Sukses

RUU KIA Dinilai Bisa Jadi 2 Sisi Mata Pedang bagi Pekerja Perempuan

Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Tak terkecuali bagi perempuan pengusaha, yang menilai salah satu isi RUU KIA bisa menjadi pedang bermata dua.

Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menuai banyak tanggapan dari masyarakat. Tak terkecuali bagi perempuan pengusaha yang menilai salah satu isi RUU KIA bisa menjadi pedang bermata dua.

Penggiat kesetaraan gender yang juga COO PT. Infinitie Berkah Energi, Rinawati Prihatiningsih, sekaligus WKU Bidang Litbang dan Ketenagakerjaan DPP IWAPI, mengungkapkan kebijakan cuti 6 bulan bisa menjadi pedang bermata dua bagi pekerja perempuan.

Di satu sisi merupakan kebijakan untuk melindungi pekerjaan dan hak-hak reproduksi perempuan. Di sisi lain, kebijakan ini berdampak menimbulkan anggapan kehamilan sebagai beban organisasi atau perusahaan.

"Sebab, tidak semua perusahaan mampu menjalankan kebijakan ini. Hal ini bisa mendorong sikap diskriminatif dalam perekrutan dan promosi perempuan di tempat kerja," ungkap Rinawati, Senin (27/6/2022).

Lalu dampaknya, pengusaha akan cenderung merekrut perempuan berdasarkan usia dan status perkawinannya, tidak merekrut perempuan yang memiliki atau berencana untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Karena khawatir peran reproduksi mereka dapat mempengaruhi biaya dan kinerja perusahaan.

Solusinya adalah, lanjut Rinawati, perusahaan memberikan cuti melahirkan 3 bulan berbayar sesuai Undang-Undang Ketenagakerjaan.

"Hanya saja cuti 3 bulan berikutnya untuk merawat bayi baru lahir atau anak adopsi tidak berbayar, namun izinkan perempuan pekerja untuk kembali ke pekerjaan, gaji dan tunjangan yang sama atau setara," tuturnya.

2 dari 3 halaman

Dukungan Akan Mengalir

Dukungan terhadap RUU KIA ini akan mengalir bila dibuat sepanjang untuk mewujudkan kesejahteraan dan kesehatan ibu dan anak dan tidak kontra produktif bagi perempuan.

Makanya, perlu kajian yang lebih serius terkait kebijakan cuti melahirkan 6 bulan dan skema jaminan sosial, dimana beban dari cuti ini, tidak hanya ditanggung oleh pemberi kerja saja, namun ditanggung bersama oleh pengusaha, karyawan dan pemerintah disesuaikan dengan tingkatannya.

3 dari 3 halaman

Cuti Ayah

Menurutnya, RUU KIA sebaiknya fokus pada pengaturan waktu cuti untuk ayah. Pasalnya, dimaknai sebagai simbolis menghargai pentingnya kehidupan keluarga, ikatan ayah-anak, dan peran ayah yang penuh perhatian. Selain itu, 'bonus berbagi' dan jenis dorongan lain untuk cuti ayah dapat membantu mempercepat perubahan perilaku sosial.

"Cuti wajib bagi ayah juga dapat menjadi jalan untuk mengesampingkan norma-norma sosial yang menghambat pengambilan cuti ayah, yang sangat relevan terutama ketika data mengungkapkan bahwa keinginan individu untuk cuti lebih tinggi daripada cuti efektif karena hambatan yang ditimbulkan oleh norma-norma sosial," kata Rinawati.

Sementara saat ini, hal paling krusial adalah flexible working hours. Lalu penyediaan tempat penitipan anak yang dekat, terjangkau bahkan digratiskan oleh negara. Pengambilan cuti oleh ayah dapat mengurangi hukuman sebagai ibu “the motherhood penalty” dengan memungkinkan ibu untuk kembali ke pasar tenaga kerja.

Juga harus adanya perlindungan pekerja perempuan yang bekerja di sektor informal, di ranah privat rumah tangga. Salah satunya saat ini yang sangat mendesak dan penting adalah segera disahkannya UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga serta ratifikasi Konvensi ILO 189, Situasi Kerja Layak PRT.

"Bila pembahasannya hanya sekedar waktu cuti, sebenarnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur hak perempuan pekerja dari cuti haid, melahirkan, perlindungan dari kekerasan, pelecehan, diskriminasi dan Indonesia telah mengesahkan beberapa konvensi ILO terkait perlindungan perempuan pekerja," tutur ibu dua anak yang juga menjabat sebagai Co-Chair G20 EMPOWER itu.

Juga UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UUTPKS) baru disahkan sebagai payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.