Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menyatakan, mayoritas fraksi di DPR sepakat untuk melakukan revisi UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 atau merevisi agar ganja bisa digunakan untuk keperluan medis.
“Sejumlah fraksi termasuk fraksi kami PPP (sepakat). Ini istilahnya bukan legalisasi ganja untuk medis, tapi relaksasi ganja untuk keperluan medis,” kata Arsul pada wartawan seperti dikutip, Kamis (21/7/2022).
Baca Juga
Relaksasi yang dimaksud Arsul adalah revisi pada Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika yang berbunyi Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Advertisement
“Relaksasinya dalam bentuk ada perubahan bunyi pasal 8 ayat (1),” kata dia.
Arsul memastikan proses revisi UU Narkotika tetap akan berlanjut meski sebelumnya MK menolak judisial review pasal tersebut.
“Revisi UU narkotika yang sekarang sedang berproses di DPR, dalam hal ini di Komisi III, maka ya nanti kembali apa yang jadi kesepakatan DPR dan pemerintah,” pungkas dia.
Sebelumnya, Arsul Sani menyatakan, pembahasan revisi UU Narkotika No 35 Tahun 2009 akan langsung dibahas di masa sidang mendatang.
“Masa sidang yang akan datang, setelah 17 Agustus kita akan memulai pembahasan itu,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (20/7/2021).
Menurut Arsul, pembahasan revisi akan dimulai dengan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para ahli. “Sambil tentu pembahasan itu dibarengi dengan melakukan RDPU dulu dengan para dokter, ahli farmasi,” kata dia.
Selain itu, Arsul mengingatkan DPR tidak berencana melegalkan ganja, tetapi merelaksasi penggunaan ganja untuk medis.
“Tetapi sekali lagi ingat jangan ada pembelokan. DPR atau komisi III tidak sedang melakukan usaha melegalkan ganja, bukan itu, apalagi untuk rekreasi atau untuk kesenangan. Kita cuma merelaksasi agar kalau perkembangan ilmu pengetahuan ke depan itu ada obat yang memang ada campuran ganja dan itu bisa mengobati penyakit,” pungkas dia.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait legalisasi ganja untuk medis. Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta para penggugat seperti Santi yang memiliki anak cerebral palsy agar tidak kecewa dan putus asa, sebab DPR masih tetap bisa mengupayakan revisi UU Narkotika.
“Harapan itu selalu ada. Jangan kecewa karena ada jalan lain menuju Roma. Jalan lainnya itu ada legislatif review, yang ditolak itu kan judicial review,” kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (20/7/2022).
Menurut Arsul, MK tidak memutuskan bahwa pasal 8 ayat 1 UU Narkotika tidak bisa diubah, melainkan dikembalikan kepada pembuat undang-undang, yakni DPR.
“Tidak berarti pasal 8 ayat 1 enggak bisa diubah, karena MK berpendapat itu kebijakan hukum yang terbuka. Artinya, dikembalikan ke pembuat UU dalam hal ini DPR,” kata dia.
NasDem Minta Pemerintah Segera Buat Kajian soal Ganja untuk Medis
Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari menyatakan bahwa MK menyebutkan kewenangan pembentuk undang-undang atau open legal policy dan diserahkan kepada pembentuk undang-undang atau DPR untuk menindaklanjutinya.
“Saya berpandangan pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan putusan MK tersebut dengan menjadikan materi tentang pemanfaatan ganja sebagai layanaan kesehatan atau terapi dalam pembahasan revisi UU Narkotika yang sedang berlangsung,” kata Taufik dalam keterangannya, Rabu (20/7/2022).
Taufik mengingatkan bahwa MK memberikan penekanan pada kata segera dalam putusannya. Hal itu menunjukkan urgensi adanya pengkajian ganja untuk medis.
“Untuk menindaklanjuti urgensi kajian pemerintah, maka saya menyarankan agar pemerintah juga merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional, termasuk kajian dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang pada tahun 2019 merekomendasikan kepada the Commission on Narcotics Drugs (CND) yang dibentuk UN Ecosoc dan WHO untuk menjadikan cannabis atau ganja sebagai golongan narkotika yang dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan,” jelasnya.
Anggota Komisi III ini menyarankan pembahasan revisi UU Narkotika dapat dilakukan pengaturan yang komprehensif. Taufik menyebut pelarangan, pengendalian, dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU, sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya.
"Dengan begitu, maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula,” kata dia.
Selain itu, menurut Taufik, kasus Ibu Santi dan Ibu Dwi Pertiwi yang membutuhkan ganja medis untuk pengobatan cerebral palsy anaknya, merupakan masalah kemanusiaan yang perlu dicari solusi dan jalan keluarnya.
“Oleh karena itu langkah segera pascaputusan MK ini harus dilakukan dengan tetap berpikiran terbuka dan berpedoman pada perkembangan ilmu pengetahuan,” tuturnya.
Advertisement