Sukses

Citayam Fashion Week di Antara Komoditas Bisnis dan Politik

Fenomena tren remaja tanggung yang bergumul di pusat Kota Jakarta nyatanya masih ramai diperbincangkan di jagat maya. Bahkan tak sedikit yang menyebut fenomena ini semakin luas perbincangannya, tidak hanya soal fesyen melainkan juga sudah masuk ke ranah bisnis dan politik.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena tren remaja tanggung yang bergumul di pusat Kota Jakarta nyatanya masih ramai diperbincangkan di jagat maya. Bahkan tak sedikit yang menyebut arah perbincangan fenomena ini semakin luas, tidak hanya soal fesyen, juga sudah masuk ke ranah bisnis dan politik.

Menelisik lebih dalam terkait fenomena 'Citayam Fashion Week', hal ini sepertinya menjadi simbol perlawanan terkait minimnya ketersediaan ruang bagi remaja tanggung tersebut dalam mengekspresikan diri. Tak heran, apabila mereka justru kerap mengunjungi wilayah seperti Dukuh Atas untuk dapat meluapkan ekspresinya.

Mengutip tulisan Iskandar Zulkarnain yang berjudul Mandiri atau Mati: Punk Sebagai Budaya Perlawanan di Indonesia, budaya dalam konteksnya sebagai perlawanan, dapat hadir dalam berbagai macam nama, bentuk, serta terdiri dari berbagai elemen. Istilah-istilah seperti counter-culture, subkultur dipakai untuk menyebut budaya perlawanan ini. Salah satu bentuk dari budaya perlawanannya adalah punk.

Lebih lanjut, Iskandar menerangkan, kehadiran budaya punk di Indonesia karena efek reaksi budaya dominan terhadap budaya perlawanan tersebut. Ketika gempuran punk Inggris melanda dunia pada tahun 70-an dan awal 80-an, maka otomatis budaya perlawanan itu pun masuk ke Indonesia.

Terbukti, efek reaksi punk di Indonesia memunculkan pergerakan komunitas punk yang cukup masif. Di Bandung misalnya, pada tahun 90-an, meraih popularitasnya dengan bantuan kemunculan kembali punk dalam budaya dominan lewat popularitas Nirvana, Green Day, dan Rancid.

Berkaca pada tulisan di atas, fenomena 'Citayam Fashion Week' juga mungkin dapat dikategorikan sebagai reaksi budaya perlawanan (emergent) alternatif subkultur terhadap minimnya ketersediaan ruang publik yang dapat dijadikan tempat mereka dalam berekspresi. layaknya reaksi punk, hal ini juga telah terbukti memunculkan gerakan masa yang cukup masif dari wilayah-wilayah suburban lainnya, termasuk Depok.

Lebih lanjut, Menurut Raymond Williams dalam tulisannya yang berjudul Culture, Glasgow, Fontana Paperback 'Base and Superstructure in Marxist Cultural Theory’ menerangkan bahwa reaksi budaya terhadap budaya oposisional bisa hadir dalam dua bentuk yaitu pendekatan atau serangan.

Mengacu pada tulisan Raymond, mungkin dapat dikatakan bahwa fenomena 'Citayem Fashion Week' menjadi semacam reaksi komodifikasi pendekatan budaya barat yang kemudian dituangkan dalam ekspresi bebas ala remaja di ruang publik seperti Di Dukuh Atas, sehingga memunculkan istilah 'Haradukuh' yang merupakan plesetan dari 'Harajuku'

Menariknya, dalam konteks fenomena ini alih-alih menjadi bentuk simbol perlawanan terhadap pejabat publik untuk dapat menyediakan ruang publik di wilayahnya, hal ini justru dijadikan panggung fenomenal yang dapat mengorbitkan popularitas seseorang, Misalnya Bonge, Jeje, Roy dan kawan-kawannya.

Tidak hanya itu, fenomena tersebut juga telah menjadi sarana panggung popularitas bagi para selebrita yang mungkin hampir hilang bak ditelan bumi, kemudian muncul kembali karena ikut meramaikan fenomena tersebut.

Bahkan yang terbaru, fenomena 'Citayam Fashion Week' kembali viral di media sosial usai adanya perusahaan milik artis yang mendaftarkan merek 'Citayam Fashion Week' ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual atau PDKI. Menilik dari situs pdki-indonesia.dgip.go.id, merek Citayam Fashion Week itu didaftarkan pada 20 Juli 2022.

Lantas, apakah hal ini menjadi indikasi bahwa fenomena 'Citayam Fashion Week' telah menjadi simbol perlawanan yang dikooptasikan atau dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk menjulang keuntungan dari fenomena ini?

2 dari 3 halaman

Citayam Fashion Week: Simbol Perlawanan yang Dikooptasi

Dalam pemohonan terkait merek 'Citayam Fashion Week' ke PDKI, memang menjadi buah bibir di media sosial, banyak pihak yang menyebut langkah tersebut adalah langkah yang 'rakus' dan 'serakah'. Komedian sekaligus Ssutradara kondang seperti Ernest Prakasa, menyebut pendaftaran 'Citayem Fashion Week' ke HAKI adalah langkah yang serakah, dilansir dari akun Twitter @ernestprakasa.

Adapun dalam permohonan tersebut, dijelaskan bahwa Citayam Fashion Week adalah jenis hiburan dalam sifat peragaan busana. Jika permohonan itu dikabulkan, nantinya perusahaan milik Baim Wong dan Paula Verhoeven memiliki dasar untuk mencegah orang lain memakai Merek yang sama keseluruhan atau sama pada pokoknya dalam peredaran untuk barang/jasa sejenisnya.

Dari penelusuran di situs tersebut, selain Baim Wong ada pihak lain yang mendaftarkan Citayam Fashion Week sebagai merek, yaitu Indigo Aditya Nugroho. Yang mana isi permohonannya itu tidak jauh berbeda dari milik Baim Wong.

Dalam tulisan Umair Taj yang berjudul The Popularity Of Fashion Clothes Shows The Tendency Of Human Beings To Copy One Another, menyebut manusia adalah makhluk sosial yang mendambakan penghargaan dan penerimaan. Cara termudah untuk mencapai ini adalah dengan melakukan apa yang juga dilakukan orang lain.

Merujuk pada tulisan Umair, langkah Baim Wong dan Paula Verhoeven sejatinya dapat dinilai sebagai kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial yang mendambakan suatu hal dengan cara yang mudah, dan memanfaatkan apa yang dilakukan oleh orang lain. Terlebih soal penghargaan terhadapnya usai Paula mengunjungi rumah salah satu nama beken di 'Citayam Fashion Week' yaitu Bonge.

Lebih lanjut, dalam konteks pendaftaran 'Citayam Fashion Week' ke PDKI ini juga telah memunculkan istilah 'Crated by the Poor, Stolen by the rich' yang disebut sebagai gambaran ekspoitasi berlebihan di media sosial.

Berkaca pada peristiwa ramainya tren 'Sex Pistols' di Inggris pada beberapa dekade lalu. Tokoh kontroversial bernama Malcom McLaren disebut sebagai seorang yang eksploitatif terhadap merek Sex Pistols sendiri, di mana ia menjadikan imej 'Punk Sex Pistols' sebagai lahan komersil alias bisnis.

Hal ini sekilas memiliki kemiripan dengan langkah yang dilakukan oleh Baim-Paula dan pihak pendaftar lainnya, di mana mereka sepertinya ingin menjadikan tren 'Citayam Fashion Week' sebagai lahan bisnis, layaknya Malcom yang melakukan kooptasi atau pemanfaatan simbol perlawanan Sex Pistols kepada Ratu Elizbeth menjadi sebuah brand fesyen di Inggris.

Sama halnya dengan 'Citayam Fashion Week' alih-alih dijadikan simbol perlawan untuk pejabat publik terkait minimnya ruang publik, justru dimanfaatkan secara komersil sebagai merek fesyen Indonesia.

Menanggapi kegaduhan tersebut, Baim Wong menerangkan bahwa kehadiran merek Citayam Fashion Week miliknya hanya untuk membantu orang-orang yang memiliki mimpi besar, ia juga mengatakan melibatkan pihak-pihak terkait di dalam pendaftaran merek tersebut.

Terlepas dari adanya eksploitasi atau tidak, yang jelas hal tersebut sudah dikonfirmasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bahwa benar PT Tiger Wong Entertainment secara resmi telah mendaftarkan merek 'Citayam Fashion Week' ke Pangkalan Data Kekayaan Intelektual (PDKI).

Permohonan PT Tiger Wong tersebut teregistrasi dengan nomor JID2022052181. Koordinator Humas Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham Irma Mariana mengungkapkan permohonan merek Citayam Fashion Week yang diajukan Baim Wong masih dalam tahapan formalitas.

Artinya, meski sudah didaftarkan tapi belum tentu Baim dan Paula bisa mendapatkan hak atas merek tersebut. Mengingat, prosesnya masih sangat panjang dan memerlukan waktu yang lama.

Di sisi lain, buntut fenomena sepertinya tidak hanya dapat dimanfaatkan dalam konteks bisnis, dalam ranah politik fenomena ini juga turut memberikan siginifikasi yang kuat, misalnya pada tulisan sebelumnya yang berjudul 'Lenggak-Lenggok Citayam Fashion Week, Booster Ingatan Masa Lalu Kota Megapolitan' menerangkan bagaimana fenomena ini menjadi booster ingatan politik masa lalu yang kemudian dimunculkan kembali seiring dengan ramainya 'Citayam Fashion Week'.

Menariknya, hal ini kembali terulang dengan adanya aksi catwalk yang dilakukan oleh dua Kepala Daerah yaitu Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat) dan Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta). Keduanya ikut merasakan keramaian fenomena ini, dan banyak yang menilai hal tersebut sangat erat kaitannya dengan momentum pilpres 2024. Mengingat, keduanya kerap disebut sebagai calon potensial yang sepertinya akan mencalonkan diri di pilpres 2024.

Lantas, apakah hal ini menjadi indikasi bahwa fenomena 'Citayam Fashion Week' memiliki siginifikasi yang kuat secara politik untuk dapat dimanfaatkan para pejabat publik menjelang kontestasi pilpres 2024?

3 dari 3 halaman

Signifikasi Politik 'Citayam Fashion Week'

Bukan orang Indonesia namanya, jika suatu hal yang kontroversi atau dianggap aneh tidak ramai diperbincangkan di ranah publik. Ya.. sebut saja fenomena 'Citayem Fashion Week' yang disebut telah diklaim sebagai merek brand milik Baim-Paula.

Dalam konteks politik fenomena tersebut juga ikut ramai jadi perbincangan publik khususnya di media sosial. misalnya catwalk yang dilakukan oleh dua pejabat publik atau kepala daerah yaitu Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

Setidaknya beberapa hari lalu, keduanya mengundang atensi publik soal aksi catwalk-nya di zebracross Dukuh Atas dan kemudian membagikannya ke media sosial masing-masing.

Kang Emil tampil modis dengan memakai jas warna cokelat dan celana panjang bahan dengan warna senada dan tak ketinggalan mengenakan kaus putih sebagai inner. Ia melengkapi penampilannya dengan topi dan kacamata hitam sneakers putih sambil menenteng tas punggung berbahan kulit warna cokelat tua.

Sedangkan Anies, bersama para tamu pimpinan investasi Eropa terlihat catwalk menyeberangi zebra cross Dukuh Atas dengan setelan jas rapi. Mereka berjalan tegap sembari tersenyum lebar.

Anies menyatakan dirinya dan jajaran pimpinan investasi Eropa itu tak sekeren muda-mudi 'SCBD' yang belakangan viral dengan gaya nyentrik mereka di Dukuh Atas. Dia berkelakar tidak akan lagi mencoba catwalk di Dukuh Atas dan akan jadi penonton saja.

Terlepas dari hal itu, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menyebut langkah yang dilakukan oleh Anies dan Ridwan Kamil dapat dinilai sebagai paham politik yang dapat mendekatkan diri kepada generasi milenial, dilansir dari Kompas.com.

Artinya, kedua pejabat publik tersebut secara tidak langsung sedang memanfaatkan momentum 'Citayam Fashion Week' sebagai sarana pendekatan untuk mendulang citra positif di media sosial. Terlebih keduanya adalah calon potensial di pilpres 2024.

Hal ini menjadi masuk akan apabila merujuk pada pernyataan Andrea Caldararo dalam tulisannya yang berjudul Social Media and Politics, ia menerangkan bahwa dampak sosial media pada politik bergantung pada bagaimana seseorang dapat memperoleh manfaat dan peluang yang ditawarkan untuk meningkatkan dan memperkuat koneksi. Terbukti hal ini dilakukan oleh Anies dan Ridwan Kamil dalam memanfaatkan media sosial untuk memperkuat koneksinya dengan generasi milenial.

Lebih lanjut, Caldero memberikan contoh bagaimana mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama dalam kampanyenya kerap menggunakan media sosial untuk berkomunikasi terhadap pendukungnya. hal ini dapat memberikan bukti empiris yang menarik tentang peran media sosial yang dapat dimainkan untuk meningkatkan strategi komunikasi politik, termasuk dalam konteks pilpres 2024 mendatang.

Dengan demikian, mungkin dapat dijustifikasi bahwa fenomena 'Citayam Fashion Week' memang memiliki siginifikasi di bidang politik, ditambah pada ditahun-tahun berikutnya akan ada perhelatan demokrasi akbar yaitu pilpres, maka tidak heran apabila momen-momen seperti ini dijadikan pijakan politik oleh para kandidat potensial seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil.

Atas dasar hal itu, mungkin dapat disimpulkan bahwa tren sejatinya memiliki warna tertentu dalam kehidupan manusia, hadirnya tren remaja yang seolah dijadikan simbol perlawanan justru dimanfaatkan mereka khususnya kaum intelektual, selebrita, hingga pejabat publik untuk menjulang popularitas dan keuntungannya.

Namun, tidak seperti tren-tren yang hadir sebelumnya, faktanya fenomena ini lebih mendapatkan atensi khusus, dan perbincangannya pun mampu merambah ke arah bisnis dan politik. Lantas, apakah resistensi ini dapat menjadi momentum yang dapat eksis ke depan, atau ini sebatas fenomena yang akan berakhir seiring dengan masa libur sekolah yang sudah berakhir?