Liputan6.com, Jakarta - Perjuangan Santi Wirastuti agar anaknya yang menderita cerebral palsy atau lumpuh otak memperoleh pengobatan menggunakan ganja medis kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga tersebut menolak permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima. Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim MK Anwar Usman dalam putusannya secara daring, Rabu (20/7/2022).
Uji materi UU Narkotika untuk penggunaan ganja medis ini diajukan oleh ibu-ibu dari penderita cerebral palsy, yakni Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti bersama Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Advertisement
Baca Juga
Dalam permohonannya, mereka meminta agar MK mengubah Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika, sehingga ganja bisa digunakan untuk medis. Adapun pasal tersebut berisi larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kepentingan kesehatan.
Lantas dengan keputusan ini, apakah peluang legalisasi ganja untuk medis sudah tertutup?
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani meminta para penggugat uji materi UU Narkotika ke MK yang memiliki anak cerebral palsy agar tidak kecewa dan putus asa. Sebab DPR masih bisa mengupayakan revisi UU Narkotika.
“Harapan itu selalu ada. Jangan kecewa karena ada jalan lain menuju Roma. Jalan lainnya itu ada legislative review, yang ditolak itu kan judicial review,” kata Arsul saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/7/2022).
Menurut Arsul, MK tidak memutuskan bahwa Pasal 8 ayat 1 UU Narkotika tidak bisa diubah, melainkan dikembalikan kepada pembuat undang-undang, yakni DPR.
“Tidak berarti Pasal 8 ayat 1 enggak bisa diubah, karena MK berpendapat itu kebijakan hukum yang terbuka, artinya dikembalikan ke pembuat UU, dalam hal ini DPR,” ucap politikus PPP ini.
Lebih lanjut, Arsul menyatakan bahwa hampir seluruh fraksi di DPR sepakat merelaksasi penggunaan ganja untuk medis. Bahkan, tahun sidang berikutnya panitia kerja (Panja) untuk revisi UU Narkotika akan langsung bergerak membahasnya.
“Yang kami usulkan pasalnya kira-kira seperti ini, narkotika golongan 1 dapat dipergunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan dalam satu peraturan perundangan,” ujar Wakil Ketua MPR ini.
“Nanti perlu ada peraturan pelaksanaan. Nah tentu bayangan saya peraturan pelaksanaannya itu mengatur juga soal riset atau penelitian ganja untuk keperluan medis,” kata Arsul menyambung.
Namun dia menegaskan bahwa DPR tidak sedang berusaha melegalkan ganja lewat revisi UU Narkotika ini. Dia menyatakan, DPR hanya ingin merelaksasi penggunaan ganja untuk medis.
“Sekali lagi, ingat jangan ada pembelokan. DPR atau Komisi III tidak sedang melakukan usaha melegalkan ganja, bukan itu, apalagi untuk rekreasi atau untuk kesenangan. Kita cuma merelaksasi agar kalau perkembangan ilmu pengetahuan ke depan itu ada obat yang memang ada campuran ganja dan itu bisa mengobati penyakit,” ucap Arsul Sani menandaskan.
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin menyatakan, bahwa pemerintah tetap melanjutkan penelitian tentang penggunaan ganja untuk medis, meski uji materi UU Narkotika ditolak MK. Kemenkes sudah berdiskusi dengan kementerian lain guna meneliti manfaat ganja untuk kesehatan.
Budi menegaskan, bahwa semua di bidang kesehatan harus berbasis bukti dan ilmiah, karena itu penelitian tetap harus dilakukan. Dia mencontohkan penggunaan narkotika jenis morfin untuk medis. Sebelum diberi izin untuk medis, 'aturan main' terkait penggunaannya sudah diatur sedemikian rupa dan ketat.
"Morfin kan juga narkotika, tapi sekarang dipakai kalau misalnya ada orang sakit, orang lagi luka, ada bencana, ada perang, semua orang disuntik morfin tapi sudah diukur," kata Budi kepada Health Liputan6.com saat ditemui di Cibinong, Kabupaten Bogor, Kamis (21/7/2022).
"Morfinnya segini, diberikan ke orang ini, enggak boleh dijual bebas ke mana-mana, itu dibikin sistemnya," sambung dia.
Pun dengan ganja. Menkes Budi menyatakan bahwa ganja harus diteliti dulu supaya ada bukti medis apakah bisa dipakai untuk alasan kesehatan atau tidak, termasuk siapa yang boleh mendapatkan ganja medis, hingga berapa dosisnya.
"Nah, yang mau kita bikin adalah izin untuk penelitian itu. Bukan izin pemakaian ya, tapi izin untuk melakukan penelitian. Dari hasil penelitian, baru nanti diketahui bagaimana-bagaimananya," ucap Budi memungkasi.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan, pemerintah siap melakukan kajian ganja untuk medis seperti yang diperintahkan MK.
“Putusan MK sangat jelas ya, bahwa itu ditolak untuk semuanya. Dan dalam pertimbangannya, MK meminta untuk dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap kemanfaatan ganja itu sendiri,” kata Edward saat ditemui di Kantor DPP PDIP, Kamis (21/7/2022).
Selain kajian, pemerintah dan DPR juga akan tetap melanjutkan revisi UU Narkotika yang sudah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2022.
“Ini sambil menyelam minum air, dalam pengertian sembari melakukan penelitian terhadap kegunaan ganja medis, pemerintah dan DPR kan sedang membahas revisi UU Narkotika dan tentunya kita akan mendalami lebih lanjut sembari melihat dari hasil penelitian itu,” ucap Edward.
Pembahasan revisi UU Narkotika nantinya akan langsung digelar usai masa reses DPR, yakni Agustus 2022 mendatang.
“Persis. Jadi itu akan dibahas sesudah masa reses ini,” kata Edward memungkasi.
Pemerintah Harus Segera Riset Ganja untuk Medis
MK memang menolak seluruh permohonan uji materi pasal larangan penggunaan narkotika golongan I untuk layanan kesehatan. Namun dalam pertimbangannya, MK meminta Pemerintah segera melakukan kajian dan riset terhadap Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Terkait hal itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang terdiri dari Rumah Cemara, ICJR, LBH Masyarakat, IJRS, Yakeba, LGN, dan EJA mendorong agar Pemerintah dan DPR segera mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk kepentingan kesehatan.
"Penjelasan Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 8 UU Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika," kata koalisi dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Rabu (20/7/2022).
Selain itu, koalisi mendesak agar Pemerintah maupun swasta bisa menjalankan amanat MK yang memberi peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika dan teknis pemanfaatannya untuk kepentingan kesehatan.
"Pemerintah segera lakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan," jelas koalisi.
Koalisi meyakini, penelitian terkait juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan narkotika golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
"MK telah menekankan kata segera pada putusannya, harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan," tegas koalisi.
Koalisi menyarankan agar Pemerintah dapat merujuk pada penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikeluarkan oleh badan PBB, mulai dari kajian oleh Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) pada 2019 yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).
"Pemerintah harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak tercover BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi," ucap koalisi memungkasi.
Hal yang sama juga disampaikan Ketua DPP Partai NasDem Taufik Basari. Menurut dia, Pemerintah dan DPR wajib menindaklanjuti pertimbangan Putusan MK tersebut. Dia juga mengingatkan bahwa MK memberikan penekanan pada kata "segera" dalam putusannya. Hal itu menunjukkan adanya urgensi pengkajian ganja untuk medis.
“Untuk menindaklanjuti urgensi kajian pemerintah, maka saya menyarankan agar pemerintah juga merujuk pada kajian yang telah ada di tingkat internasional,” kata Taufik dalam keterangannya yang diterima Liputan6.com, Rabu (20/7/2022).
Anggota Komisi III ini menyarankan pembahasan revisi UU Narkotika dilakukan secara komprehensif. Taufik menyebut pelarangan, pengendalian, dan pemanfaatan narkotika jenis tertentu untuk kepentingan medis dapat dimuat normanya dalam UU, sementara ketentuan teknis lainnya dapat diatur dalam aturan turunannya.
"Dengan begitu maka beberapa narkotika yang memiliki sifat ketergantungan tinggi tetap bisa dikontrol dengan ketat sembari dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dengan mekanisme yang ketat pula,” kata dia.
Selain itu, menurut Taufik, kasus Ibu Santi dan Ibu Dwi Pertiwi yang membutuhkan ganja medis untuk pengobatan cerebral palsy anaknya merupakan masalah kemanusiaan yang perlu dicari solusi dan jalan keluarnya.
“Oleh karena itu langkah segera pascaputusan MK ini harus dilakukan dengan tetap berpikiran terbuka dan berpedoman pada perkembangan ilmu pengetahuan,” tuturnya.
Advertisement
Penggunaan Ganja untuk Medis Belum Urgen
Farmakolog sekaligus Guru Besar Fakultas Farmasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof apt Zullies Ikawati PhD turut mengaku tidak heran MK menolak permohonan uji materi ganja untuk medis. Menurut dia, penggolongan narkotika berdasarkan UU masih relevan.
“Menurut saya, Undang-undang Narkotikanya tidak ada masalah, dan penggolongan narkotika 1, 2, dan 3 masih relevan. Adapun untuk lampirannya, menurut saya itu yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan, di mana hal itu dituangkan pada Peraturan Menteri Kesehatan,” ujar Zullies kepada Health Liputan6.com melalui pesan teks Kamis (21/7/2022).
Permenkes terbaru terkait hal itu adalah Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.
“Jadi jika ada senyawa baru yang berisiko disalahgunakan dan tergolong narkotika, atau ada senyawa narkotika yang dapat masuk golongan 2 atau 3, dapat ditambahkan pada Permenkes tersebut, di mana peraturan ini menjadi peraturan pelaksana, sesuai UU Narkotika pasal 6 ayat 3.”
Sampai saat ini, kata Zullies, ganja masih dimasukkan ke dalam narkotika golongan 1, bersama tetrahydrocannabinol (THC) dan delta-9 THC, suatu komponen ganja yang bersifat psikoaktif.
Jika dalam perkembangan dunia kesehatan menunjukkan ada obat-obat baru yang bisa diperoleh dari senyawa aktif ganja, kata dia, maka bisa ditambahkan dalam Permenkes tersebut pada penggolongan yang sesuai.
Namun sejauh ini, menurut Zullies, penggunaan ganja untuk medis belum begitu perlu. “Sejauh ini menurut saya belum urgen, karena masih banyak obat lain sebagai pilihan.”
“Perlu dipahami, jika yang digunakan adalah ganjanya, entah itu serbuknya, atau bentuk lain yang masih mengandung berbagai kandungan kimia termasuk THC, walaupun diembel-embeli dengan kata ‘medis’, maka itu masih berpotensi untuk disalahgunakan,” katanya menegaskan.
Potensi disalahgunakan terjadi lantaran masih ada efek-efek memabukkan dan menyebabkan ketergantungan atau bersifat psikoaktif. Namun, jika yang digunakan dalam bentuk murni, seperti cannabidiol-nya yang sudah tidak bersifat psikoaktif, maka masih memungkinkan.
Dalam hal ini efeknya adalah sebagai obat antikejang, seperti yang dibutuhkan oleh ibu yang anaknya mengalami cerebral palsy.
“Masih banyak obat-obat anti kejang lain yang tersedia sebagai pengatasan kejang pada cerebral palsy,” ucap Zullies.
Soal dampak negatif dari penggunaan ganja, kata Zullies, tergantung pada bagian yang digunakan. Artinya, jika yang digunakan adalah keseluruhan ganjanya, dalam bentuk campuran, maka masih bersifat psikoaktif. Ini bisa memberikan efek-efek memabukkan dan menyebabkan ketergantungan.
“Tapi, jika yang digunakan adalah dalam bentuk obat murni berisi senyawa aktif cannabidiol, maka mungkin bermanfaat sebagai anti kejang tanpa dampak negatif yang membahayakan,” tuturnya.
Cannabidiol sebagai obat, dengan nama Epidiolex, sudah disetujui oleh FDA maupun EMA sebagai obat antikejang pada penyakit-penyakit kejang yang jarang pada anak-anak. Obat itu kemungkinan berpotensi baik juga jika dipakai pada kejang cerebral palsy.
Ganja Medis Tetap Bawa Dampak Negatif
Prof Zullies kembali menegaskan, jika pengertian "ganja medis" adalah keseluruhan ganjanya, walaupun dengan alasan medis, maka tetap lebih banyak dampak negatifnya jika dilegalkan.
“Akan lebih banyak ‘penumpang gelap’ yang akan ikut nimbrung dalam legalisasi ganja. Berapa persen sih pengguna ganja di Indonesia ini yang benar-benar ditujukan untuk alasan medis dibandingkan yang untuk rekreasional?” katanya.
Di beberapa negara sudah banyak kajian tentang ganja untuk tujuan medis dan beberapa sudah ada uji kliniknya.
"Tetapi sekali lagi, ganja yang dimaksudkan adalah yang dalam bentuk obat, yang sudah jelas dosisnya, dan cara pemakaiannya.”
Pasalnya, yang diperlukan dari ganja adalah cannabidiol atau CBD-nya, bukan keseluruhan dari tanaman ganja.
"Karena kalau dalam bentuk tanaman, dia masih bercampur dengan THC yang bisa menyebabkan banyak efek samping pada mental."
Selama ada pilihan lain, kata Zullies, ganja medis tidak terlalu perlu digunakan. Dan, kalaupun akan digunakan, harus dalam bentuk yang sudah terstandar, sebagaimana obat.
Kondisi ini, menurut Krimonolog dari Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi membuat usulan penggunaan ganja untuk medis menuai pro-kontra dan perdebatan. Sebab di satu sisi ganja dinilai bisa dimanfaatkan untuk pengobatan, namun di sisi lain dianggap berbahaya.
"Kalau kita lihat dari sisi besarnya narkotika ancamannya sangat global dan sampai tingkat lapisan masyarakat. Bahkan di kasus hukum terutama di Lapas, kasus narkoba sangat tinggi sekali. Artinya satu sisi ancaman besar, di sisi lain ada kebutuhan terkait bagaimana memikirkan atau pandangan baru ganja medis," ujar Josias saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (21/7/2022).
Selain itu, Josias merujuk pertimbangan MK, ganja atau jenis narkotika golongan I untuk terapi atau pelayanan kesehatan belum memiliki bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif.
"Kemudian dari segi aturan memang belum ada pendukung kuat untuk mendukung regulasi ganja medis."
Namun jika penggunaan ganja medis di Indonesia nanti dilegalkan, bukan berarti tidak ada dampak negatif yang harus diperhatikan. Josias menilai, pendistribusian ganja untuk medis sangat berpotensi disalahgunakan.
"Dari segi positif mungkin akan bisa bantu pengobatan medis, tapi masih harus dipertanyakan dari sisi kesehatan apa betul dia manfaatnya besar seperti yang sekarang diperdebatkan," ucapnya.
"Sisi negatifnya, itu bisa disalahgunakan dalam distribusi, konsumsi terkait dengan ganja itu untuk medis. Kita sudah tahu ganja di indonesia cukup subur di beberapa wilayah, nah distribusinya ini yang juga harus diantisipasi pencegahannya. Jadi satu sisi kesehatan, tapi juga harus sisi pencegahan penyalahgunaan," kata Josias menandaskan.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meyakini usulan tersebut akan sulit direalisakan jika masih menggunakan istilah "ganja" untuk medis.
"Jika istilah (terminologi) yang digunakan masih memakai kata "ganja" maka larangan itu tetap melekat, sehingga MK pun tidak berani melegalkan. Mungkin jika yang digunakan istilah lain unsur obat yang mengandung ganja akan lain soal," kata Fickar kepada Liputan6.com, Kamis.
Dia berpandangan bahwa sampai kapanpun larangan penggunaan ganja tidak boleh dicabut karena terbukti lebih banyak mudaratnya. Namun jika suatu saat ada penyakit yang benar-benar hanya bisa diatasi atau disembuhkan dengan zat yang terkandung dalam ganja, bukan tidak mungkin akan dilegalkan dengan persyaratan ketat.
"Jika substitusi (pengganti) zat yang terkandung dalam ganja tidak ditemukan lagi, di sisi lain zat itu dibutuhkan dalam dunia kesehatan sebagai modifikasi obat, maka tidak mustahil akan dilegalkan tetapi harus dengan nama dan bentuk lain yang sudah menjadi unsur obat, sehingga tetap tidak terkesan ganja dilegalkan. Yang bisa dilegalkan itu unsurnya yang sudah dimodifikasi menjadi obat," katanya menandaskan.
Advertisement
Alasan MK Tolak Permohonan Ganja untuk Medis
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Permohonan berkaitan dengan penggunaan narkotika jenis ganja untuk kepentingan kesehatan atau medis.
Hal itu diputus dalam rapat pemusyawaratan hakim oleh sembilan hakim konstitusi yang diketuai Anwar Usman dengan anggota Aswanto, Suhartoyo, Daniel Yusmic P Foekh, Wahiduddin Adams, Arief Hidayat, Saldi Isra, dan Mahanan MP.
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan atas uji materi UU Narkotika, Rabu (20/7/2022).
Putusan tersebut berdasarkan pertimbangan, jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan atau terapi belum memiliki bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif.
"Dengan belum ada bukti ihwal pengkajian dan penelitian secara komprehensif, maka keinginan para pemohon sulit dipertimbangkan dan dibenarkan oleh Mahkamah untuk diterima alasan rasionalitasnya, baik secara medis, filosofis, sosiologis, maupun yuridis," kata Hakim MK Suhartoyo.
Dalam penjelasan UU 35/2009 ditegaskan, narkotika jenis tertentu merupakan zat atau obat yang bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat, khususnya generasi bangsa.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menyatakan, pemanfaatan narkotika telah digunakan secara sah dan diakui secara hukum sebagai bagian dari pelayanan kesehatan setidaknya di beberapa negara. Antara lain Argentina, Australia, Amerika Serikat, Jerman, Yunani, hingga Thailand.
Namun, fakta hukum tersebut tidak serta-merta bisa dijadikan parameter bahwa seluruh jenis narkotika dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan yang dapat diterima dan diterapkan oleh semua negara.
“Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda baik jenis, bahan narkotikanya, struktur dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan.”
Daniel menambahkan, dalam perspektif ini, untuk negara Indonesia, diperoleh fakta hukum banyak orang yang menderita penyakit-penyakit tertentu dengan fenomena yang mungkin dapat disembuhkan dengan pengobatan yang memanfaatkan jenis narkotika golongan tertentu.
Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan akibat besar yang ditimbulkan apabila tidak ada kesiapan. Khususnya terkait dengan struktur dan budaya hukum masyarakat, termasuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan belum sepenuhnya tersedia.
Terlebih berkenaan dengan pemanfaatan jenis narkotika golongan I termasuk dalam kategori narkotika dengan dampak ketergantungan yang sangat tinggi.
Oleh karena itu, pemanfaatan narkotika golongan I di Indonesia harus diukur dengan kesiapan unsur-unsur yang sudah dijelaskan di atas sekalipun terdapat kemungkinan keterdesakan untuk pemanfaatannya.