Sukses

Kinerja DPR Disorot, Diminta Lebih Produktif

Peneliti Formappi Lucius Karus menyoroti kinerja DPR RI pada masa sidang V

Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, fungsi legislasi yang DPR RI belum memuaskan. Sebab, dari 11 Rancangan Undang-undang (RUU) yang disahkan pada Masa Sidang (MS) V tahun 2022, hanya ada 3 RUU yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022.

"Dinamika pembahasan RUU pada Masa Sidang V bisa dikatakan cukup produktif jika melihat total RUU yang akhirnya bisa disahkan oleh DPR. Tercatat ada 11 RUU yang berhasil disahkan pada MS V lalu. Sayangnya dari 11 RUU yang disahkan tersebut, hanya 3 RUU yang berasal dari Daftar RUU Prioritas 2022," kata peneliti Formappi Lucius Karus lewat keterangannya, Sabtu (13/8/2022).

"Delapan RUU lainnya merupakan RUU Kumulatif Terbuka yang semuanya terkait UU Provinsi (5 RUU) dan DOB (3 RUU DOB Papua). Dengan demikian produktivitas legislasi sesungguhnya biasa-biasa saja karena 3 RUU yang disahkan dari Daftar RUU Prioritas 2022 tentu bukan sesuatu yang mengagumkan," sambungnya.

Lucius menuturkan, tambahan RUU dari cluster Kumulatif Terbuka memang selalu mampu menutup potret kinerja rendah DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Selain produktivitas yang tidak luar biasa, dinamika pembahasan RUU pada MS V sesungguhnya mengecewakan.

Formappi menilai, hal itu setidaknya terlihat dari kebiasaan DPR yang masih suka memperpanjang proses pembahasan RUU. Tercatat ada 3 RUU yang pembahasannya diputuskan untuk diperpanjang.

"Yang lebih mengecewakan adalah keputusan DPR RI untuk menghentikan proses pembahasan RUU Penanggulangan Bencana," ucapnya.

 

2 dari 3 halaman

Beberapa RUU Disorot

Menurut Lucius, tuntutan penguatan regulasi kebencanaan sesungguhnya merupakan kebutuhan mendesak jika mengingat kerawanan bencana alam di Indonesia. Jika ditambah dengan ancaman bencana non-alam seperti pandemi Covid-19 yang masih berlangsung maka ancaman bencana tentu sesuatu yang nyata.

Lucius mengaku, bagaimana bisa DPR RI justru menghentikan pembahasan RUU yang tuntutan kebutuhannya sangat jelas. Apalagi, alasan penghentian itu nampak sangat elitis yakni karena perbedaan sikap antara Pemerintah dan DPR terkait posisi BNPB dalam proses pembahasan.

"Lho sejak kapan pembahasan RUU berlangsung tanpa perbedaan pendapat? Bukankah tuntutan untuk membahas RUU justru karena adanya perbedaan-perbedaan sikap baik antara DPR dan Pemerintah maupun antar fraksi di DPR?," kata dia.

"Mengapa pada pembahasan RUU Penanggulangan Bencana perbedaan sikap itu justru menjadi petaka yang menghentikan pembicaraan penting terkait regulasi kebencanaan? Ini benar-benar konyol sih," sambungnya.

Lucius melanjutkan, pngesahan revisi UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) juga sulit diapresiasi karena dilakukan melalui proses yang tidak cukup partisipatif. Pro-kontra mengenai mekanisme omnibus dan bagaimana hubungannya dengan revisi UU Cipta Kerja masih menggantung.

Kata dia, tiba-tiba saja DPR dan pemerintah meninggalkan semua kontroversi itu dengan mengesahkan Revisi UU PPP di pekan pertama Masa Sidang V.

"Dari gerak-gerik pembahasan kilat dan minim partisipatif itu, terlihat jelas bahwa revisi UU PPP memang sekadar untuk mengantisipasi revisi UU Cipta Kerja yang karena keputusan MK terancamdibatalkan seluruhnya jika tak direvisi selama dua tahun sejak keputusan MK dibacakan," kata Lucius.

Dia mengatakan, pengesahan 3 RUU Prioritas pada MS V akhirnya memang menambah pundi-pundi RUU Prioritas yang berhasil disahkan menjadi 12 RUU dari 40 Daftar RUU Prioritas. Dari 12 RUU tersebut sesungguhnya hanya 6 RUU yang benar-benar disahkan pada 2022.

Sedangkan, 6 RUU lain sudah disahkan pada akhir tahun 2021 lalu. Dia menyebut, sikap DPR yang tidak mau merevisi Daftar RUU Prioritas 2022 sesungguhnya memunculkan kecurigaan.

"Jangan-jangan mereka sengaja membiarkan 6 RUU yang sudah disahkan pada 2021 tetap ada pada daftar RUU Prioritas 2022 agar mereka bisa mengklaim capaian RUU yang lebihbanyak di dua tahun berturut-turut," pungkas Lucius.

3 dari 3 halaman

DPR Resmi Sahkan 7 UU Provinsi

Rancangan Undang-Undang (RUU) Tujuh Provinsi resmi disahkan menjadi Undang-Undang (UU) dalam Rapat Paripurna di DPR RI, Selasa 15 Februari 2022.

Tujuh UU provinsi itu, yakni UU tentang Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tengah (Sulteng), Sulawesi Tenggara (Sultra), Sulawesi Utara (Sulut), Kalimantan Timur (Kaltim), Kalimantan Selatan (Kalsel), dan Kalimantan Barat (Kalbar).

"Alhamdulillah sudah disahkan tujuh UU untuk tujuh provinsi," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian dalam keterangannya, Selasa 15 Februari 2022.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengapresiasi berbagai pihak yang dinilainya telah bekerja efektif dan penuh dedikasi sehingga mampu merampungkan tujuh RUU tersebut hingga disahkan menjadi UU.

"Atas nama pemerintah, kami mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada semua pihak yang telah membuat tujuh RUU provinsi ini dapat ditetapkan menjadi UU," puji Mendagri Tito.

Tito menjelaskan, tujuh UU provinsi yang telah disahkan bukan bertujuan membentuk daerah baru, tetapi dasar hukumnya masih mengacu pada regulasi lama sehingga perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan kondisi sekarang. Misalnya saja, UU yang mengatur tentang provinsi sebelumnya termuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi, yang masih mengacu UU Republik Indonesia Serikat (RIS).

"Aspirasi dari semua kepala daerah, tokoh-tokoh masyarakat dari tujuh provinsi itu, sesuai aturan UU, satu provinsi itu adalah satu UU, bukan gabungan, sekarang kan situasinya berbeda," ujarnya.

 

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com