Liputan6.com, Jakarta - Meski masih dua tahun lagi, namun gema Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024 mulai terasa saat ini.
Beberapa nama pun sudah mulai naik ke permukaan dan banyak dibicarakan publik. sebut saja Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Advertisement
Baca Juga
Ketiganya tengah berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan di puncak survei elektabilitas, dan tidak sedikit yang menyebut nama-nama itu merupakan calon potensial di pilpres 2024.
Terlebih Anies, namanya memang telah lama diperbincangkan sebagai salah satu kandidat Capres 2024. Pada 2019, dia menjadi salah satu alternatif calon presiden 2019 apabila Prabowo Subianto tidak melangkah maju pada saat itu.
Hal ini sebagaimana dituturkan oleh Direktur Pencapresan DPP PKS, Suhud Aliyudin pada tahun 2018 lalu.
Sekalipun tidak terjadi, momentum tersebut menjadi tanda bahwa Anies memiliki tekad untuk menjadi Presiden. Terlebih, Relawan pendukung Anies yang mengatasnamakan Majelis Sang Presiden telah mendeklarasikan namanya sebagai calon presiden 2024.
Baru-baru ini, Anies kembali menyita perhatian publik lewat Sapi Kurban miliknya bernomor 024 yang diserahkan ke panitia saat momentum Idul Adha di Jakarta International Stadium (JIS).
Menariknya, Hal serupa juga pernah dilakukan Anies pada perayaan Idul Adha 2019. Saat itu, Anies diketahui juga berkurban sapi dengan nomor 024 yang diserahkan ke panitia kurban di Balai Kota DKI Jakarta.
Atas kejadian tersebut, Pengamat Politik sekaligus CEO dan Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, mengatakan apabila sapi bernomor 024 itu memang dijadikan pesan oleh Anies untuk maju di Pilpres 2024, maka itu menjadi penanda awal yang dibangun untuk meyakinkan masyarakat.
Berbicara mengenai simbol, Anies disebut sebagai salah satu nama yang kerap memainkan simbol dalam pergerakan politiknya. sebut saja Monas, Siapa yang masih ingat dengan momentum 212?
Publik kiranya masih ingat dengan momen tersebut yang memperlihatkan Monas sebagai arena dalam gerakan politik oleh kelompok Islam yang tergabung dalam PA 212. dalam momentum itu, Anies kerap telihat menyambangi Monas ketika berlangsungnya aksi masa.
David Glassberg dalam tulisannya yang berjudul Rethinking the Statue of Liberty: Old Meaning, New Contexts, menyebut Patung Liberty sebagai monumen kerja sama politik antara Prancis dan Amerika Serikat. Berkaca pada perkataan David tersebut, monumen dalam hal ini Monas juga dapat memainkan peran untuk menjadi simbol pengikat gerakan politik dengan elit politik.
Dalam kaitannya dengan Anies, Monas secara tidak langsung telah menjadi semacam simbol pengikat gerakan politik Anies dengan masa aksi 212. dengan kata lain "jemaah Monas" sudah dimiliki oleh Anies.
Selain Monas, peristiwa-peristiwa lain yang juga dikaitkan dengan manuver politik Anies adalah Formula E, Penutupan Holywings, hingga pembangunan Jakarta Internasional Stadium (JIS).
Pembangunan JIS misalnya, Meskipun agenda ini merupakan bentuk pemenuhan janji kampenye Anies (dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta) terhadap pendukung club sepak bola Jakarta, yaitu Persija dalam hal ini The Jak Mania. Namun, tidak sedikit yang menyebut pembangunan tersebut merupakan manuver Anies jelang Pilpres 2024.
Hal ini menjadi masuk akal apabila merujuk pada pernyataan Tunon dan Brey dalam Sport and Politics in Spain - Football and Nationalist Attitudes within the Basque Country and California. Ia menyebut Sepak Bola dan politik merupakan perpaduan nyata yang dapat membangun gerakan sosial hingga ideologi politik radikal.
Dengan demikan, terdapat indikasi kuat bahwa Anies dapat disebut tokoh yang lihai dalam memainkan simbol dalam panggung politiknya. Lantas apakah hal ini dapat menjadi modal politik Anies?
Gubernur DKI Batu Loncatan Anies
Berkaca pada Presiden Jokowi, Kursi Gubernur DKI Jakarta sepertinya memiliki signifikasi yang kuat sebagai batu loncatan menuju kursi Presiden.
Bagaimana Tidak, Jokowi yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jakarta terus mendapatkan banyak sorotan yang seakan membuat kinerja Gubernur Jakarta seoalah-olah menjadi kinerja presiden. Terlepas dari kekuatan media yang menerangi jalan politiknya.
Mengutip Gottman dalam tulisannya The Role of Capital City, Ibukota menurutnya adalah kiblat tren dan peristiwa yang dapat mempengaruhi kehidupan masa depan negara dan memiliki fungsi sentralitas dalam karakteristik negara.
Artinya, ibukota memiliki peran penting sebagai kiblat politik negara. Maka, tidak heran apabila posisi Gubernur Jakarta dapat dijadikan pijakan politik untuk menuju kursi Presiden Indonesia seperti Jokowi.
Kembali kepada Anies, Jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta memang dapat memacu sorotan publik dan dapat juga menjadi faktor kuat untuk membuat Anies menarik secara politik. Namun, apakah signifikasi tersebut mampu mendorong Anies menuju puncak kekuasaan di Indonesia, seperti pendahulunya?
Pasca-dilengserkannya Anies dari jabatan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan (Mendikbud) Indonesia di periode pertama Jokowi, nyatanya tidak membuat kiprah politiknya meredup. Terbukti, ia bersama Sandiaga Uno terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta mengalahkan petahana Basuki Tjahya Purnonomo atau Ahok.
Selama menjabat Gubernur Jakarta, popularitasnya pun dinilai meningkat, sebagaimana banyak hasil survei yang menyebutkan namanya selalu berada ditingkat teratas elektabilitas. Maka, tak heran apabila sosoknya banyak dibicarakan sebagai capres potensial di 2024.
Daya tawar politik Anies ini telah terbukti dihadapan partai politik, misalnya NasDem. dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem, Ketua Umum NasDem Surya Paloh menyampaikan rekomendasi steering committee Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem 2022 terkait bakal calon presiden yang diusung Partai Nasdem pada Pemilu 2024.
Dari 9 nama yang diusulkan oleh 34 Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Nasdem pada Kamis 16 Juni 2022, mengerucut pada tiga nama prioritas dan menempatkan Anies di urutan pertama.
Hal ini Ditambah kedekatannya dengan partai-partai lain seperti PKS yang merupakan salah satu partai pengusung Anies di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Lantas, apakah hal tersebut dapat dijustifikasi sebagai bukti kuatnya modal politik Anies di Pilpres 2024?.
Advertisement
Anies Diuntungkan Polemik
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini terlebih dahulu melihat titah politik Anies sebagai Gubernur Jakarta yang bisa dibilang tidak luput dari berbagai polemik yang bernada politik.
Setidaknya, satu bulan lalu, Banyak pihak yang menyoroti Gubernur Jakarta terkait kebijakan pergantian sebagian nama jalan di Jakarta dengan nama tokoh Betawi. Hal ini menjadi polemik, setelah sejumlah warga menolak pergantian nama jalan tersebut lantaran merasa direpotkan dengan perihal perubahan dokumen kependudukan.
Atas hal tersebut, DPRD DKI Jakarta, mengatakan pihaknya tidak dilibatkan dalam perubahan 22 nama jalan di Jakarta sebagaimana telah diputuskan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Selain itu, polemik lain yang juga menjadi sorotan publik adalah soal data ganda Keluarga Penerima Manfaat (KPM) bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang melibatkan Anies dengan menteri sosial Tri Rismaharini atau Risma.
Polemik tersebut bermula saat pihak Dinas Sosial (Dinsos) DKI Jakarta bersurat kepada Mensos untuk menanyakan soal data ganda yang merugikan sejumlah keluarga KPM. Alih-alih menjawab surat tersebut, Risma justru menjawab tidak mengetahui detail surat yang diberikan itu terkait dengan bansos.
Polemik berikutnya adalah terkait gelaran Formula E, jauh sebelum kabar perseteruan antara Ketua Umum PSI Giring Ganesha dan Anies mencuat, Formula E sempat menjadi polemik. Setidaknya, dua tahun lalu ketika Anies mencanangkan Monas sebagai venue Formula E.
Lantas, hal ini kemudian menciptakan ragam kritik dari banyak pihak, khususnya mengenai Monas sebagai cagar budaya yang dianggap tidak elok apabila dijadikan sarana balapan.
Meski polemik Formula E sebenarnya sudah lama terjadi. Menariknya, kritik Giring soal hal ini mendapatkan sorotan lebih ketimbang sebelumnya. Diketahui, Giring beberapa kali melontarkan kritik pedas terhadap Anies terkait pembangunan Formula E di Ancol. Ia pernah menyebut Formula E adalah proyek buang-buang anggaran. Merespon hal tersebut, Anies mengaku heran dengan sikap Giring yang dinilai sebagai tindakan membuang-buang waktu.Â
Menelisik lebih dalam konteks polemik yang terjadi, sepintas terlihat bahwa Anies seakan memiliki banyak musuh politik. Sebagaimana diketahui, dalam beberapa polemik tersebut banyak pihak yang melontarkan kritiknya dengan nada politik, khususnya pada isu Formula E.
Di negara demokrasi, kritik bukanlah suatu hal yang dilarang, kritik justru menjadi ciri dari negara demokrasi itu sendiri. Mengutip Robert Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics, menurutnya kritik sebagai ciri demokrasi memiliki tujuan untuk menghasilkan kebajikan, keadilan, kebahagiaan, dan kebaikan bersama.
Artinya, adanya ruang kritik ini sejatinya dapat menjadi sarana penyangga elit politik atau pejabat pemerintah untuk tidak melakukan kebijakan atau hal yang dianggap sembrono.
Terlepas dari itu, Ditengah polemik yang menyedutkan Anies. Alih-alih dirugikan, Anies justru diuntungkan dengan sejumlah polemik ini.
Banyak pihak yang menilai bahwa perseteruan Giring dan Anies justru menguntungkan pihak Anies, Sebab Anies adalah pihak yang dibicarakan. Layaknya sebuah Film, semakin banyak orang yang menonton. maka, semakin banyak keuntungan yang didapat si aktornya.
Atas keuntungan polemik ini, mungkin dapat dibenarkan apabila mengacu pada survei elektabilitas mengenai capres 2024, sosok Anies Baswedan terbilang memiliki elektabilitas yang tinggi, terbukti namanya selalu bertengger di 3 besar survei elektabilitas capres. Selain itu, polemik yang hadir dapat membuat konstituen tetap Anies semakin kokoh menyuarakan dukungan politiknya.
Atas dasar hal itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan dan sekaligus menjawab pertanyaan di atas bahwa memang Anies saat ini memiliki modal politik yang cukup kuat. Namun, hal ini bisa berubah mengingat panggung politik Anies sebagai Gubernur Jakarta bergantung pada masa jabatannya yang akan usai.
Mungkin, apabila Anies menjabat kembali sebagai Gubernur Jakarta untuk kedua kalinya, hal ini dapat melanggengkan ambisinya sebagai RI-1. Namun, jika tidak, Anies harus dapat memanfaat panggung politik lain untuk tetap dapat eksis dan mampu bertengger di puncak elektabilitas capres 2024.