Liputan6.com, Jakarta - Hotma Sitompul, salah satu kuasa hukum terdakwa dugaan kekerasan seksual di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Malang, Jawa Timur Julianto Eka Putra menyebut semua hal yang dituduhkan ke kliennya harus ada bukti.
Namun sebelum itu, ia tak mau beranggapan siapa yang benar atau salah dalam kasus Julianto Eka Putra.
"Saya tidak boleh bilang klien saya benar atau salah, pelapor benar atau salah. Nanti bukti yang mengatakan. Sepanjang tidak ada bukti, laporannya tidak benar," ujar Hotma dalam podcast Deddy Corbuzier dikutip Liputan6.com, Senin (25/7/2022).
Advertisement
Baca Juga
Meski begitu, Hotma menegaskan, apa yang dituduhkan kepada kliennya di SPI tidak benar lantaran tidak ada bukti-bukti kuat. Karena, kata dia, itu sesuai dengan hukum.
"Dia kalau melapor harus ada bukti-buktinya. Dia mencium saya, siapa saksinya, siapa buktinya, mana fotonya. Selama tidak ada buktinya, itu tidak benar, itu hukum," kata Hotma.
Kemudian, Deddy pun bertanya bagaimana seandainya jika memang kasus dugaan kekerasan seksual itu tidak benar dan ternyata ada yang merekayasa.
Hotman lantas dengan tegas menjawab, semua kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan kliennya Julianto Eka Putra di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Malang, Jawa Timur adalah rekayasa. Ia bahkan menantang Deddy untuk menunjukkan bukti-buktinya.
"Kalau you tanya sekarang, Deddy tanya, kita kasih tau siapa yang merekayasa, ada apa di balik ini, bagaimana ini terjadi, ada bukti lhoh. Ada bukti (orang yang merekayasa ini), ada video, ada pengakuannya," terang Hotma.
"Sepanjang hingga saat ini, saya tidak melihat bukti laporan (dugaan kekerasan seksual) bahwa itu benar," sambung dia.
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Para Korban Dibayar
Deddy kemudian bertanya, apakah mungkin berarti para korban ini dibayar? Hotma pun membenarkan pernyataan Deddy tersebut. Bahkan dia membeberkan kegiatan rekayasa tersebut dilakukan di Bali, semua korban dikumpulkan di Pulau Dewata.
"Iya (dibayar). Kita punya bukti. Kita kasih lihat bagaimana merekayasanya, kapan merekayasanya, siapa yang mengatur rekayasa, kita putar (videonya) di sini. Punya bukti, mereka ditaro di Bali, dibayarin di hotel, nginep disitu, mau diputer? puter aja," kata Hotma.
"Sebetulnya kita berhitung, karena bisnis itu akan merambat pada banyak orang. Tapi kalau Deddy minta buka, kita buka aja," sambung dia.
Sayangnya, Deddy tidak mau memutar bukti video tersebut. Sebab Deddy tidak ingin berpihak meski ia kemudian hanya melihat bukti tersebut. Kemudian, Hotma memberikan sejumlah foto-foto bukti kepada Deddy.
"Ini apa nih bang?," tanya Deddy.
"Kumpul-kumpul di Bali, merekayasa," jawab Hotma.
Â
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kumpul di Bali Untuk Merekayasa
Deddy kemudian bertanya bagaimana bisa Hotma bilang kalau mereka yang kumpul di Bali itu untuk merekayasa.
"Ada satu begini, jadi mereka udah dari satu tahun yang lalu merekayasa ini. Caranya gimana? Keluar dulu, keluar, bikinlah rekayasa ini berminggu-minggu di sana. Bikin rekayasa untuk menghancurkan SPI, iya," ucap Hotma.
"Rekayasa untuk menghancurkan Julianto Eka? SPI nya atau Julianto Eka nya?," tanya Deddy balik.
"SPI nya, Julianto Eka nya, SPI nya mau dibikin hancur juga. Ini ngomong kan mesti ada bukti. Kenapa ga berani (ngomong), kenapa mesti takut, ada bukti," kata Hotma.
Kemudian diceritakan Hotma, dari orang-orang yang kumpul di Bali itu, ada yang mengkapkan hal rekayasa itu.
"Darimana tau buktinya? Dari satu orang itu ada yang terketuk hatinya 'oh ini gak bener'. Ada satu orang yang ngomong, lo jangan ngomong aja lo, nih buktinya, videonya ada. Oh ini orang dibayar, semua orang bisa bilang oh ini orang dibayar, semua orang bisa bilang begitu" kata Hotma.
"Tapi dari mana caranya menjatuhkan seorang Julianto Eka Putra bisa mendapatkan SPI? Kan dua hal yang berbeda," tanya Deddy.
"Dibilang ini pemimpinnya gak beres, jatohin, ganti orang lain, ada lagi di luar yang mau ngikut nih yang ngancur-ngancurin yang bilang bubarkan SPI," tutup Hotma.
Â
Jaksa Gunakan Pasal Berlapis Tuntut Terdakwa Pencabulan Julianto Eka
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menuntut secara maksimal terdakwa dugaan pencabulan di Kota Batu, Julianto Eka Putra. Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan digelar di Pengadilan Negeri (PN) Malang, besok Rabu (20/7/2022).
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Mia Amiati. Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan konsultasi atas rencana tuntutan yang akan dibacakan oleh JPU. Selain tuntutan maksimal, JPU juga akan meminta ganti rugi atau restitusi bagi korban pencabulan Julianto Eka.
"Tahapan sidang tinggal membacakan tuntutan. Dan kami punya kesimpulan dan ada keyakinan ada kesalahan dari terdakwa (JEP)," ujarnya, Selasa 19 Juli 2022.
Mia menambahkan, berdasarkan fakta persidangan ada sembilan korban Julianto Eka dalam perkara ini, namun hanya satu yang menjadi saksi pelapor. Kondisi ini sama dengan perkara dugaan pencabulan dan pemerkosaan santri di Jombang, dimana ada lima saksi korban, namun hanya ada satu pelapor.
"JPU berkeyakinan adanya persetubuhan tersebut dengan cara melakukan tipu muslihat. Yakni memberikan motivasi atau kata-kata kepada murid didiknya, merayu dan meyakinkan saksi korban," ujar Mia.
Mia menerangkan, tuntutan ganti rugi untuk korban, itu sudah diakomodir dalam tuntutan JPU. Namun tuntutan restitusi itu sendiri hanya akan didapat oleh saksi pelapor saja, bukan keseluruhan korban.
"Saksi pelapornya kan hanya satu. Sudah ada perhitungannya. Berapa besarannya nanti akan dibacakan dalam tuntutan besok," terang Mia.
Dalam perkara ini, terdakwa Julianto Eka diancam dengan Pasal 81 ayat (1) Jo Pasal 76D UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir diubah dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi UU Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
"Ancaman Pidana Maksimal 15 tahun," tutup Mia.
Advertisement