Liputan6.com, Jakarta: Puluhan pengamat politik dan aktivis organisasi non-pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Koalisi untuk Demokrasi menyatakan Pasal 19 Rancangan Undang-Undang TNI harus secara tegas ditolak. Alasannya, pasal yang memberikan kewenangan Panglima TNI mengerahkan pasukan dalam keadaan mendesak itu bertentangan dengan pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kewenangan presiden untuk mengerahkan militer dalam keadaan darurat. Pernyataan sikap Koalisi untuk Demokrasi itu disampaikan dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (3/3).
Koalisi untuk Demokrasi juga menilai RUU TNI masuk konteks yang salah. Sebab, isi pasal itu dianggap upaya memberikan landasan legal kepada Panglima TNI untuk mengambil keputusan politik yang bertentangan dengan UU Pertahanan Negara dan UUD 1945. Seharusnya, pengerahan pasukan berdasarkan keputusan presiden dengan persetujuan DPR dan diatur dalam undang-undang tersendiri [baca: RUU TNI Dinilai Bertentangan dengan UUD`45]. Menurut mereka, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Kepala Badan Intelijen Negara tak berwenang membuat keputusan politik yang menjadi kewenangan pemerintah dan kabinet.
Mengenai upaya meredam kerusuhan massa atau menanggulangi bencana alam seperti diutarakan Panglima TNI, menurut Koalisi, itu bukan tugas pokok TNI. Karenanya, kekuatan TNI tidak dapat digunakan secara otonom tanpa adanya keputusan politis terlebih dahulu [baca: Adnan Buyung: Militer Harus Tunduk kepada Pemerintah]. Upaya menanggulangi ancaman bersenjata dengan pasal 19, menurut Koalisi, mengabaikan prinsip bahwa kekuatan militer harus digunakan secara terukur sesuai dengan eskalasi ancaman. Alasan yang digunakan untuk mencegat kekuatan asing yang masuk wilayah Indonesia dianggap sebagai pembenaran atas keberadaan pasal itu.
Sebagai bentuk penolakan, beberapa anggota koalisi yang tadinya juga tergabung dalam Tim Perumus RUU TNI menyatakan mundur dari keanggotaan karena sebelumnya pasal ini telah dengan tegas ditolak. Koalisi itu beranggotakan beberapa pengamat, akademisi dan aktivis hak asasi manusia, antara lain Kusnanto Anggoro, Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, Munir, Ikrar Nusa Bhakti, Chusnul Mariyah, Fajrul Falakh, Rizal Sukma, dan Syamsudin Haris.(DEN/Andi Azril)
Koalisi untuk Demokrasi juga menilai RUU TNI masuk konteks yang salah. Sebab, isi pasal itu dianggap upaya memberikan landasan legal kepada Panglima TNI untuk mengambil keputusan politik yang bertentangan dengan UU Pertahanan Negara dan UUD 1945. Seharusnya, pengerahan pasukan berdasarkan keputusan presiden dengan persetujuan DPR dan diatur dalam undang-undang tersendiri [baca: RUU TNI Dinilai Bertentangan dengan UUD`45]. Menurut mereka, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Kepala Badan Intelijen Negara tak berwenang membuat keputusan politik yang menjadi kewenangan pemerintah dan kabinet.
Mengenai upaya meredam kerusuhan massa atau menanggulangi bencana alam seperti diutarakan Panglima TNI, menurut Koalisi, itu bukan tugas pokok TNI. Karenanya, kekuatan TNI tidak dapat digunakan secara otonom tanpa adanya keputusan politis terlebih dahulu [baca: Adnan Buyung: Militer Harus Tunduk kepada Pemerintah]. Upaya menanggulangi ancaman bersenjata dengan pasal 19, menurut Koalisi, mengabaikan prinsip bahwa kekuatan militer harus digunakan secara terukur sesuai dengan eskalasi ancaman. Alasan yang digunakan untuk mencegat kekuatan asing yang masuk wilayah Indonesia dianggap sebagai pembenaran atas keberadaan pasal itu.
Sebagai bentuk penolakan, beberapa anggota koalisi yang tadinya juga tergabung dalam Tim Perumus RUU TNI menyatakan mundur dari keanggotaan karena sebelumnya pasal ini telah dengan tegas ditolak. Koalisi itu beranggotakan beberapa pengamat, akademisi dan aktivis hak asasi manusia, antara lain Kusnanto Anggoro, Todung Mulya Lubis, Bambang Widjojanto, Munir, Ikrar Nusa Bhakti, Chusnul Mariyah, Fajrul Falakh, Rizal Sukma, dan Syamsudin Haris.(DEN/Andi Azril)