunjukkan bahwa harga riil di lapangan berada di bawah Rp.1.500, bahkan di banyak daerah sudah terjun bebas di kisaran Rp. 400 – Rp. 1.000/kg TBS.
“Sungguh mengerikan bahwa harga sawit produksi petani terpangkas hingga 80% dibandingkan sebelum moratorium. Sementara perusahaan sawit besar tidak merasakan dampak serupa jika mereka memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) atau memiliki usaha yang terintegrasi dari Kebun Sawit – PKS – Pabrik Minyak Goreng atau ekspor,” kritik dia.
Faktor Kerontokan Harga TBS
Menurut Deddy, pemicu rontoknya harga TBS petani di lapangan disebabkan beberapa hal. Pertama, stock CPO dalam negeri sudah meluap sehingga PKS tidak lagi mampu menampung sawit rakyat.
“Tangki CPO yang ada sudah penuh dan mengalami kelebihan pasokan, akhirnya harga TBS terjun bebas. Kedua, Proses perizinan ekspor (PE) yang sangat lambat karena baru diberikan setelah kewajiban DMO 85% tiba di pabrik minyak goreng yang ditunjuk,” urai dia.
Deddy juga meyakini, prosedur itu sangat memakan waktu dan menyebabkan tangki penyimpanan meluap dan tidak mampu menampung. Bahkan karena panjangnya proses tersebut kualitas CPO juga jadi terpengaruh, karena jika TBS yang diolah PKS sudah lewat matang maka kadar asam lemak bebas (ALB) menjadi tinggi.
“Padahal standar CPO yang baik itu harus memiliki kadas ALB di bawah 3%. Lagi-lagi PKS akan mengorbankan sawit rakyat kecil,” tegas dia.
Deddy memandang, banyak pengusaha CPO dan eksportir yang tidak bersedia memanfaat kebijakan darurat ekspor (flushing out) yang dibuat pemerintah akibat tambahan pungutan sebesar USD 200 per MT. Kewajiban tambahan ini, sambung Deddy, menjadi disinsentif sebab menjadi tidak ekonomis karena harga global sudah menurun jauh.
“Yang terjadi akhirnya sementara ini, stok CPO melimpah dan yang punya pabrik migor menahan cadangannya,” terang Deddy.
Deddy menyarankan, pemerintah melalui Kemendag agar bisa segera memangkas proses izin PE sehingga ekspor CPO dapat berjalan lebih cepat. Hal ini akan mempercepat perputaran pasokan dan meningkatkan kapasitas tangki penyimpanan CPO.
“Selanjutnya, tambahan kewajiban sebesar USD 200/MT sebaiknya dicabut karena tidak ekonomis dan menjadi disinsentif ekspor yang menyebabkan penumpukan stok dan membuat harga TBS ambruk,” kata dia.
Pertimbangkan Harga Global
Deddy meminta, pemerintah juga harus mempertimbangkan dinamika harga global untuk mengevaluasi kebijakan DMO. Sebab, saat ini harga CPO domestik setelah dikurangi pajak ekspor dan levi sudah menyentuh Rp. 11.026/kg.
“Pemerintah seharusnya mulai membuat skenario baru untuk mengamankan pasokan bahan baku di masa depan dan mulai membangun cadangan nasional minyak goreng,” kata Deddy.
Menurut dia, dengan harga CPO domestik yang ada saat ini ditambah biaya olah plus margin (Rp. 1.500/kg) maka harga minyak goreng curah di pabrik migor seharusnya di harga Rp. 12.526/kg atau Rp. 11.525/liter. Dengan demikian harga ke-ekonomian minyak goreng curah seharusnya sudah berada di bawah HET yang sebesar Rp. 14.000/kg.
“Saya perkirakan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu lama mekanisme pasar akan melakukan koreksi terhadap harga minyak goreng secara keseluruhan. Tanpa melakukan apa pun, harga migor curah akan turun di bawah HET dan minyak goreng kemasan harganya akan berada di bawah Rp. 20.000/kg,” dia memungkasi.
Advertisement