Sukses

Siswi di Bantul Kena Drop Out karena Diduga Tak Pakai Hijab, KPAI Panggil Dinas Pendidikan

Kepala Divisi Monitoring Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kadiv Monev KPAI) Jasra Putra menyayangkan insiden drop out (DO) terhadap siswi di SMA 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Liputan6.com, Jakarta Kepala Divisi Monitoring Evaluasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Kadiv Monev KPAI) Jasra Putra menyayangkan insiden drop out (DO) terhadap siswi di SMA 1 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Adapun DO tersebut terjadi akibat siswi itu enggan mengikuti aturan harus hijab yang dikeluarkan oleh sekolah karena mengaku belum siap.

“Peristiwa anak drop out akibat menolak kewajiban berhijab di SMAN 1 Banguntapan, Bantul, Yogya menjadi tantangan penegakan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional kita yang memiliki prinsip inklusi non diskriminasi,” kata Jasra dalam keterangan tertulis diterima, Selasa (2/8/2022).

Menurut informasi diterima Jasra, akibat insiden tersebut, siswi tersebut trauma dan mengurung diri. Dia menegaskan hal itu wajib disikapi serius oleh sistem pendidikan di Indonesia. Dia pun akan memanggil instansi terkait untuk menjelaskan duduk perkaranya.

“Saya kira sangat penting pemanggilan dinas pendidikan yang abai terhadap peristiwa peristiwa seperti ini, kita perlu shock therapy buat birokrasi agar sadar tugasnya,” tegas Jasra.

Jasra menambahkan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia daerah (KPAID) Yogyakarta sudah mendatangi berbagai pihak, mulai dari keluarga siswa, Ombusman Republik Indonesia perwakilan Yogyakarta, Disdikpora Yoyakarta dan sekolah.

Selain itu, KPAID juga sudah memberi pendampingan kondisi psikologis siswa dan keluarganya, pasca anaknya di drop out karena menolak berhijab.

“Saya kira semua pihak punya kewajiban menegakkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang punya kepentingan dalam keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan untuk semua, tanpa kecuali,” jelas Jasra.

“Apalagi ini anak, yang hak hak nya dijamin negara. Sehingga mengedepankan kepentingan terbaik anak menjadi hal utama,” kritik Jasra.

Jasra memastikan, KPAI sangat menyayangkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia masih sangat tidak peka terhadap suara dan pendapat anak yang merupakan hak yang harusnya dihormati, didengar dan dipertimbangkan pendapatnya.

“KPAI akan segera memanggil Kepala Dinas Pendidikan DIY dan Kepala Sekolah terkait pamaksaan memakai jilbab di sekolah SMAN tersebut. Kita sangat menyayangkan dampak buruk terhadap psikis anak, sehingga tanpa penyelesaian, tiba tiba anak telah pindah sekolah. Cara cara seperti ini tidak boleh terus terjadi di dunia pendidikan kita,” Jasra memungkasi.

2 dari 3 halaman

Kronologi Siswa Dipaksa Gunakan Jilbab

SMA Negeri di daerah Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta menuaisorotan usai seorang siswi melapor bahwa dirinya dipaksa pakai jilbab. Tak tanggung-tanggung, sosok siswi tersebut melapor dirinya mengalami depresi diduga adanya pemaksaan tersebut.

Peristiwa tersebut terjadi pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kasus tersebut mengundang atensi dari berbagai pihak, seperti Ombudsman setempat hingga Disdikpora turun tangan mengusut tuntas kasus tersebut.

Pendamping siswi dari Persatuan Orangtua Peduli Pendidikan, Yuliani, mengatakan pada hari pertama masuk sekolah 18 Juli 2022, siswi tersebut menjalani MPLS sebagaimana murid baru pada umumnya.

Kemudian pada 19 Juli 2022, siswi tersebut dipanggil guru BP (Bimbingan Pentyuluhan). Dia ditanya kenapa tidak memakai jilbab, lalu dia menjawab belum mau. Setelah itu, dia dipaksa memakai jilbab dan merasa tidak nyaman.

"Gurunya memakaikan jilbab ke siswi tersebut,  sudah pemaksaan oleh guru BP. Setelah itu anak tersebut izin ke toilet dan menangis hingga sekitar satu jam," ungkapnya, Jumat 29 Juli 2022.

Pekan berikutnya pada 25 Juli 2022, murid baru itu masih masuk sekolah, namun saat upacara dia pingsan. Orang tuanya tidak diberi tahu. Yuliani menyebut pihaknya sudah dipertemukan dengan sekolah dan dinas untuk menjernihkan masalah itu.

"Sekolah mengambinghitamkan seolah ada persoalan keluarga, padahal enggak," jelasnya.

Akibat peristiwa ini, menurutnya, anak tersebut sangat trauma dan tidak mau sekolah di SMAN 1 Banguntapan lagi. Sarang Lidi kemudian mengadu kepada Ombudsman Daerah Istimeya Yogyakarta (DIY). Kasus ini juga ditangani KPAI.

3 dari 3 halaman

KPAI Soroti Pelaku Kejahatan Seksual Anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku, pihaknya sudah melaksanakan Evaluasi Kota Layak Anak bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) di Jombang, Jawa Timur.

Hal ini menyusul kasus dugaan pencabulan santriwati Moch Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Mas Bechi. Yang bersangkutan merupakan anak kiai di ponpes Shiddiqiyah.

Menurut Kepala Divisi Pengawas Monitoring dan Evaluasi KPAI, Jasra Putra, pada tahun 2021 pihaknya mendapatkan laporan kasus dugaan pencabulan oleh oknum pesantren di Jombang oleh Kepolisian dan pelakunya saat itu tengah diburu.

"Saya kira sejarah penegakan hukum kekerasan dan kejahatan seksual di negara kita terus progresif, baik di KUHP maupun di RKUHP yang terus berproses, termasuk UU 35 2014 tentang Perlindungan Anak, UU 17 2016 tentang Pemberatan Hukuman untuk pelaku kejahatan seksual pada anak dan terakhir UU TPKS," kata dia dalam keterangan tertulis diterima, Senin 11 Juli 2022.

Jasra berharap, ketegasan negara dengan tidak memberi ruang terhadap pelaku kejahatan seks yang berdampak pada pencabutan izin operasional pesantren dan pindahnya para santri. Selain itu, dia juga mendorong kepada korban lain untuk tidak bungkam terhadap kasus ini.

"Karena kita tahu peristiwa ini dibawah kekuasaan pelaku, yang dari 2019 sampai sekarang baru bisa tertangkap. Artinya tidak tertutup korban korban yang lain masih ada," ungkap dia.

Jasra menambahkan, KPAI menemukan regulasi yang belum efektif terkait pengawasan terhadap lembaga-lembaga yang dititipkan anak-anak oleh pemerintah pusat dan daerah.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong komitmen seluruh pihak untuk melaksanakan tata aturan untuk mengawasi jalannya lembaga-lembaga tersebut.

"Dalam evaluasi Kota Layak Anak, masih belum efektif pembagian tugas dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah dan diperlukan penguatan komitmen agar anak-anak yang dititipkan tetap terjangkau oleh kebijakan yang dibuat, sebelum mereka dititipkan," Jasra memungkasi.