Sukses

Harga Mi Instan Bakal Naik, Gerindra: Menkeu Perlu Subsidi untuk Rakyat Kurang Mampu

Indonesia adalah konsumen mie instan terbesar kedua di dunia. Oleh karena itu kenaikan harga akan memberatkan rakyat.

Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Gerindra Kamrussamad angkat suara terkait kabar kenaikan harga mi instan. Menyikapi hal ini dia mengingatkan bahwa kenaikan harga mie instan harus diantisipasi dengan subsidi pemerintah.

Sebab, Kamrussamad menyebut berdasar data yang ia baca, banyak masayarakat ekonomi rendah di Tanah Air yang mengonsumsi mie instan.

"BPS mencatat, mie instan adalah komoditas pangan yang riil dikonsumsi oleh 20 persen penduduk yang berada di atas garis kemiskinan sementara. Jadi, kenaikan harga mie instan akan berdampak bagi rakyat miskin. Apalagi konsumsi mi masyarakat Indonesia sangat tinggi," kata Kamrussamad dalam keterangannya, Kamis (11/8/2022).

Politikus Gerindra iitu menyebut, Indonesia adalah konsumen mi instan terbesar kedua di dunia. Oleh karena itu kenaikan harga menurutnya akan memberatkan rakyat.

"Di awal tahun, per bungkus mi instant harganya Rp 2.400. Sekarang di Juli mencapai Rp 2.700. Jadi kenaikan ini tentu akan mengurangi daya beli masyarakat. World Instant Noodles Association (WINA) mencatat Indonesia sebagai negara kedua dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia," kata dia.

Oleh karena itu, Kamrussamad meminta pemerintah tak berdiam diri dan segera mempersiapkan anggaran untuk subsidi mi bagi rakyat kurang tak mampu.

"BPS juga mencatat, konsumsi domestik mie instant seluruh Indonesia mencapai Rp 13,2 miliar bungkus per tahun. Karena itu, pemerintah harus mengantisipasi lonjakan harga mie instan dengan menyiapkan subsidi mie instant," pungkas dia.

 

2 dari 3 halaman

Mie Instan Naik Dampak Perang Rusia-Ukraina

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengungkapkan kemungkinan harga mie instan naik imbas dampak perang Rusia-Ukraina.

Diketahui bahwa perang-Rusia-Ukraina yang masih berlangsung menghambat pengiriman ratusan juta ton gandum dari kedua negara, sebagai penghasil gandum terbesar dunia.

Syahrul memprediksi harga mi instan bisa naik tiga kali lipat karena mahalnya harga gandum sebagai bahan baku yang masih dipasok melalui impor.

"Belum selesai dengan climate change, kita dihadapi dengan Perang Ukraina-Rusia. Dimana ada 180 juta ton gandum nggak bisa keluar, jadi hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harganya (naik) 3x lipat," ujar Menteri Syahrul dalam webinar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, dikutip Rabu, 10 Agustus 2022. 

"Ada gandum tapi harganya mahal banget. Sementara kita impor terus," pungkasnya.

Namun, meski dengan kondisi iklim yang tak menentu di sejumlah negara yang diperparah dengan krisis energi dan pangan hingga geopolitik, Menteri Syahrul meyakini Indonesia bisa melewati krisis ekonomi.

Hal itu didukung dengan keberhasilan Indonesia melewati pandemi dengan baik dan mempertahankan tingkat inflasi di bawah 4 persen.

"Selama 2 tahun ini, Indonesia termasuk salah satu negara yang sukses menghadapi Covid-19 dilihat dari ekonomi yang konstan, serta kemampuan perputaran uang dan kehidupan rakyatnya yang cukup baik," tutur Menteri Syahrul.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 3 halaman

Gandum Jadi Bahan yang Langka

Rusia dan Ukraina adalah negara penghasil gandum yang terbesar di dunia, keduanya menyuplai sekitar 30% hingga 40% dari kebutuhan gandum yang ada di dunia. Maka dari itu, dengan situasi perang yang terjadi pada saat ini gandum pun menjadi salah satu bahan yang langka dikarenakan pasokannya yang terhambat.

Kenaikan harga gandum tersebut turut dirasakan di pasar internasional dan salah satunya termasuk Indonesia yang membutuhkan gandum sebagai salah satu bahan baku mie instan.

Lebih lanjut, Mentan Syahrul kembali menyebut ada potensi 62 negara di dunia masuk dalam kategori krisis pangan. Ini diperkuat dengan pernyataan yang ia dapatkan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

"Bahkan, beberapa negara lain mengisyaratkan ada kelaparan kurang lebih 13 juta orang di dunia, itu mulai di Ethiopia, ada 62 negara menuju kondisi krisis pangan," ungkapnya.

Ia mengisahkan, rantai pasok dunia terganggu dengan adanya pandemi Covid-19, kemudian diperparah dengan ancaman perubahan iklim, ditambah adanya perang Rusia-Ukraina.

"Climate change (perubahan iklim) membuat semua menjadi tidak linear, tak seperti apa adanya, unpredictable, tak bisa diperkirakan, itu kata dunia, everything non-continous anymore," kata dia.Advertisement