Liputan6.com, Jakarta - Titin Yanie belakangan mengaku harus mengeluarkan uang belanja sayuran minimal dua kali lipat daripada sebelumnya, untuk sekali ke pasar. Dia pun mengeluhkan harga pangan yang tidak kunjung normal.
Bagi ibu rumah tangga seperti Titin, kondisi ini tentu saja memberatkan. Sebab, dia tidak dapat mengurangi bumbu dapur saat memasak sayuran untuk keluarga.
Baca Juga
"Biasanya beli cabai Rp 10 ribu cukup untuk masak, sekarang harus Rp 25 ribu itu juga cuma dapat seperempat kilo aja. Telur biasanya beli sekilo ini paling setengah kilo dulu, bawa uang Rp 100 ribu enggak cukup buat stok seminggu," kata Titin kepada Liputan6.com.
Advertisement
Keresahan yang sama dialami Neneng Sari yang memilih untuk mengurangi jumlah pembelian cabai untuk sementara waktu. Sebab, kenaikan harga cabai saat ini dinilai amat memberatkan.
"Dulu masih bisa beli sekilo simpen di kulkas, pas harga normalnya Rp 5.000 sampai Rp 50.000 perkilogram. Sekarang, enggak lagi. Beli di warung aja 5.000 sekali masak. Jadi yang Rp 125.000 itu bisa dibagi bagi buat beli kebutuhan lain," bebernya.
Harga pangan yang tak kunjung normal tidak hanya meresahkan para ibu rumah tangga. Bagi pedagang warung tegal atau warteg, seperti Jali, kondisi ini juga memberatkan.
Jali pun terpaksa sedikit mengurangi jumlah lauk yang diberikan kepada pembeli. Sebab, dia memilih tetap mempertahankan rasa meskipun harga beberapa bahan pangan mengalami kenaikan.
"Kalau ngurangin bumbu pelanggan takutnya kabur, mending ngurangin dikit tapi rasanya enggak berubah. Paling sambelnya enggak bisa nyediain banyak kaya biasanya," kata Jali kepada Liputan6.com.
Harga Tak Kunjung Normal
Sejumlah komoditas pangan di pasaran memang mengalami kenaikan dari beberapa pekan lalu. Mulai dari cabai, telur, hingga bawang merah. Seorang penjual di Pasar Cakung, Jakarta Timur pun mengaku seringkali menerima keluhan para pembeli karena harga pangan yang tak kunjung normal.
Kata penjual tersebut, saat ini untuk harga cabai rawit merah dari tengkulak telah mencapai harga Rp 95 ribu sampai Rp 100 ribu per kilo. Untuk bawang merah telah menyentuh harga Rp 80 ribu per kilogram. Nantinya harga yang dijual kepada pembeli akan mengalami peningkatan. Kenaikan itu diyakini terjadi usai Hari Raya Idul Fitri 2022.
"Malah pas lebaran belum naik, saya jadi bingung jualannya gimana, soalnya harga pada naik jadi bingung ngambil untungnya gimana. Saya nyari untung buat bawang ini sedikit paling. Cabai, sayur, gitu gitu kerasa banget mahalnya," kata salah seorang pedagang sayur di Pasar Cakung kepada Liputan6.com. Dia pun berharap harga pangan segera normal kembali.
Saat Liputan6.com menyambangi pasar pada Minggu (3/7/2022) harga cabai yang ditawarkan berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 120 ribu per kilogram. Kemudian untuk harga telur menyentuh kisaran angka Rp 28.000 per kilogram.
Hal yang sama juga disampaikan oleh pedagang warung kelontong Aziz. Dia menyatakan harga telur di warungnya belum mengalami harga sejak beberapa pekan terakhir. Harga dari tengkulak satu kilogram telur yang diterima Aziz yaitu Rp 25 ribu.
"Ini saya jual 1/4 kilo Rp 8 ribu, 1/2 itu Rp 15 ribu, dan sekilonya itu Rp 28 ribu. Sekarang enggak turun-turun harga telor. Ya kalau dulu normalnya sekilo Rp 22 ribu," kata Aziz kepada Liputan6.com.
Kenaikan Harga Pangan yang Tak Wajar
Kenaikan harga pangan yang saat ini terjadi merupakan salah satu indikator dari potensi krisis pangan. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar menyebut kenaikan harga komoditas di Indonesia seringkali terjadi setiap tahunnya. Namun menurut dia, kenaikan yang terjadi saat ini termasuk hal yang luar biasa.
"Ambil contoh misalnya harga telur, mengapa mengalami kenaikan harga yang cukup signifikan? Karena pakan ayam ini harganya mahal. Kenapa pakannya mahal? Karena jagung mahal, kenapa jagung mahal? Karena memang pasar global mengalami demand yang cukup tinggi untuk jagung," papar Hermanto kepada Liputan6.com.
Dia menambahkan, "Seperti Tiongkok impornya terhadap jagung tinggi. Sehingga untuk mengantisipasi hal seperti itu, orang kemudian mencari komoditas pangan tersebut, sehingga harganya tinggi."
Hermanto memperkirakan harga produk turunan dari gandum akan mengalami peningkatan dari harga saat ini akibat penurunan produksi dari negara asalnya. Indonesia saat ini mengandalkan impor gandum dari Ukraina dan Rusia. Dia juga menyatakan nasi merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia.
Karena hal itu, dia menyatakan Indonesia memungkinkan untuk terus melakukan penanaman sejumlah makanan pokok lainnya. Misalnya untuk padi, dalam setahun dapat melakukan dua sampe tiga kali panen.
"Walaupun terjadi krisis, benar-benar terasa oleh masyarakat kita ya tidak dalam waktu satu tahun, dalam waktu satu tahun tersebut kita masih aman, walaupun terjadi kenaikan harga. Tapi, itu dengan catatan bahwa kita menanam panganan tersebut sekarang. Kalau kita baru menanam nanti ketika terjadi masalah, ya itu akan terlambat," ucap dia.
"Akan tetapi, dengan adanya produksi pangan, walaupun misalnya kurang atau tidak sebanyak yang biasanya, negara kita masih relatif oke. Dengan catatan harga masih bisa kita jaga. Kuncinya adalah menjaga, mulai dari distribusi pangannya perlu kita perhatikan," sambung dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyebut pemerintah harus melakukan sejumlah langkah antisipasi terjadinya krisis pangan. Kata dia, krisis pangan tak hanya terjadi akibat terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina.
Namun konflik kedua negera tersebut memicu adanya kenaikan komoditas pangan. Terutama gandum sebagai pangan yang diproduksi oleh kedua negara tersebut. Sedangkan Indonesia merupakan negara importir terbesar gandum.
"Jadi, saya melihat krisis pangan ini pertama, definisi dan sorotan krisis pangan adalah komoditas-komoditas pangan dalam kelompok serealia, jadi seperti gandum, beras, jagung, dan biji-bijian dan lain yang utamanya ya. Walaupun nanti kita lihat serealia yang lain seperti gula dan lain-lain," kata kata Faisal kepada Liputan6.com.
Advertisement
Pemerintah Diminta Tingkatkan Produktivitas Pangan Dalam Negeri
Faisal menyebut, untuk komoditas seperti halnya jagung hingga beras diprediksi akan lebih stabil. Sebab beras produsennya lebih banyak pada negara-negara tropis, misalnya Vietnam dan Thailand. Namun Faisal menilai produktivitas beras di Indonesia mengalami penurunan dan memicu kekhawatiran.
Hal tersebut berdasarkan hasil panen raya beras pada semester awal tahun 2022 yang hanya mencapai 1 juta ton atau di bawah batas minimal 2 juta ton.
"Keadaan pangan (beras di Indonesia) relatif kurang menggembirakan ya, jika kita melihat kondisi yang saya ceritakan tadi. Tadi kita lihat satu persatu kan. Pertama beras yang menjadi kebutuhan pangan utama kita, setelah panen raya ini," ucap dia.
Faisal menyatakan perubahan iklim di dua tahun terakhir menjadi salah satu pemicunya. Kendati begitu untuk mengantisipasi adanya krisis pangan di Indonesia dia menyatakan pemerintah harus melakukan sejumlah strategi. Misalnya meningkatkan dan mengoptimalkan produktivitas untuk makanan pokok, seperti beras. Sebab sejumlah negara telah melakukan pembatasan ekspor.
"Jadi ada proteksi daripada supply pangan mereka, dan kita perlu memprioritaskan produksi pangan dalam negeri. Jadi, harus meningkatkan resiliensi terutama untuk staple food kita di beras,"
Kata dia, pemerintah dapat mempelajari sejumlah kelemahan-kelemahan yang seringkali terjadi dalam meningkatkan produksi di dalam negeri. Salah satunya yaitu dengan memberikan insentif untuk para petani. Yakni harga yang dapat memberikan motivasi petani untuk terus melakukan aktivitas produksi.
"Hal ini yang agak kurang (diperhatikan) selama ini, yaitu pendekatan dari sisi produsen nya, karena yang disoroti selalu dari sisi konsumen diberikan harga yang terjangkau, tapi melupakan bahwa produsen perlu diperhatikan. Karena jika harga jual terlalu rendah mereka jadi tidak ingin berproduksi," papar dia.
Lanjut dia, dengan produksi yang terus menurun nantinya dapat memberikan efek ketergantungan dengan melakukan impor besar-besaran. Meksipun data ini, kata Faisal Indonesia sudah bergantung pada impor bahan pangan.
Ketergantungan impor dapat memberikan risiko yang tinggi setelah adanya konflik atau perang. "Untuk bahan pangan yang susah untuk kita swasembada karena masalah iklim dan cuaca seperti gandum yang mau tidak mau kita memang perlu mendorong lebih kuat lagi diversifikasi negara asal impor gandum kita. Jadi, tidak bergantung pada 1 atau 2 negara saja," ujarnya.
Pengalihan impor kepada negara lain, kata Faisal sebagai langkah pengalokasian yang lebih menguntungkan. "Saya rasa langkah terakhir kemarin, yaitu Pak Jokowi ke Rusia dan Ukraina menyentuh permasalahan ini. Jadi, permasalahan krisis pangan terutama dalam kaitannya supply gandum, dimana kita merupakan importir terbesar," Faisal menandaskan.
Ancaman Krisis Pangan itu Nyata
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah memperingatkan potensi krisis pangan dunia dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok yang dipicu konflik Rusia-Ukraina. Laporan FAO perang Ukraina-Rusia akan mendorong 47 juta orang di seluruh dunia masuk ke jurang akibat krisis pangan.
Rusia dan Ukraina merupakan negara eksportir untuk komoditas pangan lainnya, seperti jagung, dan minyak nabati. Lalu kedua negara tersebut merupakan pengekspor hampir 30 persen gandum dalam perdagangan internasional pada 2021. Kemudian, Rusia merupakan pengekspor pupuk dunia.
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar menyatakan ancaman krisis pangan merupakan suatu hal yang nyata. Namun saat ini hal tersebut belum sangat terasa di Indonesia. Hermanto menyebut itu disebabkan karena Indonesia merupakan negara dengan produsen pangan yang cukup signifikan.
Kendati begitu, dia menikah indikasi atau gejala mengenai ancaman krisis pangan sudah terlihat. Yakni dengan adanya konflik antara Ukraina dan Rusia. Sebab Indonesia merupakan negara pengimpor gandum dari kedua negara tersebut.
"Berawal dari adanya perang antara Rusia dan Ukraina yang mana kedua negara tersebut adalah produsen utama pangananserealia, khususnya gandum dan beberapa pangan yang lain. Karena di sana sedangdalam kondisi perang, maka supplai pangan menjadi terganggu dan harga naik," kata Hermanto kepada Liputan6.com.
Menurut dia, kenaikan suatu komoditas akan berdampak dengan lainnya. Potensi kedua yang telah terasa adanya perubahan iklim yang semakin panas. Hal itu berdampak atau mengurangi produktivitas usaha para petani.
Misalnya tanaman pangan yang diproduksi menjadi terganggu. Faktor selanjutnya yaitu akibat pandemi Covid-19 yang mengakibatkan kenaikan harga pangan. Hermanto menyatakan inflasi juga telah terjadi di sejumlah negara.
"Indonesia memiliki suatu keberkahan karenakita berada di daerah khatulistiwa. Produksi pangan kita walaupun ada terpengaruhtetapi masih cukup banyak (produksinya). Akan tetapi kita tidak boleh lengah, kalau bisa ditingkatkan lagi bahkan, untuk mengantisipasi krisis pangan yang terjadi," ucapnya.
Karena hal itu dia meminta agar pemerintah dapat mempersiapkan sejumlah skenario atau mitigasi terburuk bila terjadi krisis pangan mulai dari tingkat berat, sedang, hingga ringan. Hermanto menyatakan ketika terjadi harga tinggi akan meningkatkan inflasi di Indonesia.
Langkah Antisipasi Krisis Pangan di Rumah
Sebab pangan merupakan komponen penting di dalam inflasi. Selanjutnya ketika terjadi inflasi akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, kemudian berdampak pada meningkatnya jumlah kemiskinan di masyarakat.
Hermanto juga menyarankan agar masyarakat diperkotaan dapat memanfaatkan lahan sisa untuk bercocok tanam dengan hidroponik, urban farming, ataupun beternak. "Pada dasarnya adalah untuk menjaga ketahanan pangan kita dan juga mempunyai dampak ekonomi. Karena berbagai tanaman tersebut kalau tidak untuk kebutuhan sendiri dapat dijual. Jadi esensinya sekali lagi adalah bagaimana kita mendorong produksi pangan," paparnya.
Selain itu, dia juga meminta agar pemerintah daerah dapat mengoptimalkan lahan-lahan pertanian yang ada untuk meningkatkan produktivitas. Kemudian subsidi juga diperlukan untuk antisipasi krisis. Misalnya subsidi benih hingga pupuk yang tercukupi.
"Pemerintah ada badan pangan nasional, ada Bulog yang mana mereka bisa serap. Dengan cara memberikan APBN yang cukup, sehingga harga dapat tetap stabil. Bahkan di samping itu kita bisa ekspor, kalau memang surplus pangan tersebut terjadi, kita bisa menolong juga negara-negara lain. Jadi, tidak ada salahnya mengusahakan surplus yang signifikan itu," sambung Hermanto.
Advertisement
Peningkatan Jumlah Kemiskinan Salah Satu Dampak dari Krisis Pangan
Indeks Harga Pangan PBB menyatakan harga pangan seperti halnya sereal, minyak sayur, susu, daging, dan gula mengalami pelonjakan sebanyak 13 persen pada Maret akibat konflik Ukraina dan Rusia. Peningkatan tersebut menyusul rekor pada bulan sebelumnya atau Februari 2022. Lalu minyak nabati melonjak 23 persen, sereal naik 17 persen, hingga gula naik 7 persen.
Saat ini, Ukraina telah menghentikan ekspor gandumnya akibat konflik dengan Rusia yang belum ada titik tengah. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengatakan hal tersebut akan berdampak pada tingginya harga gandum secara global pada musim 2022/2023.
Selain itu sejumlah negara juga melakukan pembatasan ekspor gandum, misalnya India. Akibatnya harga gandum dunia melonjak tajam hingga menyentuh angka US$1.247,9/bushel per 17 Mei 2022 atau meningkat sebanyak 75,7 persen jika dibandingkan dengan harga pada akhir tahun lalu.
Lonjakan harga pangan mendorong inflasi harga konsumen Inggris menembus ke level tertinggi dalam 40 tahun, mencapai 9,1 persen pada bulan Mei 2022. Angka tersebut menjadi tingkat tertinggi dari negara-negara G7 dan menggarisbawahi parahnya krisis biaya hidup di Inggris.
Selain itu angka inflasi tersebut lebih tinggi daripada Amerika Serikat, Prancis, Jerman dan Italia. Awalnya pada April 2022, inflasi di Inggris 9 persen.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai krisis pangan saat ini cukup serius untuk dilakukan antisipasi. Sebab sejumlah negara telah melakukan pengamanan pasokan pangannya. Lalu beberapa negara tersebut juga melakukan pembatasan ekspor ke negara lainnya.
Peristiwa tersebut kata dia berdampak pada harga pangan yang melonjak tinggi di pasaran. Bahkan kenaikan harga pangan dianggap Bhima terlalu liar.
"Hal tersebut akhirnya akan membuat harga pangan justru semakin liar. Kemudian konflik Ukraina dan Rusia yang masih belum tahu kapan selesainya, ini akan membuat berbagai distrupsi rantai pasok akan terjadi," kata Bhima kepada Liputan6.com.
Selanjutnya kata Bhima, pemasukan biaya pertanian juga mengalami peningkatan secara drastis. Misalnya yaitu harga pupuk yang mengalami kenaikan sampai 180 persen untuk skala internasional. Hal tersebut menurut Bhima juga akan memberikan sejumlah dampak kepada masyarakat.
"Yaitu mendorong banyaknya rumah tangga yang jatuh di bawah garis kemiskinan, karena inflasi pangan sangat sensitif, khususnya pada kelompok masyarakat yang paling bawah. Semua faktor tersebut dari krisis pangan yang begitu nyata, harus segera direspon oleh beberapa kebijakan," lanjut dia.
Kebijakan tersebut misalnya menambah dan memastikan alokasi subsidi pupuk kepada masyarakat ataupun sentra-sentra pertanian. Kemudian meningkatkan produktivitas lahan yang ada. Termasuk dalam pembukaan lahan baru.
Selanjutnya kata dia, dapat dilakukan dengan upaya meningkatkan hasil pertanian dalam pengelolaan lahan yang tersedia. Bhima juga meminta agar pemerintah dapat melakukan lobi kepada negara-negara yang menjadi tempat bergantung impor pangan.
"Agar tidak dilakukan pembatasan yang merugikan posisi Indonesia, karena setiap proteksi dagang tersebut akan membuat inflasi pangan akan jauh lebih tinggi. Itu yang kemudian perlu disadari oleh pemerintah dan jaring pengaman sosial untuk mencegah terjadinya kemiskinan karena harga pangan yang naik," ucapnya.
Bhima menyebut, potensi krisis pangan telah dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah terlebih yaitu para produsen di industri makanan dan minuman. Kemudian para pelaku UMKM pun mengalami kenaikan biaya produksi dari mulai tepung gandum atau tepung terigu hingga minyak goreng.
Penyesuaian-penyesuaian harga di tingkat konsumen pun otomatis diberlakukan. Peningkatan itupun terjadi secara bervariasi, mulai dari 5-7 persen.
"Kemudian dari sisi produsen pangan, sebenarnya tidak benar bahwa adanya kenaikan harga pangan itu akan menguntungkan posisi petani ataupun posisi peternak, karena yang terjadi di sisi petani dan peternak, yaitu satu harga pupuk dan harga pakan ternak itu mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sehingga margin dari peternak dan petani sebenarnya sangat tipis. Jadi, mereka belum tentu menikmati kenaikan harga, karena sebabnya kenaikan harga lebih dari cost atau biaya produksi yang lain," papar Bhima.
Lanjut dia, rantai distribusi merupakan elemen yang perlu diperhatikan untuk antisipasi kenaikan harga akibat krisis pangan. Sebab akan ada banyak spekulan, distributor yang bermain untuk menguasai pasar. "Jadi, semakin panjang rantai distribusi semakin petani dan peternak tidak menikmati hasil dari kenaikan harga di level konsumen," Bhima menandaskan.
Langkah Pemerintah Antisipasi Krisis Global
Sementara itu beberapa waktu lalu Kementrian Pertanian (Kementan) menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional (Musrenbangtannas) pada Rabu (29/6/2022). Kegiatan tersebut untuk membahas sejumlah permasalahan atau ancaman krisis pangan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo meminta agar ada perencanaan pembangunan pertanian yang inovatif dan adaptif pada 2023. Yakni yang mampu beradaptasi dan memitigasi seluruh tantangan pertanian.
"Tantangan pertanian tidak seperti kemarin. Segala sesuatu di depan mata jadi berbahaya saat kita anggap semua remeh-remeh saja," kata Syahrul yang dikutip dalam YouTube Tani TV Indonesia.
Dia melanjutkan, "Krisis pangan dunia di depan mata, bukan di depan mata tapi sudah terjadi. Banyak negara yang sekarang tidak bisa bayar hutang banyak negara dari Covid yang ada mereka jadi sangat miskin, pengangguran di mana-mana, banyak negara."
Lanjut dia, saat ini produksi pangan di berbagai negara menurun dan berdampak pada kenaikan harga di dalam negeri. "Untuk itu, komoditi yang kebutuhannya masih diimpor harus ganti dari substitusi komoditi lain seperti gandum diganti dengan sorgum atau singkong," dia menjelaskan.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementan Kasdi Subagyono menyatakan terdapat tiga strategi yang akan dilakukan untuk pembangunan pertanian dalam menghadapi krisis global saat ini.
"Jadi satu meningkatan kapasitas produksi, nomor dua adalah meningkatkan produksi substitusi impor dari 12 pokok pangan kita masih ada empat yang berafiliasi impor. Kedelai, bawang putih, kemudian daging sapi kemudian gula konsumsi itu yang masih," kata Kasdi.
Strategi selanjutnya yaitu memanfaatkan peluang krisis global untuk meningkatkan kuantitas pangan dan kualitasnya agar dapat menguasai pasar ekspor. Saat ini kata Kasdi pihaknya terus mengupayakan agar empat bahan pangan impor dapat terkecukupi dari dalam negeri.
"Kalau seperti padi jagung itu reguler terus artinya swasembada nya kita maintenance. Bahkan padi seperti yang disampaikan oleh Pak Presiden bahwa kita tidak impor lagi selama tiga tahun," jelas dia.
Advertisement