Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyatakan, pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika akan mulai dibahas pada masa sidang Agustus 2022 mendatang.
“Masa sidang yang akan datang, setelah 17 Agustus kita akan memulai pembahasan itu,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (20/7/2021).
Pembahasan revisi UU Narkotika akan dimulai dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). “Tentu pembahasan itu dibarengi dengan melakukan RDPU dulu dengan para dokter, ahli farmasi,” ujarnya.
Advertisement
Baca Juga
Lebih lanjut, politikus PPP ini menyatakan bahwa DPR tidak mau melegalkan ganja lewat revisi UU Narkotika ini. Namun DPR ingin merelaksasi penggunaan ganja untuk medis.
“Tetapi sekali lagi ingat jangan ada pembelokan. DPR atau Komisi III tidak sedang melakukan usaha melegalkan ganja, bukan itu, apalagi untuk rekreasi atau untuk kesenangan. Kita cuma merelaksasi agar kalau perkembangan ilmu pengetahuan ke depan itu ada obat yang memang ada campuran ganja dan itu bisa mengobati penyakit,” kataya menandaskan.
Sebelumnya diberitakan, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permohonan berkaitan dengan penggunaan narkotika jenis ganja untuk kepentingan kesehatan atau medis.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim MK Anwar Usman dalam putusannya secara daring, Rabu (20/7/2022).
Perkara ini diputus oleh hakim konstitusi yang diketuai Anwar Usman dengan anggota Aswanto, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmikh, Foekh, Wahiduddin Adams, Arief Hidayay, Saldi Isra, dan Manahan Sitompul.
Upaya Wujudkan Ganja untuk Medis Masih Bisa Lewat DPR
Terkait putusan MK tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta para penggugat seperti Santi Warastuti yang memiliki anak cerebral palsy agar tidak kecewa dan putus asa. Sebab DPR masih bisa mengupayakan lewat revisi UU Narkotika.
“Harapan itu selalu ada. Jangan kecewa karena ada jalan lain menuju Roma. Jalan lainnya itu ada legislatif review, yang ditolak itu kan yudisial review,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (20/7/2022).
Menurut Arsul, MK tidak memutuskan bahwa pasal 8 ayat 1 UU Narkotika tidak bisa diubah, melainkan dikembalikan kepada pembuat Undang-Undang yakni DPR.
Adapun Pasal 8 ayat 1 yang berbunyi Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
“Tidak berarti pasal 8 ayat 1 gak bisa diubah, karena MK berpendapat itu kebijakan hukum yang terbuka artinya dikembalikan ke pembuat UU dalam hal ini DPR,” ucap politikus PPP ini.
Wakil Ketua MPR ini menyatakan, hampir seluruh fraksi sepakat untuk merelaksasi penggunaan ganja untuk medis. Bahkan, tahun sidang berikutnya panitia kerja (Panja) untuk revisi UU Narkotika akan langsung bergerak membahasnya.
“Yang kami usulkan pasalnya kira-kira seperti ini, narkotika golongan 1 dapat dipergunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam satu peraturan perundangan,” ujar Asrul.
“Nanti perlu ada peraturan pelaksanaan. Nah tentu bayangan saya peraturan pelaksanaannya itu mengatur juga soal riset atau penelitian ganja untuk keperluan medis,” katanya menyambung.
Advertisement
Pasal yang Diuji Materi ke MK
Adapun permohonan uji materi UU Narkotika untuk penggunaan ganja medis ini diajukan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Para pemohon dalam permohonannya meminta MK mengubah Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika agar memperbolehkan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan medis atau ganja untuk medis.
Mereka juga meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal 8 ayat (1) Inkonstitusional. Pasal itu berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Pasal 6 ayat 1 huruf a berbunyi:
“Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan”
Pasal 8 ayat 1 berbunyi:
“Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan”.