Sukses

MK Tolak Gugatan Aturan JHT di UU Cipta Kerja

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan yang dilayangkan seorang warga bernama Samiani terkait aturan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh gugatan yang dilayangkan seorang warga bernama Samiani terkait aturan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim Ketua MK Anwar Usman sebagaimana dikutip dalam draft putusan pada laman situ MK, Kamis (7/7/2022).

Gugatan yang telah terdaftar dengan nomor 25/PUU/PAN.MK/AP3/02/2022, Samiani dalam permohonannya menyebut jika aturan JHT di UU Cipta Kerja melanggar pasal 28D ayat (1), 28H ayat (3), dan 28 I ayat (2) UUD 1945.

Alhasil Samiani pun meminta MK untuk mengubah ketentuan pada UU Cipta Kerja. Di mana ia turut menguji Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang telah diubah menjadi UU Cipta Kerja.

Samiani menginginkan adanya ketentuan JHT yang diberikan untuk menjamin peserta mendapat uang tunai jika pensiun, cacat total tetap, meninggal dunia, mengundurkan diri, ataupun di-PHK.

Dengan, meminta jaminan dari JHT dibayar tunai sekaligus saat peserta pensiun, cacat total tetap, meninggal dunia, mengundurkan diri, ataupun terkena PHK. Alasan itu, dituangkan Sumiani karena dia merasa ada ketidakpastian hukum dari aturan JHT yang ada di UU Cipta Kerja tersebut.

2 dari 3 halaman

Alasan Hakim MK Tolak Seluruh Gugatan soal JHT

Atas argumentasi itu, Hakim Mahkamah berpendapat jika esensi mendasar tujuan JHT adalah diperolehnya manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, dan cacat total tetap. Di mana uang itu, sesungguhnya dapat menjadi bekal bagi peserta yang bersangkutan atau ahli warisnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak.

"Oleh karena itu, titik krusial manfaat dari jaminan hari tua sebenarnya terletak pada saat peserta menghadapi masa pensiun, meninggal dunia, atau cacat total tetap yang berakibat “tertutupnya” kemungkinan untuk mendapatkan kesempatan bekerja kembali," tutur hakim

"Dengan demikian, pembayaran uang tunai yang berasal dari jaminan hari tua sangat bermanfaat untuk menyambung biaya kehidupan peserta dan keluarga atau ahli warisnya, khususnya dalam mempertahankan derajat kehidupan yang layak," tambah hakim.

Sementara hal itu berbeda dengan peserta yang berhenti bekerja karena alasan-alasan lain, seperti karena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri, yang masih dimungkinkan mendapatkan kesempatan bekerja di tempat lain.

 

3 dari 3 halaman

Aturan JHT Sempat Tuai Polemik

Adapun JHT pada BPJS Ketenagakerjaan sempat menjadi sorotan publik setelah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022. Aturan itu menyebut JHT baru bisa dicairkan saat peserta berusia 56 tahun.

Atas hal tersebut publik, aliansi buruh dan koalisi masyarakat sipil memprotes dengan keras, mereka menolak aturan yang diterbitkan oleh politikus asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut. Bahkan massa dari aliansi suruh sampai turun ke jalan guna meyuarakan penolakan aturan JHT tersebut.

Setelah mendapat protes yang cukup keras dari publik, aliansi buruh dan koalisi masyarakat sipil, akhirnya Menaker Ida Fauziyah pun mencabut Permenaker tersebut.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Sumber: Merdeka.com