Sukses

Gerilya Demi Ganja Medis dan Ancaman Keselamatan Bangsa

Setidaknya satu bulan lalu, jagat publik diramaikan dengan perjuangan sepasang Suami-Istri yang melakukan kampanye unik soal ganja medis. Aksi Santi Warastuti dan Sunarta pada Minggu 26 Juni 2022 ini dilakukan dengan membawa poster bertuliskan, "Tolong anakku butuh ganja medis."

Liputan6.com, Jakarta - Setidaknya satu bulan lalu, jagat publik diramaikan dengan perjuangan sepasang Suami-Istri yang melakukan kampanye unik soal ganja medis. Aksi Santi Warastuti dan Sunarta pada Minggu 26 Juni 2022 ini dilakukan dengan membawa poster bertuliskan, "Tolong anakku butuh ganja medis."

Diketahui, aksi tersebut adalah untuk mendorong legalisasi ganja medis. Hal ini dikarenakan buah hatinya yang bernama 'Pika' mengidap penyakit lumpuh otak atau Cerebral Palsy. Lantas dengan adanya aksi ini, banyak publik yang kemudian menyampaikan empatinya kepada sepasang suami istri tersebut.

Persoalan terkait ganja medis sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun lalu. Sebut saja kisah Fidelis Ari Sudarwanto, seorang Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kisahnya viral karena dia ditahan Badan Narkotika Nasional (BNN) setempat setelah kedapatan menanam pohon ganja untuk kebutuhan medis di dalam rumahnya, Februari 2017.

Diketahui, dalam kisahnya itu, Fidelis menggunakan ganja untuk terapi pengobatan sang istri, Yeni Riawati, yang mengidap Syringomyelia atau tumbuhnya kista di sumsum tulang belakang. Upaya itu ia lakukan dengan memberikan ekstrak ganja menjadi solusi untuk kesehatan istrinya, setelah sejumlah jalan pengobatan buntu. Dan terbukti ekstrak ganja dapat memberikan kesembuhan kepada istrinya.

Kendati demikian, dalam faktanya kehendak berkata lain, Langkah Fidelis yang semata untuk mengobati istrinya, dinilai melanggar perundangan narkotika, Undang-undang No. 35 tahun 2009.

Kisah lain yang juga merujuk pada persoalan ganja medis pernah dilakoni sekelompok anak muda yang melakukan aksi long march di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Mereka menyuarakan legalisasi ganja untuk medis di Indonesia. Kelompok ini yang kemudian bernama Lingkar Ganja Nusantara (LGN). Narasi yang dibangun saat ini tidak lagi legalisasi, tapi pemanfaatan ganja medis untuk diuji secara laboratoris.

Kembali pada aksi Santi dan Sumarta, pada kenyataannya cukup menyita perhatian dari kalangan elite. Wakil Presiden Indonesia misalnya. Beberapa minggu lalu, Ma'ruf Amin mengeluarkan pernyataan yang terkesan membuka peluang legalisasi ganja untuk medis. Pernyataan ini yang kemudian memicu wacana itu kian menguat. Bahkan, dia juga meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk segera melihat fatwanya.

Merespons usulan tersebut, Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengatakan, suatu kajian untuk fatwa harus dilakukan jika tak ada atau tidak terdapat penjelasannya dalam Alquran atau Hadis. Dia menyadari, jika memang keperluannya untuk medis atau kebaikan, kenapa tidak. Dia mencontohkan bagaimana di Aceh ada yang menggunakan ganja untuk penyedap makanan.

Senada dengan MUI, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyatakan akan mempelajari lebih lanjut usulan legalisasi ganja untuk medis. Pemerintah ingin melihat baik dan buruknya ganja medis.

Terlepas dari berbagai pandangan terhadap usulan legalisasi ganja medis tersebut, faktanya hal ini seperti mendapat kebuntuan usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait legalisasi ganja medis untuk alasan kesehatan. Amar putusan dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi saat persidangan.

Hal ini tentunya dapat memupus harapan para penderita cerebral palsy dan pengidap penyakit lainnya yang bisa disebut telah berharap banyak terhadap wacana legalisasi ganja medis di tanah air. Namun, di sisi lain, MK menyebutkan bahwa apabila benar ada kajian yang menguatkan legalisasi ganja medis untuk kesehatan, maka tidak mustahil hal tersebut dapat diwujudkan.

Dalam pertimbangannya, MK berpendapat, jenis narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan dan atau terapi belum dapat terbukti telah dilakukan pengkajian dan penelitian bersifat komprehensif dan mendalam secara ilmiah.

Jika demikian, apakah keputusan ini dapat diterima? Atau ini justru menunjukkan masih lemah dan buntunya pengawasan soal ganja medis di Tanah Air?

2 dari 3 halaman

Pemerintah Tak Berani atau Tak Mampu?

Di tengah gejolak tuntutan mengenai legalisasi ganja medis, kekhawatiran pemerintah terkait dampak penggunaan ganja medis tersebut sepertinya masih diselimuti dengan tingginya tingkat kasus penyalahgunaan ganja sebagai jenis narkotika golongan I di Indonesia.

Dalam Indonesia Drug Report 2022 yang dirilis oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), menyebutkan angka prevalensi setahun terakhir tentang penyalahgunaan narkoba meningkat dari 1,80 persen pada tahun 2019 menjadi 1,95 persen pada tahun 2021.

Selain itu, adanya pertimbangan mengenai manfaat medis ganja juga masih dipertanyakan apakah penggunaan tersebut memiliki potensi risiko kesehatan bagi penggunanya atau sebaliknya.

Kendati demikian, dalam putusan MK tersebut, sebetulnya masih membuka pertimbangan mengenai kajian-kajian yang dapat dilakukan dan memungkinkan hal tersebut dapat mendorong legalisasi penggunaan ganja medis untuk kesehatan.

Jika berkaca pada Thailand, sebagai negara Asia pertama yang melakukan legalisasi ganja medis, memang tidak terlepas dari polemik masyarakatnya yang selalu menggaungkan legalisasi ganja medis untuk kesehatan. Namun, di sisi lain terdapat pandangan bahwa dengan adanya legalisasi ganja medis maka tidak menutup kemungkinan akan mendorong manfaat ekonomi dan reformasi Thailand.

Martin Jelsma, Direktur Drugs & Democracy project di the Transnational Institute (TNI) Amsterdam mengatakan bahwa legalisasi ganja medis di Thailand dapat meningkatkan harapan petani dan perusahaan lokal dari pasar ganja medis internasional yang berkembang pesat, tetapi akan menjadi tantangan besar untuk bersaing dengan perusahaan Kanada, AS, dan Eropa yang sudah mapan.

Secara proporsi ekonomi, penjualan ganja medis memang sangat menggiurkan. Misalnya, dalam laporan Global Cannabis yang dirilis firm Prohibition Partners’ Global Cannabis Report, menyebutkan pasar ganja medis dunia diperkirakan bernilai lebih dari 120 miliar dollar pada tahun 2026.

Terlepas dari keuntungan ekonomi tersebut, sejatinya Thailand melegalkan ganja adalah untuk menekankan manfaat medisnya bukan pada potensi sebagai tanaman komersil, di mana Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand, Anutin Charnvirakul mengatakan bagi siapapun yang menghisap ganja tetap akan didakwa dengan pidana penjara tiga bulan dan denda sebesar 704 dolar.

Dalam persoalan ganja medis di Indonesia, memang banyak pro-kontra yang hadir terkait ini. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita melihat kepedulian pemerintah terhadap masyarakatnya apabila memang benar ganja medis itu memiliki urgensi bagi kesehatan masyarakat Indonesia.

Lantas, apakah keputusan untuk menolak ganja medis di Indonesia, mengindikasikan bahwasannya Indonesia masih tersandera dengan undang-undang Narkotika yang sudah ada?

3 dari 3 halaman

Soal Legalisasi Ganja Medis, Indonesia Tersandera UU Narkotika?

Dalam kaitannya dengan aksi Santi Wirastuti yang viral karena mendorong legalisasi ganja medis untuk anaknya yang menderita cerebral palsy. Musri Musman, peneliti ganja dari Universitas Sylah Kuala buka suara terkait beleid yang bisa dikaji ulang oleh Komisi III DPR RI untuk persoalan ganja medis.

Dia menanyakan kepada Komisi III DPR RI, jika hasil penelitian ganja medis yang dikecualikan lewat Pasal 7 tidak bisa dipergunakan manfaatnya untuk penderita yang membutuhkan, seperti penderita cerebral palsy, maka untuk apa hal tersebut dilakukan.

Mengacu pada hal tersebut, mungkin dapat diindikasikan bahwa legalisasi ganja medis sepertinya masih tersandera dengan aturan perundangan-undangan khususnya yang berkaitan dengan narkotika. seperti ganja yang dikategorikan sebagai golongan I narkotika di Indonesia.

Jika demikian, lantas hal ini akan merujuk pada bagaimana langkah legislator Indonesia apakah berkenan melakukan revisi terkait UU Narkotika tersebut? mengingat banyak pihak yang menyebut legalisasi ganja medis sudah terbukti untuk kesehatan.

Jika berkaca pada wacana legalisasi ganja medis di Malaysia dan Filipina. kedua negara tersebut sudah mulai merancang undang-undang yang terkait dengan legalisasi ganja medis. meski belum sah, namun hal ini dapat diartikan bagaimana pemerintah dan masyarakat saling suportif dalam mewacanakan suatu hal, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan.

Terlebih Filipina, meskipun terbilang negara ini sangat keras terhadap narkotika, khususnya dibawah kepemimpinan Rodrigo Duterte. namun, dalam hal ini sepertinya Filipina memiliki soft spot dalam konteks ganja medis. dilansir dari wawancara DW Indonesia

Artinya, dalam konteks wacana legalisasi ganja medis di Indonesia, selain bergantung pada penelitian yang membuktikan manfaat ganja medis pada kesehatan, hal ini juga berpacu pada kemauan politik dari perumus sekaligus pengesah aturan perundang-undangan nasional.

Menurut tulisan David Robert yang berjudul What is "political will," anyway?, kemauan politik atau political will didefinisikan sebagai sejauhmana komitmen dukungan pembuat keputusan kunci untuk solusi kebijakan dalam masalah tertentu.

Berkaca pada pernyataan David, dalam konteks legalisasi ganja medis di Indonesia, hal ini mengarah pada bagaimana dukungan DPR sebagai pembuat keputusan kunci untuk solusi mengenai kebijakan masalah legalisasi ganja medis, khususnya yang terkait dengan aturan hukum. Tentu hal ini juga berkaitan dengan kesungguhan pemerintah dalam meningkatkan pengawasan penggunaan ganja medis di Indonesia, yang apabila wacana legalisasi ini diwujudkan.

Micheal Foucault dalam tulisannya yang berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison, ia menggunakan istilah kekuasaan/pengetahuan untuk merujuk pada kehendak untuk berkuasa. ia juga menguatkan bahwa kuasa dan pengetahuan saling berkaitan erat satu sama lain.

Merujuk pada penyataan Foucault, jika benar kekuasaan dan pengetahuan memiliki keterkaitan, lantas apakah pengetahuan yang kita milik masih belum cukup terkait manfaat ganja medis, yang kemudian membuat narasi legalisasi ganja medis masih dinilai tabu di Indonesia.

Atas dasar hal itu, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa memang legalisasi ganja medis di Asia Tenggara tergolong tabu. Mengingat, dalam sejarahnya, Asia Tenggara adalah salah satu kawasan yang sangat bermasalah dengan narkoba. Terlebih, mengenai stigmatisasi tentang dampak buruk penggunaan ganja atau narkoba terhadap kerusakan organ.

Kendati demikian, dengan adanya langkah Thailand yang melakukan dekriminalisasi terhadap daun hijau tersebut, apakah hal ini dapat memantik keputusan negara Asia Tenggara lainnya? Hal ini mungkin dapat menjadi potensi. Tetapi, pada kenyataannya, meski penelitian tentang potensi manfaat ganja medis telah dipublikasikan secara luas, sepertinya hal ini masih belum diakui oleh kebanyakan negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.