Sukses

Mendadak K-Pop di Panggung Politik PAN, Sebegitu Pentingkah Suara Milenial di Pemilu 2024?

Partai Amanat Nasional (PAN) mencoba peruntungan politiknya melalui K-Pop jelang kontestasi elektoral 2024. Namun, langkah tersebut sepertinya meninggalkan makna tersendiri untuk generasi milenial. Mengapa bisa demikian?

Liputan6.com, Jakarta - Sepanjang tahun 2022, liak-liuk partai politik (parpol) dalam menatap Pemilu 2024 telah banyak menghiasai perbincangan di jagat publik, khususnya dalam pemberitaan di media. Tak hanya soal koalisi, ramainya isu politik tentang manuver parpol ini juga merujuk pada gelaran rapat-rapat penting seperti rakernas, rapimnas, maupun yang lainnya.

Seperti halnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang baru-baru ini menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Istora Senayan pada 27 Agustus 2022.

Dalam rangkaian Rakernas ini, PAN menggelar festival musik yang bertajuk "Festival Birukan Langit Indonesia" yang di dalamnya turut diramaikan oleh musisi-musisi muda Indonesia hingga mancanegara.

Menariknya, partai berlambang matahari tersebut mengundang salah satu grup boyband terkenal asal Korea Selatan (Korsel), yaitu Astro, dan tak ayal hal ini kemudian membuat agenda rangkaian rakernas ini ramai dipenuhi oleh ratusan bahkan ribuan fans dari boyband K-Pop tersebut.

Lantas, apa maksud dari gelaran festival ini hingga sekelas partai politik-pun tertarik mengundang Boyband asal Korea Selatan tersebut?

Ketua Umum PAN Zulkifli Hassan (Zulhas) mengungkapkan alasannya mengundang band-band muda termasuk K-Pop pada festival yang digelar oleh partainya itu. Menurut dia, PAN saat ini memang fokus menggaet generasi milenial. Tak hanya soal selera musik, maksud adanya gelaran festival tersebut juga diperuntukan guna dapat mendukung generasi milenial lewat pameran UMKM.

Apabila merujuk pada maraknya budaya K-Pop di Indonesia, langkah PAN tersebut mungkin dapat dinilai sebagai suatu hal yang cukup menjanjikan, khususnya dalam menggaet partisipasi politik tak terkecuali generasi milenial di Tanah Air. Terlebih Indonesia adalah salah satu negara yang tercatat sebagai negara yang warganya paling banyak menyukai budaya dari negara gingseng itu.

Dalam kaitannya dengan politik, K-Pop atau budaya Korsel lainnya seperti K-Drama memang memiliki signifikasi politik yang kuat. Bagaimana tidak, K-Pop telah dijadikan sebagai suatu alat atau sarana untuk memperkuat posisi politik Korsel di Internasional.

Jason Bartlett dalam artikel yang berjudul Domestic and Global Political Impacts of K-Pop: BoA, BTS, and Beyond, menerangkan bahwa hiburan Korea, khususnya K-Pop menjadi salah satu alat diplomasi non-koersif yang telah memberikan kesempatan bagi Korsel untuk meningkatkan kekuatan politiknya melalui daya tarik K-Pop sendiri. Dilansir dari The Diplomat

Dengan kuatnya daya tarik K-Pop tersebut, maka bukan tidak mungkin K-Pop dapat memberikan signifikasi politik yang kuat dan bahkan dapat menciptakan mobilisasi politik yang besar khususnya di Indonesia.

Signifikasi K-Pop dalam politik tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara Asia lainnya, K-Pop juga turut mewarnai pacuan kuda politik nasional. di Filipina misalnya, K-Pop pernah digunakan untuk mempromosikan calon presiden Filipina yaitu Maria Leonor 'Leni' Reobredo. bahkan pendukungnya tersebut telah membuat sebuah kelompok sukarelawan yang diberi nama 'K-POP STANS 4 LENI'.

Lebih lanjut, dalam kaitannya dengan tajuk festival yang digelar oleh PAN ini mungkin dapat dimaknai sebagai langkah komunikasi politik melalui 'manajemen kesan' guna menggambarkan bahwa PAN adalah salah satu parpol yang terkesan dapat mewadahi salah satu keinginan masyarakatnya, dan dalam hal ini K-Pop.

Dalam tulisan Maja Simunjak dkk berjudul Political Impression Management Through Direct and Mediated Communication, menerangkan bahwa manajemen kesan atau Impression Management adalah salah satu strategi pemasaran politik yang dapat mempromosikan aktor maupun partai politik dengan meyakinkan konstituennya melalui kesesuaian atau kesamaan yang dimiliki di antara keduanya.

Atas dasar tersebut, bukan tidak mungkin apabila K-Pop menjadi tombak utama dalam 'manajemen kesan' yang diciptakan oleh PAN untuk dapat menggaet suara milenial khusunya dalam menatap Pemilu 2024.

2 dari 3 halaman

Momentum 'Korean Wave'

Chatarina dalam tulisan yang berjudul The Massive Korean Wave in Indonesia and Its Effects in the Term of Culture, menyebutkan bahwa Korean Wave atau Fenomena Hallyu dimulai pada tahun 1990-an, di mana gelombang arus budaya Korea Selatan awalnya hanya menjajaki kawasan Asia Timur, khususnya pada saat Korsel menjadi sekutu dari China.

Adanya hubungan diplomatik tersebut, kemudian membuat produk Korsel yaitu drama, musik, dan film, menjadi populer di kalangan masyarakat China. dan alhasil geliat acara Tv yang berada di China dan Taiwan membuat produk-produk Korsel tersebut menjadi populer dan banyak dikenal di luar negeri.

Kemudian, seiring berjalannya waktu gelombang tersebut mulai menjalar ke kawasan Asia Tenggara khususnya di tahun 2000-an. di Indonesia awalnya pengaruh Korean Wave didominasi oleh Drama Korea. dengan kesuksesannya yang mampu menyentuh emosi masyarakat Indonesia.

Akhirnya gelombang ini-pun terus menjalar ke seluruh penjuru Indonesia hingga saat ini. Tak hanya soal drama melainkan juga pada musik dan budaya Korsel lainnya dan bahkan fenomena Hallyu tersebut telah membuat fanatisme fans yang sangat kuat di Indonesia.

Dengan menjalarnya fenomena Korean Wave di Indonesia, pada saat ini bukan tidak mungkin apabila hal tersebut dapat dimanfaatkan dan ditarik ke konteks politis. seperti halnya yang dilakukan PAN dengan mengundang artis K-Pop.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga sempat memiliki wacana akan mengundang grup K-Pop BTS untuk konser di Jakarta International Stadium (JIS). Namun, hal ini mendapatkan kritikan keras dari berbagai pihak khususnya dari DPRD DKI sendiri yang menyebut bahwa hal itu terkesan sebagai agenda politik Anies untuk menyongsong Pilpres 2024, khususnya dalam upaya peningkatan popularitasnya di kalangan milenial.

Dalam konteks ini, Argumentasi tersebut masuk akal apabila mengacu pada tulisan Corey L. Guenther yang berjudul Psychological momentum and risky decision-making, di mana fenomena Hallyu atau Korean Wave dapat ditafsirkan sebagai "Momentum Psikologis" yang membuat individu mampu meningkatkan kinerja dalam berbagai hal termasuk meningkatkan wacana politik dalam pemilu 2024 melalui K-Pop atau hal-hal yang sedang mendapatkan perhatian banyak orang.

Artinya, momentum Korean Wave tersebut secara tidak langsung dapat dinilai memiliki signifikasi yang kuat khususnya untuk dimanfaatkan dalam mengais popularitas politik  jelang Pemilu 2024.

Dengan demikian, bukan menjadi hal yang mustahil apabila keramaian soal K-Pop maupun budaya Korsel lainnya di Indonesia memiliki kesan yang beragam tidak hanya terkait dengan persoalan kegemaran atau kesukaan terjadap Idol-nya melainkan juga merujuk pada agenda-agenda politik.

3 dari 3 halaman

K-Pop, Strategi Politik PAN Jelang 2024

Kendati sudah jelas disebutkan alasan PAN dalam mengusung Boyband K-Pop di agenda Rakernas tersebut adalah untuk menggaet generasi milenial. Namun, perlu kiranya ada penjabaran lebih lanjut terkait kesan politik apa yang ingin disampaikan oleh PAN dalam agenda Rakernas tersebut.

Menelisik lebih dalam terkait kesan politik yang ditumbulkan dari K-Pop di Indonesia, selain strategi Impression Management atau manajemen kesan yang ingin ditimbulkan. langkah lain yang tentunya tidak bisa lepas dari strategi politik adalah soal Bandwagoning.

Mengutip Rudiger Schmitt-Beck dalam Bandwagon Effect, menerangkan bahwa istilah Bandwagoning merujuk pada suatu kecenderungan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat berafiliasi atau bergabung dalam preferensi yang dianggap mayoritas atau dominan yang muncul di masyarakat.

Hal ini menyiratkan kepada K-Pop yang dianggap sebagai suatu preferensi mayoritas yang sukses menempati posisi dominan di kehidupan generasi milenial. maka bukan tidak mungkin hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

Dengan pengusungan musisi K-Pop dalam tajuk 'Festival Birukan Langit Indonesia' yang digelar di Istora Senayan tersebut. mungkin dapat ditafsirkan bahwa PAN ingin mencoba melakukan afiliasi politik dengan fans-fans K-Pop atau K-Popers di Indonesia untuk menatap Pemilu 2024.

Atas dasar tersebut, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa strategi politik PAN dalam mengusung K-Pop untuk menggaet milenial di Pemilu 2024 memang cukup menjanjikan apabila mengacu pada besarnya arus Korean Wave yang terus mengalami perkembangan di Indonesia.

Namun, di satu sisi juga perlu kiranya melihat bagaimana arus politik yang terjadi di tengah generasi milenial, khususnya terkait dengan bagaimana kematangannya dalam menentukan pilihan politik atau kecenderungan politik yang dimilikinya. Mengingat, rentan umur generasi milenial saat ini sudah berkisar di antara 23 tahun ke atas, yang artinya sudah memiliki pengalaman dalam menghadapi pemilu-pemilu sebelumnya.

Selain itu, hal lain yang patut diperhatikan yaitu terkait kemauan politik milenial dalam menggunakan hak pilihnya. apakah dengan langkah-langkah tersebut seperti pengusungan K-Pop dapat menjamin kemauannya untuk menggunakan hak pilihnya di 2024? hal ini pastinya tergantung bagaimana strategi parpol selanjutnya dalam meyakinkan milenial di pemilu nanti. yang pasti banyak kemungkinan yang akan terjadi kedepan.