Liputan6.com, Jakarta: Sejumlah organisasi lembaga penyiaran berencana melakukan judicial review atau uji materiil atas Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Di mata mereka, UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, di antaranya Pasal 28 mengenai kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Demikian terungkap dalam public expose dan penandatanganan pemberian kuasa judicial review terhadap UU Penyiaran No. 32/2002 dari sejumlah organisasi lembaga penyiaran kepada Ketua Tim Kuasa Hukum Lembaga-lembaga Penyiaran Todung Mulya Lubis di Hotel Crown Plaza Jakarta, Rabu (26/2) siang. Di antara lembaga penyiaran tersebut adalah Asosiasi Televisi Siaran Indonesia (ATVSI), Persatuan Sulih Suara (PSS), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Komunitas Televisi (KT), dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI).
Menurut Ketua ATVSI Karni Ilyas, keberatan dari kalangan dunia penyiaran soal UU Penyiaran sudahlah jelas. Namun yang lebih prinsip buat para profesional di bidang ini adalah telah terjadi kebalikan bandul. "Yakni bandul dalam kebebasan media, kebebasan informasi atau kebebasan pers," kata dia.
Pada kesempatan itu, Todung mengatakan, UU Penyiaran mengandung banyak kelemahan. Bahkan, cenderung represif. Dia mencontohkan dengan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Todung, KPI tidak independen dan memiliki kewenangan yang sangat besar. "Ada reinkarnasi kekuasaan negara yang bisa disalahgunakan," kata dia.
Buktinya, dalam pasal 55 disebutkan, KPI bisa memberikan sanksi administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan izin penyiaran. Sedang sanksi pidana bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan siaran tanpa izin, menyiarkan berita bohong, dan memindah-tangankan izin penyiaran. Pada pasal 57, komisi ini juga diperbolehkan menjatuhkan sanksi pidana lima tahun penjara atau denda Rp 10 miliar atas pelanggaran isi penyiaran [baca: Selamat Datang Era Televisi Lokal]. "Dalam undang-undang ini jelas mengandung paradigma otoriter," kata Todung.
Rencananya, rancangan akhir uji materiil itu akan selesai dalam tiga hari mendatang. Selanjutnya, Todung akan mengajukan permintaan uji materiil UU Penyiaran Nomor 32/2002 kepada Mahkamah Agung, pekan depan. Selain itu, Todung juga mengaku akan meminta pemerintah menunda pemberlakuan UU tersebut.(SID/Miko Toro dan M. Guntur)
Menurut Ketua ATVSI Karni Ilyas, keberatan dari kalangan dunia penyiaran soal UU Penyiaran sudahlah jelas. Namun yang lebih prinsip buat para profesional di bidang ini adalah telah terjadi kebalikan bandul. "Yakni bandul dalam kebebasan media, kebebasan informasi atau kebebasan pers," kata dia.
Pada kesempatan itu, Todung mengatakan, UU Penyiaran mengandung banyak kelemahan. Bahkan, cenderung represif. Dia mencontohkan dengan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut Todung, KPI tidak independen dan memiliki kewenangan yang sangat besar. "Ada reinkarnasi kekuasaan negara yang bisa disalahgunakan," kata dia.
Buktinya, dalam pasal 55 disebutkan, KPI bisa memberikan sanksi administratif mulai dari teguran lisan sampai pencabutan izin penyiaran. Sedang sanksi pidana bisa dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan siaran tanpa izin, menyiarkan berita bohong, dan memindah-tangankan izin penyiaran. Pada pasal 57, komisi ini juga diperbolehkan menjatuhkan sanksi pidana lima tahun penjara atau denda Rp 10 miliar atas pelanggaran isi penyiaran [baca: Selamat Datang Era Televisi Lokal]. "Dalam undang-undang ini jelas mengandung paradigma otoriter," kata Todung.
Rencananya, rancangan akhir uji materiil itu akan selesai dalam tiga hari mendatang. Selanjutnya, Todung akan mengajukan permintaan uji materiil UU Penyiaran Nomor 32/2002 kepada Mahkamah Agung, pekan depan. Selain itu, Todung juga mengaku akan meminta pemerintah menunda pemberlakuan UU tersebut.(SID/Miko Toro dan M. Guntur)