Sukses

6 Jawaban ACT soal Biaya Operasional hingga Limpahan Gaji Ratusan Juta Petingginya

Belakangan ini marak diperbincangkan Aksi Cepat Tanggap (ACT), ada apakah?

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini marak diperbincangkan Aksi Cepat Tanggap (ACT), ada apakah? Hal tersebut bermula dari hasil pemberitaan Majalah Tempo yang menyoalkan terkait adanya biaya operasional dan beragam fasilitas yang dirasakan para pejabat ACT. Hingga memunculkan respon warganet yang membuat trending tagar #AksiCepetTilep di media sosial.

Presiden ACT Ibnu Khajar akhirnya buka suara terkait sejumlah pemberitaan menyangkut dugaan penyelewengan dana yang dilakukan lembaga filantropi tersebut, ketika berada dibawah kepemimpinan Ahyudin selaku mantan petinggi.

"Kesadaraan ini kami lihat karena ada beberapa kebijakan yang mulai mengkhawatirkan untuk lembaga. Ya karena tadi ada alokasi-alokasi yang berpindah-pindah kesini-sini, beberapa kewajiban yang harus ditunaikan (namun tidak)," kata Presiden ACT Ibnu Khajar saat jumpa pers, di kantornya di kawasan Jakarta Selatan, Senin 4 Juli 2022.

Kemudian terkait gaji pimpinan atau petinggi ACT sebesar Rp 250 juta rupanya dibenarkan Ibnu. Meski demikian, dia mengklaim itu berlaku saat Januari 2021 dan tak berlaku tetap.

"Jadi kalau pertanyaannya apa sempat diberlakukan? Kami sempat memberlakukan di Januari 2021, tapi tidak berlaku permanen," ucap Ibnu.

Menurut Ibnu, pada Desember 2021, ACT pun memutuskan mengurangi gaji akibat kondisi keuangan yang tidak stabil. Lalu, Ibnu Khajar menjelaskan soal dana hasil sumbangan dari para dermawan yang dikelola lembaganya tersebut.

Menurut dia, rata-rata sejak 2017, ACT memakai dana untuk operasional sekitar 13,7% dari seluruh dana yang terhimpun.

Berikut sederet jawaban ACT soal biaya operasional dan beragam fasilitas yang dirasakan para pejabat ACT dihimpun Liputan6.com:

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

2 dari 7 halaman

1. Sebut Eks Petinggi Otoriter

Presiden Aksi Cepat Tanggap (ACT), Ibnu Khajar akhirnya buka suara terkait sejumlah pemberitaan menyangkut dugaan penyelewengan dana yang dilakukan lembaga filantropi tersebut, ketika berada dibawah kepemimpinan Ahyudin selaku mantan petinggi.

Dimana dugaan tersebut berasalkan hasil pemberitaan dari Majalah Tempo yang menyoalkan terkait adanya biaya operasional dan beragam fasilitas yang dirasakan para pejabat ACT. Hal ini memunculkan respon warganet yang membuat trending tagar #AksiCepetTilep di media sosial.

"Kesadaraan ini kami lihat karena ada beberapa kebijakan yang mulai mengkhawatirkan untuk lembaga. Ya karena tadi ada alokasi-alokasi yang berpindah-pindah kesini-sini, beberapa kewajiban yang harus ditunaikan (namun tidak)," kata Ibnu saat jumpa pers, di kantornya di kawasan Jakarta Selatan, Senin 4 Juli 2022.

Terkait yang menjadi sorotan oleh publik, mulai dari gaji sebanyak Rp250 juta setiap bulan yang diterima Ahyudin melingkupi juga berbagai aset yang dibeli menggunakan uang ACT seperti mobil mewah, rumah sampai lampu gantung, Ibnu tak menjelaskannya secara gamblang.

Dia hanya menjelaskan, kepemimpinan Ahyudin yang dirasa one man one show, yaitu bertindak secara sendiri yang cenderung otoriter.

"Sekali lagi kami sampaikan bahwa gaya kepemimpinan yang teman-teman mengenal sosoknya beliau, kepemimpinan gaya kepemimpinan one man show cenderung otoriter, gitu," ungkap Ibnu.

 

3 dari 7 halaman

2. Eks Petinggi Pilih Mengundurkan Diri

Ibnu pun menceritakan atas beberapa kebijakan yang dipilih Ahyudin dirasa tak sesuai, sehingga pihaknya sempat memberikan masukan di awal Januari 2022.

Hal tersebut direspon oleh Ahyudin dengan pengunduran diri.

"Sehingga ini (sejumlah kebijakan) yang membuat beberapa kondisi organisasi terjadi ketidak nyamanan. Sehingga sepakat dinasehati dan beliau sepakat memilih mengundurkan diri," bebernya.

Sedangkan terkait informasi yang menyebut Ahyudin diminta mengundurkan diri secara paksa, dengan cara didatangi 40 orang, Ibnu membantah hal tersebut.

"Ini untuk menepis info 11 Januari terjadi kudeta yang menyebabkan suasana tidak enak," kata Ibnu.

 

4 dari 7 halaman

3. Benarkan Gaji Pimpinan Sempat Sentuh Rp 250 Juta, Namun Petinggi ACT Tak Lebih Rp 100 Juta

Kemudian Ibnu Khajar membenarkan kabar soal pendapatan gaji sempat menyentuh angka Rp 250 juta. Meski demikian, dia mengklaim itu berlaku saat Januari 2021 dan tak berlaku tetap.

"Jadi kalau pertanyaannya apa sempat diberlakukan? Kami sempat memberlakukan di Januari 2021, tapi tidak berlaku permanen," kata dia.

Menurut Ibnu, pada Desember 2021 ACT pun memutuskan mengurangi gaji akibat kondisi keuangan yang tidak stabil.

"Sampai teman-teman mendengar di bulan Desember 2021, sempat ada kondisi filantropi menurun signifikan sehingga kami meminta kepada karyawan mengurangi gajinya mereka," ungkap dia.

Karena posisi yang tidak stabil tersebut, lanjut Ibnu, pihaknya memotong gaji dari setiap karyawan untuk mengurangi beban biaya operasional yang ada.

"Kami memilih dua hal apakah kami mengurangi karyawan waktu itu atau apakah kami mengurangi beberapa alokasi karyawan? Beberapa karyawan memilih kami sharing aja supaya, kami mengurangi menanggung sehingga beberapa dikurangi (gaji) secara kolektif," ujar Ibnu.

Sebagai contoh, Ibnu pun mengungkapkan gaji yang kini ia terima angkanya tak menyentuh Rp 100 juta.

"Di pimpinan presidium, yang diterima tidak lebih dari Rp 100 juta," kata dia.

Angka tersebut, kata Ibnu, menjadi hal yang wajar untuk seorang presiden yang mengelola ribuan karyawan. Sedangkan untuk data terkait R p250 juta dia tak memberikan penjelasan lebih lanjut.

"Untuk Presiden yang mengelola 1.200 karyawan. 250 juta tidak tau dananya dari mana," tutur Ibnu.

 

5 dari 7 halaman

4. Beberkan soal Uang Operasional sampai Mobil Mewah

Lalu Ibnu Khajar menjelaskan soal dana hasil sumbangan dari para dermawan yang dikelola lembaganya tersebut. Menurut dia, rata-rata sejak 2017 ACT memakai dana untuk operasional sekitar 13,7% dari seluruh dana yang terhimpun.

"Dana yang kami himpun dan operasional lembaga, kami ingin sampaikan di 2020 dana kami Rp519,35 miliar. 2005-2020 ada di web ACT, kami sampaikan untuk operasional gaji pegawai dari 2017-2021 rata-rata yang kami ambil 13,7 persen," kata Ibnu.

Adapun dikutip dari laporan keuangan tahun 2020 ACT, dana Rp519,35 miliar itu didapat dari 348.000 donatur yang paling besar diperoleh dari publik mencapai 60,1%, lalu koporat 16,7% dan lain-lain. Untuk kemudian disalurkan dalam 1.267.925 transaksi.

Bila dihitung dana 13,7% dengan nominal anggaran di 2020, maka ACT memakai dana operasional kurang lebih Rp71,10 miliar. Anggaran tersebut, kata Ibnu, adalah hal yang wajar dan masih sesuai aturan secara syariat Islam.

"Dalam lembaga zakat, secara syariat dibolehkan 1/8 atau 12,5 persen ini patokan kami secara umum. Tidak ada secara khusus (aturan negara) untuk operasional lembaga," ujarnya.

 

6 dari 7 halaman

5. Akui Potongan Melebihi Batas Aturan

Meski melewati batas dari aturan syariat sebesar â…› atau 12,5%, Ibnu menjelaskan bahwa ACT bukanlah lembaga zakat melainkan filantropi umum, di mana tidak hanya zakat yang dikelola lembaga tersebut. Namun banyak, seperti sedekah umum, CSR atau tanggung jawab sosial perusahaan dan lain-lain.

"Dari 2020 dana operasional Rp519 miliar. Kami menunaikan aksi program ke masyarakat 281 ribu aksi, penerima manfaatnya 8,5 juta jiwa. Jumlah relawan terlibat, sebanyak 113 ribu," sebut Ibnu.

Pasalnya, Ibnu mengklaim jika pihaknya sampai saat ini juga terus menyalurkan berbagai bantuan, dimana ketika pandemi Covid-19 kebutuhan bantuan masyarakat kian banyak dan acap kali membutuhkan dana operasional lebih.

"Tentang alokasi yang dianggap berlebih, sejak awal pandemi Covid-19 lembaga memutuskan tidak ada libur, berkaitan dengan lembaga kemanusiaan dengan memberi bantuan pangan medis, Sabtu Minggu tidak libur," tuturnya.

Sehingga aturan syariat itu hanya sebagai acuan. Ibnu berdalih jika lembaga yang berdiri di 47 negara itu terkadang memerlukan dana distribusi bantuan lebih banyak sehingga kerap memakai sumber dana non zakat, infaq atau donasi umum.

"Kalau ACT potong itu 13,7 %, potongannya itu. Wakaf tidak dipotong, syariatnya tidak dipotong, zakat 12,5%, yang lain diambil dari infaq umum, CSR, dana hibah itu yang diambil (untuk dana 13,7%)," ucap Ibnu..

Atas dasar lembaga yang mengelola filantropi umum dibawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos), menurut Ibnu, bahwa ACT bisa saja memotong dana sumbangan sebesar 30 persen untuk biaya operasional.

Walau belum pernah dilakukan, akan tetapi batasan pemotongan itu bisa dilakukan. Lantaran ada dasar sesuai dengan saran dari Dewan Syariah sebagai pengawas.

"Lembaga belum pernah ambil kesempatan 30 persen, bukan ngambil, ditoleransi kalau butuh hal luar biasa seperti masuk Papua. Dewan Syariah membolehkan dana operasional di luar zakat diambil 30 persen, dan lembaga belum pernah ambil 30 persen," ujar Ibnu.

 

7 dari 7 halaman

6. Bantah Tudingan Biayai Organisasi Teroris

ACT membantah terkait dugaan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyebut adanya indikasi aliran dana disalurkan untuk terorisme.

"Jadi kalau dialokasikan dana teroris itu dana yang mana? Kami sampaikan ini supaya lebih lugas karena kami tidak pernah berurusan dengan teroris," kata Ibnu.

Bahkan, dia pun merasa heran atas temuan tersebut. Pasalnya, ACT dalam kegiatan penyaluran bantuan kerap kali mengundang lembaga dan instansi pemerintahan dalam rangka kerjasama.

"Di tiap program kami selalu mengundang entitas seperti gubernur, menteri juga selalu datang. Terakhir itu distribusi bantuan pangan dilakukan di depan Mabes TNI, kami kerja sama dengan Pangdam Jaya," ujarnya.

Adapun terkait bantuan yang disalurkan ke sejumlah wilayah konflik semisal di Suriah, Ibnu mengakui bahwa bantuan tersebut disalurkan sebagai bentuk bantuan terhadap korban perang, terlepas dari siapa penerimanya.

"Apakah ACT siapkan bantuan kepada pemerintah yang Syiah atau kepada pemberontak yang ISIS? Kami sampaikan kemanusiaan itu tidak boleh menanyakan tentang siapa yang kami bantu, agamanya apa, enggak penting," ujarnya.

Menurutnya, bantuan yang disalurkan ACT terkhusus ke wilayah-wilayah konflik ditujukan kepada masyarakat sipil yang terkena imbas akibat perang. Maka bantuan itu tidak melihat latar belakang pihak yang menerimanya.

"Jadi yang kami tahu ada orang tua yang sakit, ada anak-anak yang terlantar, korban perang kami terima di pengungsian di Turki, kami berikan bantuan pangan medis, dan kami tidak pernah bertanya mereka Syiah atau ISIS nggak penting buat kami," tegasnya.

"Karena keluarga keluarga ini orang-orang jompo yang perlu kami bantu, mereka korban perang, jadi ini prinsip kemanusiaan, jadi kalau dibawa ke mana-mana kami jujur aja sering bingung, sebenarnya dana yang ke teroris itu dana yang ke mana?" jelas Ibnu.

 

(Belinda Firda)