Sukses

HEADLINE: Irjen Ferdy Sambo dan Anak Buah Dimutasi, Jaminan Kasus Brigadir J Terang Benderang?

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memutasi 25 anggota Polri yang diduga melanggar kode etik terkait penanganan kasus kematian Brigadir J. Apakah langkah ini akan membuat kasus terang benderang atau justru blunder?

Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memutasi 25 anggota Polri yang diduga melanggar kode etik terkait penanganan kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah Irjen Ferdy Sambo.

Mutasi dilakukan terhadap 25 anggota tersebut untuk kepentingan pemeriksaan terkait dugaan pelanggaran etik dan profesi dalam penanganan kasus kematian Brigadir J.

Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof. Mudzakkir, menilai, dari sisi hukum administrasi, apa yang dilakukan Kapolri sudah tepat. Namun, apakah langkah ini akan membuat kasus ini terang benderang atau justru blunder?

"Nah itu tergantung kontrol dari penyidik. Kalau memang benar sebagian dari yang digeser karena mengalangi proses penyidikan, atau penyesatan proses penyidikan, perusakan barbuk dan sebagainya, kalau itu benar, berarti penyidik (sekarang) akan memiliki barbuk yang lebih original. Kalau kemarin barang bukti rekayasa misalnya CCTV diganti dengan yang rusak, yang aslinya mudah-mudahan sudah ketemu," kata Mudzakkir kepada Liputan6.com, Jumat (5/8/2022).

Menurut dia, penyidik sekarang diuntungkan dengan memperoleh bahan materi barbuk yang asli dan memudahkan mengungkap perkara.

"Sekarang pertanyaannya adalah, bola ini ada di tangan penyidik selain Timsus dan Komnas HAM. Kalau saya yang lebih utama penyidik, kalau ada temuan Komnas HAM maupun Timsus yang dikepalai oleh Wakapolri itu lebih baik diinput, tapi sekarang penyidik harus gerak cepat," tambahnya.

Mudzakkir menjelaskan, penggunaan Pasal 55 dan 56 KUHP terhadap penetapan tersangka (Bharada E) menyiratkan bahwa pembunuhan tersebut tidak dilakukan oleh seorang diri.

Diketahui penyertaan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yakni dimaknai terdiri dari 'pembuat' yaitu orang yang memberikan perintah, 'penyuruh' yaitu orang yang bersama-sama melakukan, 'pembuat peserta' yaitu orang yang memberi perintah dengan sengaja, 'pembuat penganjur' dan 'pembantu'.

"Pasal 55 itu kan harus ada partnernya, pelaku lain bisa satu, dua, tiga, empat, bisa banyaklah. Nah pertanyaannya adalah pasal ini mau dihubungkan ke mana, karena dalam pasal ini saja namanya pelaku penganjur, pelaku turut serta, ada pelaku satu lagi namanya menyuruh lakukan, jadi kalau menyuruh lakukan itu diperintahan oleh atasannya. Bawahannya itu tidak bisa diminta pertanggungjawabannya karena dia disuruh atau diperintah atasan."

"Jadi kalau Bharada E disuruh, pertanyannya siapa yang nyuruh, kalau itu dianjurkan, siapa yang menganjurkan, yang menganjurkan dengan yang menyuruh ini beda. Dia aktor intelektual, ini otaknya, itu yang namanya menganjurkan. Nah pertanyaanya Bharada E ini dianjurkan oleh siapa? Atau apakah dia sebagai pelaku penganjur, pelaku turut serta, atau pelaku yang menyuruh lakukan atau justru dia eksekutor lapangan. Ini yang belum jelas, penyidik harus mengungkapkan itu supaya jelas," ucapnya.

2 dari 4 halaman

Mutasi Tak Cukup

Pakar Hukum Pidana Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menanggapi mutasi yang dilakukan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo terhadap 25 anggota Polri yang diduga melanggar kode etik terkait penanganan kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat.

"Mutasi dan non aktif adalah langkah untuk memudahkan pemeriksaan jadi hal tersebut bukan merupakan sanksi. Jadi tentunya tidak cukup," kata Agustinus kepada Liputan6.com, Jumat (5/8/2022).

Kendati demikian, Agustinus menilai pihak kepolisian cukup serius dalam mengungkap kasus ini. "Sepertinya begitu dan harus seperti itu, kepercayaan masyarakat pada Polri harus secepatnya dikembalikan," ujar Agustinus.

Ia optimistis kasus tersebut dapat diungkapkan secara terang benderang. "Karena rasanya tidak mungkin institusi kepolisian yang sangat vital dipertaruhkan, semata untuk melindungi kepentingan pihak tertentu," jelas dia.

Agustinus menilai bahwa penggunaan pasal 55 dan 56 KUHP terhadap penetapan tersangka Bharada E sudah tepat. Dia juga menyetujui dugaan bahwa pembunuhan terhadap Brigadir J tak dilakukan seorang diri.

Agustinus percaya bakal ada tersangka lain yang dimunculkan dalam kasus ini. Namun, dia mengaku tak dapat memastikan bagaimana kedudukan tersangka baru itu nantinya.

"Bahkan mungkin bisa lebih dari satu, yaitu pihak yang turut serta atau menggerakkan dan pihak yang membantu pembunuhan tersebut," terang dia.

Dikawal Kompolnas

Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti, mengapresiasi dan mendukung ketegasan Kapolri dalam memeriksa 25 anggota untuk diproses kode etik karena diduga menghalangi proses penyidikan di kasus Brigadir J. Jika ada dugaan tindak pidana, maka mereka yang diduga melakukan tindak pidana harus diproses pidana.

"Dugaan tindakan mengalangi proses penyidikan, mengakibatkan terhambatnya proses lidik sidik kasus ini, sehingga mencoreng profesionalitas, kemandirian dan nama baik Polri," kata Poengky kepada Liputan6.com, Jumat (5/8/2022).

"Kompolnas optimistis ketegasan Kapolri akan memperlancar proses penyidikan kasus ini. Kompolnas akan terus mengawal proses penyidikan kasus ini dan memastikan Polri profesional dan mandiri."

Terkait keterlibatan tiga jenderal dalam kasus ini, Poengky meminta semua pihak bersabar. "Tunggu proses penyidikan ya," ucapnya.

3 dari 4 halaman

IPW Minta Polri Pecat 25 Anggota

Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi langkah Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang melakukan pemeriksaan terhadap 25 anggota yang diduga menghambat penanganan kasus kematian Brigadir J. Hal tersebut dinilai menjadi upaya bersih-bersih Pimpinan Polri terhadap tangan kotor yang mencoreng institusi.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan, yang dilakukan Kapolri telah sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang memerintahkan agar kasus polisi tembak polisi itu diproses hukum secara objektif dan transparan.

"Pemeriksaan personel Polri dengan pencopotan satu Irjen, dua Brigjen, lima Kombes, dua Kompol, tujuh Perwira Pertama, serta lima Bintara dan Tamtama yang dilakukan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tersebut bertujuan menjaga marwah lembaga Polri yang sedang terpuruk oleh hujatan masyarakat," tutur Sugeng kepada Liputan6.com, Jumat (5/8/2022).

Menurut Sugeng, Kapolri telah menegaskan bahwa 25 anggota tersebut tidak profesional dalam penanganan TKP di rumah Irjen Ferdy Sambo daerah Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Sehingga, mereka akan diperiksa secara etik, dan bila ada pelanggaran pidana maka diproses secara pidana sesuai dengan perbuatannya.

"Dengan kenyataan ini, IPW meminta Tim Khusus internal bentukan Kapolri yang terdiri anggota Polri senior dan peraih Adhi Makayasa untuk menerapkan sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap anggota polri tersebut. Sebab, mereka telah melakukan pelanggaran berat Kode Etik Profesi Polri (KEPP) berupa ketidakprofesionalan dalam melaksanakan tugas," jelas dia.

Hal itu pun akan sesuai dengan tekad Kapolri saat mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE/9/V/2021 tentang Pedoman Standar Pelaksanaan Penegakan Pelanggaran Kode Etik Profesi Polri tertanggal 18 Mei 2021. Kapolri disebut selalu mengingatkan kepada pejabat Polri yang memimpin wilayah untuk tegas dan menegakkan hukum kepada anggota yang melanggar peraturan disiplin anggota Polri pada PP 2 Tahun 2003 dan peraturan etika Polri yang tertuang dalam Perkap 14 Tahun 2011.

"Bahkan pada rapat kerja dengan Komisi III DPR pada 24 Januari 2022, Kapolri Jenderal Listyo Sigit menegaskan tidak segan-segan untuk memecat langsung anggotanya yang melakukan pelanggaran. 'Untuk melakukan perbaikan kami berkomitmen untuk terus berbenah. Kami tegaskan sekali lagi bahwa Polri, kami tidak ragu memecat 30, 50, atau 500 anggota Polri yang merusak institusi', ungkapnya ketika itu," ujar Sugeng.

Sugeng menegaskan, komitmen tersebut harus terus dipegang Kapolri, terlebih saat menghadapi adanya ketidakprofesionalan yang dilakukan anggotanya, khususnya dalam penanganan kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir J di rumah dinas Irjen Ferdy Sambo.

"Pada kasus polisi tembak polisi di rumah Irjen Ferdy Sambo tersebut telah menyeret banyak anggota yang terpaksa harus diperiksa secara etik karena melakukan obstruction of justice. Sehingga, terjadi ketidakprofesionalan, ketidakproporsionalan dan tidak prosedural yang dilakukan terperiksa," Sugeng menandaskan.

4 dari 4 halaman

Komnas HAM Bakal Periksa 25 Polisi

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mengatakan, pihaknya membuka peluang untuk memeriksa 25 personel kepolisian yang saat ini tengah menjalani pemeriksaan oleh Tim Khusus (Timsus) Polri. Ini terkait ketidakprofesionalan dalam mengusut kasus kematian Brigadir J.

"Kami belum mengagendakan begitu, tapi tidak tertutup kemungkinan artinya kami kan harus step by step nih setiap langkah begitu," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, Jumat (5/8/2022).

Beka mengatakan jika dalam pemeriksaan hari ini tim Puslabfor Polri terkait balistik juga dihadiri Tim Siber Bareskrim Polri, maka terkait 25 personel atas ketidakprofesionalan akan diperiksa.

"Kalau mereka datang dengan siber kita juga akan periksa sekalian, tapi terkait dengan 25 orang segala macem belum kami putuskan," ucapnya

Sementara, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah fokus untuk mendalami keterangan hasil balistik dan digital forensik tim Puslabfor dan Siber Bareskrim Polri.

"Kita pelajari dulu kasusnya apalagi masih ditangani Polri. Sementara fokus kami kepada balistik dan digital forensik," ucap Taufan.

Pasalnya, lanjut Taufan, Komnas HAM saat ini ingin memastikan kebenaran informasi terkait dengan keterangan CCTV yang simpang siur adanya perbedaan satu dengan lainnya.

Alhasil, atas perbedaan pendapatan tersebut bisa memunculkan indikasi dugaan upaya melawan hukum yang mengganggu proses penegakan hukum (obstruction of justice).

"Yang satu bilang disambar petir, ADC bilang sudah rusak sejak lama. Nah sekarang sudah ada indikasi kuat unsur kesengajaan. Bisa disebut sebagai dugaan obstruction of justice," sebut dia.

Menurut Taufan, ihwal penyebab kerusakan CCTV yang membuat pokok kejadian dalam kasus tewasnya Brigadir J tidak terekam harus diusut guna membongkar perkara yang telah menetapkan Bharada E sebagai tersangka dugaan pembunuhan.