Liputan6.com, Jakarta Polri terus mendalami kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo dengan memeriksa para tersangka.
Yang terbaru, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dit Tipidum) Bareskrim Polri melakukan pemeriksaan terhadap satu saksi dan lima orang tersangka pembunuhan Brigadir J dengan lie detector atau alat pendeteksi kebohongan. Mereka antara lain, saksi bernama Susi yang bekerja sebagai asisten rumah tangga. Sementara lima tersangka adalah, Irjen Ferdy Sambo, Richard Eliezer alias Bharada E, Ricky Rizal alias Brigadir RR, asisten rumah tangga Kuwat Maruf, serta istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.
Baca Juga
Aat pendeteksi kebohongan atau lie detector atau poligraf, adalah perangkat atau prosedur yang mengukur dan merekam beberapa indikator fisiologis seperti tekanan darah, pernapasan, detak, dan konduktivitas kulit ketika seseorang menjawab beberapa pertanyaan.
Advertisement
Pada umumnya alat pendeteksi kebohongan sekarang berupa serangkaian alat yang membentuk sistem perekaman terkomputerisasi. Setidaknya ada tiga hal yang dicek menggunakan perangkat itu.
Pertama tingkat dan kedalaman saat bernapas, diukur dengan pneumograf yang dililitkan ke dada peserta tes. Kedua aktivitas jantung dan pembuluh darah, dicek dengan sabuk tekanan darah yang dipasang di lengan. Kemudian ketiga adalah keringat, dicek dengan elektroda di ujung jari tangan.
Sementara kemarin, Kamis 8 September 2022, Penyidik Polri baru melakukan pemeriksaan terhadap mantan Kadiv propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa pemeriksaan itu dilangsungkan di Laboratorium Forensik Bareskrim Polri, Sentul, Bogor, Jawa Barat.
"Ya betul ada tes lie detector FS di Labfor Sentul," kata Dedi saat dihubungi, Kamis 8 September 2022.
Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf, kata pihak polisi, telah terbukti jujur dalam memberikan keterangannya. Sementara, Ferdy Sambo hasilnya belum diungkap ke publik. Kemudian untuk tersangka Putri Candrawathi, Polri memutuskan tidak menjadikannya konsumsi awam.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian Djajadi menjelaskan, alasan tidak dibuka ke publik hasil lie detector terhadap Putri Candrawathi karena munculnya spekulasi liar dari para pengamat terkait uji kebohongan ini.
"Saya melihat justru analisis liar dari media dan pengamat yang tidak paham teknis pasca-pelaksanaan uji poligraf. Toh juga semua fakta akan diungkap di pengadilan," tutur Andi Rian Djajadi saat dikonfirmasi, Kamis 8 September 2022.
Menurut Andi, uji kebohongan menjadi salah satu langkah penyidik memperkuat pembuktian fakta temuan kasus, terlepas dari perihal kepuasan publik.
"Tidak akan ada kepuasan publik, apalagi analisis liar berkembang terkait pelaksanaan uji poligraf," kata Andi.
Bharada E dan Dua Tersangka Lainnya Tidak Berbohong
Dir Tipidum Bareskrim Polri Brigjen Pol Andi Rian mengatakan, hasil sementara dari pemeriksaan terhadap Brigadir RR alias Ricky Rizal, Bharada E alias Richard Eliezer dan Kuat Maruf dari lie detector tersebut adalah jujur .
"Saya dapat hasil sementara uji poligraf terhadap RE, RR dan KM, hasilnya “No Deception Indicated” alias jujur," kata Andi saat dihubungi, Rabu 7 September 2022.
Ia menjelaskan, terkait dengan pertanyaan yang ditanyakan kepada ketiganya itu yakni pertanyaan kunci dan bukan pertanyaan yang seperti dilontarkan pada saat berita acara pemeriksaan (BAP).
"Tidak (sama yang di BAP) hanya pertanyaan kunci. Berbeda-beda pertanyaan, sesuai peran masing-masing," jelasnya.
Jenderal bintang satu ini mengatakan tes poligraf dilakukan untuk memperkaya alat bukti petunjuk. Ia tidak mengungkapkan apakah hasil tes ini 100 persen akurat.
Sementara pengacara Bharada E, Ronny Talapessy merasa tak kaget dengan hasil pemeriksaan alat pendeteksi kebohongan alias lie detector yang menyatakan kliennya jujur dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J.
"Jadi begini, yang masalah lie detector kan sejak saya menjadi kuasa hukum Bharada E memang keterangannya tidak pernah berubah. Waktu tes ini saya sudah memprediksi bahwa klien saya ini jujur," ucap Ronny saat dihubungi, dikutip Kamis 8 September 2022.
Menurut Ronny, semenjak dirinya mendampingi Bharada E sebagai kuasa hukum. Apa yang dijelaskan kliennya telah diuji oleh ahli psikolog untuk menguji keterangan yang disampaikan.
"Nah, karena memang hasilnya jujur, terus lie detector ini tidak berbeda dengan ahli psikolog yang kami siapkan. Bahwa Bharada E ini memang jujur berdasarkan tes dari beberapa ahli psikolog," katanya.
"Dia kan sudah menyampaikan semuanya, tidak berubah. Dia menyampaikan kejujurannya menurut saya. Dari awal saya dampingi tidak berubah," lanjutnya.
Dengan begitu, Ronny mengatakan jika baik dari hasil lie detector oleh penyidik maupun uji psikolog atas keterangan Bharada E bisa menjadi pertimbangan memperkuat alat bukti di dalam persidangan nanti.
"Kita sudah ada hasil asesmen dari psikolog juga yang kita siapkan dari tim lawyer. Untuk kepentingan di peradilan. Hasil asesmen psikolog yang tim lawyer siapkan mengatakan Bharada E ini jujur. Karena berdasarkan beberapa tes," ucapnya.
Lantas ketika disinggung terkait hasil pemeriksaan lie detector dari Ferdy Sambo nantinya seandainya disimpulkan jujur seperti Bharada E. Ronny enggan menanggapinya, karena semua keterangan tetap akan diuji dengan petunjuk lainnya.
"Itu hak tersangka yang lain silahkan saja. Tapi kita akan buktikan ke pengadilan. Alat bukti kan bukan keterangan saksi. Ada alat bukti petunjuk, alat bukti ahli. Kan keliatan dari senjatanya siapa pakai Glock 17, siapa pakai HS-19 keliatan," ucapnya.
Advertisement
Pakai Lie Detector, Polri Disebut Ingin Kumpulkan Banyak Bukti
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala mengatakan, lie detector hanya merupakan instrumen pendukung untuk memperkuat bukti dalam suatu kasus. Sebab di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibolehkan untuk mencari bukti pendukung lain. Namun alat bukti pendukung menggunakan lie detector menempati posisi terakhir.
"Jadi sebetulnya tidak menentukan juga penggunaan lie detector ini," ujar Adrianus kepada Liputan6.com, Kamis 8 September 2022.
Mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) ini menilai, digunakannya metode lie detector dilakukan agar Polri bisa mengumpulkan bukti sebanyak-banyaknya untuk mengungkap pembunuhan berencana Brigadir J ini. Metode ini juga memperkuat persepsi bahwa Polri tidak membiarkan para tersangka untuk berbohong.
"Nah yang kedua saya lebih melihat penyidik ini melengkapi sebanyak-banyaknya. Karena kasusnya kuat dan untuk bisa bebas hampir tidak mungkin, tapi untuk supaya tidak ada celah untuk berkilah dan untuk juga semakin meyakinkan hakim maka kasus ini dilakukan. Jadi lebih kepada menambah amunisi saja," katanya.
Adrianus menuturkan, untuk menafsirkan suau kebohongan perlu kehati-hatian, karena lie detector ini hanya mengukur fisiologis dari manusia untuk mengetahui respons individu secara fisik yang ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.
Menurut Adrianus, sisanya saja ada pemeriksaan samar-samar terhadap Susi dan tersangka Putri Candrawathi, tetapi belum tentu mereka bisa dikatakan berbohong lewat lie detector. Karena bisa keduanya sedang pusing, kurang tidur, memakan obat tidur atau minum alkohol atau sedang datang bulan.
"Nah itu semua memiliki pengaruh. karena yang diukur adalah untuk bohong atau tidak bohong adalah detak jantung, tekanan darah, denyutan kulit itu, lalu juga beberapa adrenaline di leher, lalu tekanan darah agak tinggi, misalnya itu dibaca sebagai berbohong ya agak repot dong. makanya mesti hati-hati dalam rangka menafsirkan konteks uji kebohongan tersebut," ungkapnya.
Ferdy Sambo Sulit untuk Berbohong
Adrianus Meliala berujar, hanya seorang terlatih dan ahli yang bisa menyembunyikan sebuah kebohongan. Orang ahli tersebut untuk bisa menahan rasa sakit atau berlatih membuat dirinya sakit. Misalnya saja intelijen ketika ditangkap aparat penegak hukum, agar tidak ketahuan bohong maka si intelijen tersebut memberikan keterangan palsu.
"Karena dia terlatih, maka dia biasa menahan rasa sakit, dia biasa mengeraskan diri sehingga detak jantungnya berdetak tinggi. Agar kalau orang kesakitan detak jantung bergerak, dan orang tiba-tiba berkeringat dan lainya lagi. Maka itu dia lakukan misalnya si intel itu dia sengaja menginjak paku payung, dan kemudian pada pertanyaan-pertanyaan lainnya tingga dia injak paku payung dan seluruh metabolismenya berubah agar seolah-olah dia jujur," ungkapnya.
Sehingga lie detector ini sebenernya tidak bisa mengungkap fakta yang sesungguhnya terjadi dari kejadian. Namun hanya mendeteksi orang tersebut bohong atau tidak dengan menggunakan tes fisiologis dengan menggunakan respons tekanan darah, detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan. Akan tetapi orang yang dalam kondisi pusing, sakit, kurang tidur atau sedang menstruasi maka bisa saja jantung akan berdedak dengan cepat.
Mantan Anggota Ombudsman ini berujar, Irjen Ferdy Sambo, walaupun sudah lama di bidang reserse, namun dia bukan sesorang yang ahli. Karena Adrianus meyakini mantan Kadiv Propam tersebut bukanlah orang yang terlatih. Sehingga untuk menutupi kebohongan kemungkinan sulit.
"Nah Ferdy Sambo ini kan dia bukan orang yang menjadi praktisi, tapi dia itu manager yang saya kira tidak terlatih. Jangankan soal itu, membuat BAP saja mungkin Sambo tidak pernah. Sehingga tidak bisa kita katakan terlatih untuk hal ini," tegasnya.
Advertisement
Polri: Keakuratan Lie Detector 93 Persen
Sementara Polri mengklaim, pemeriksaan menggunakan alat tes kebohongan atau lie detector layak dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan nantinya.
Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi menerangkan, alat lie detector kepunyaan Polri telah digunakan Puslabfor Polri sejak tahun 2019 silam.
Dedi menyebut, alat pendeteksi kebohongan tersebut memiliki tingkat akurasi mencapai 93 persen
"Alat yang kita punya ini alat dari Amerika tahun 2019 dan tingkat akurasinya 93 persen," kata Dedi saat konferensi pers, Rabu 7 September 2022.
Karena itu, Dedi menuturkan hasil poligraf atau lie detector dinilai memiliki kekuatan hukum. Sebab, tingkat akurasi mencapai 93 persen. Hal ini berdasarkan komunikasi dengan Puslabfor dan juga operator polygraf.
"Kenapa saya bisa sampaikan pro justitia? Karena tingkat akurasi 93 persen. Kalau di bawah 90 persen itu tidak masuk dalam ranah pro justitia," ujar dia.
Sehingga, kata Dedi penyidik yang berhak mengungkap hasil ke publik termasuk di persidangan. Dalih itu digunakan pada saat awak media mencecar hasil pemeriksaan lie detector terhadap tersangka Putri Candrawathi dan saksi Susi.
"Untuk hasil lie detector atau poligraf yang sudah dilakukan PC dan juga saudari Susi sama hasil poligraf setelah saya berkomunikasi dengan puslabfor dan juga operator poligraf bahwa hasil itu adalah pro justitia. Nanti penyidik juga mengungkapkan ke persidangan," ujar dia.
Hasil Lie Detector Hanyalah Sebuah Perkiraan, Tidak Ungkap Fakta
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengeluhkan, metode menggunakan lie detector juga dipilih Polri untuk mengungkap pembunuhan berencana Brigadir J. Kata dia, yang paling mengetahui kenyataan dari peristiwa berdarah yang dilakukan oleh Ferdy Sambo tersebut hanyalah dengan rekonstruksi atau reka ulang.
"Saya yakin alat ini tidak bisa membandingkan antara keterangan terperiksa. Tapi membaca respons fisiologis manusia. Mislanya suhu badan naik, keringat menetas, suhu badan tegang, otot-ototnya," tegas Reza Indragiri.
Reza mencontohkan, suhu badan naik itu bukan pertanda orang tersebut sedang berbohong. Bisa saja orang itu atau terperiksa tersebut sedang mengalami sakit. Sebab orang yang sedang sakit dan cemas bisa menaikkan suhu tubuh.
"Misalnya keringat mengalir lebih deras. Siapa bilang keringat mengalir lebih deras adalah kebohongan. Bisa saja dia gerah, orang ini baru berolahraga, orang ini terasa panas, orang ini sedang sakit, dan baru makan sambel dan yang lain lagi," imbuhnya.
Karena itu, Reza menegaskan lie detector tidak bisa membandingkan antara perkataan dengan kenyataan, tetapi hanya dilihat perubahan-perubahan fisiologis manusia. Apalagi hasil sebuah lie detector hanyalah sebuah perkiraan atau anggapan saja.
"Kalau ada perubahan fisiologis ekstrim itu yang dianggap sebagai penanda, jangan-jangan orang ini sedang berbohong. Sehingga penggunaan lie ditector adalah sungguh-sungguh berlebihan," ungkapnya.
"Lie detector tidak bisa melihat kenyataanya seperti apa, cuma perubahan fisiologis saja yang terlihat dan hasilnya cuma jangan-jangan, karena perubahan fisiologisnya nyata jangan-jangan ada ketidakjujuran. Hanya sebatas anggapan," tambahnya.
Reza Indragiri memberikan contoh dalam proses lie detector. Kata dia, misalnya alat itu menggunakan basis angka, saat ditanya nama siapa kepada seseorang kemudian dia menjawab namanya dengan benar maka hasilnya akan 100. Sehingga orang tersebut ketika ditanyakan netral hasilnya jantungnya berdektak 100 per menit.
Kemudian diberikan pertanyaan lain, seperti Anda bekerja di mana? Saya bekerja di salah satu kantor di Jakarta, nah hasil denyut jantungnya juga akan 100. Selain itu ketika ditanyakan mengenai jenis kelamin orang tersebut apa. Maka bisa dipastikan orang itu akan menjawabnya dengan cepat.
"Lalu ketika ditanyakan, boleh saya tahu pakaian dalam Anda apa? Jadi akan lama meresponsnya, denyut jantungnya juga meningkat, jangan-jangan keringatnya juga keluar. Nah dengan menjawab tidak spontan tersebut, apakah ini kebohongan, itu belum tentu juga," tuturnya.
"Jadi orang yang tidak bersalah tapi menampilkan respons fisiologis, jangan juga dianggap dianggap bersalah. Bisa jadi karena dia cemas, dia takut intogratornya galak, menyeramkan, maka respons fisiologisnya tampak, suhu badannya naik. Dia berkata jujur tapi terbata-bata jadi disimpulkan orang ini berbohong. Padahal dia tidak berbohong," tuturnya.
Kemudian juga kata Reza, misalnya salah satu orang terbukti bersalah tetapi respons fisiologisnya bagus, maka akan tampak seperti orang jujur, seolah-olah bisa menceritakan situasi itu apa adanya. Apalagi jika si terperiksa tersebut bisa meyakinkan si interogrator bahwa pernyataanya yang disampaikannya itu benar.
"Nah lewat lie detector itu tidak ada yang tahu kenyatanya seperti apa. Nah tidak ada yang tahu kenyataan pada hari kejadian di Magelang dan yang lainnya kecuali terperiksa itu sendiri," katanya.
Advertisement
Tidak Ada Lie Detector yang Memiliki Standar Internasional
Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, lie detector juga tidak valid terhadap kenyataanya. Sehingga hasil efektifitas dan validitas lie ditector juga tidak bisa digunakan untuk mengungkap fakta sebuah kasus. Bahkan reliabilitas dari lie ditector juga sangat rendah.
Adapun reabilitas adalah keakuratan dan ketepatan dari suatu alat ukur dalam suatu prosedur pengukuran. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, reliabilitas adalah perihal sesuatu yang bersifat reliabel atau bersifat dapat diandalkan.
"Seseorang diperiksa lie detector hari ini dengan orang yang diperiksa lagi di lain hari hasilnya bisa berbeda, dan lusa diperiksa lagi hasilnya juga berbeda. Kenapa berbeda, karena ada proses belajar, artinya orang semakin mampu mengendalikan dirinya seperti kecemasannya," imbuh Reza.
Bahkan lulusan Universitas Melbourne membeberkan fakta, bahwa tidak ada lie detector yang memiliki standar internasional. Karena hasilnya hanya berupa anggapan saja. Anggapan yang hanya diukur oleh respons fisiologis dari tubuh manusia.
"Dan di muka bumi ini tidak ada lie detector yang terstandar secara internasional, tidak ada. Silakan berkunjung ke market place di sana ada lie detector yang diperdagangkan secara bebas. Mana yang terstandar, dan tidak ada satu pun pihak di muka bumi ini yang mengatakan lie detector terstandar internasional. Tidak ada," tegasnya.
Apalagi Orang Indonesia pertama yang mendapat gelar Master Psikologi Forensik ini mendapatkan informasi, bahwa lie detector kerap digunakan secara serampangan. Sebab bisa saja terperiksa mengalami intimidasi saat proses pemeriksaan, sehingga hasil dari lie detector orang tersebut adalah kebohongan. Padahal yang diungkapkan si terperiksa tersebut adalah benar.
"Bahwa penggunaan lie detector acap kali digunakan secara serampangan, abuse terjadi. Artinya pemaksaan terhadap terperiksa karena terperiksa bisa terintimidasi," katanya.
Karena itu, jika kasus tersebut sudah sampai ke persidangan, Reza berharap para majelis hakim nantinya tidak melihat hasil lie detector dari lima tersangka tersebut sebagai bukti dari pembunuhan Brigadir J. Melainkan hanya dilihat sebagai reverensi pendukung saja.
"Jika dibawa ke persidangkan, maksimal bacaan lie detector hanya dilihat sebagai bacaan petunjuk bukan merupakan bukti," harapnya.
Cara Kerja Alat Pendeteksi Kebohongan Milik Polri
Penyidik Bareskrim Polri telah memutuskan untuk memakai alat lie detector atau poligraf Puslabfor Polri guna menguji keterangan dari para tersangka dan saksi dalam kasus dugaan pembunuhan berencana, Brigadir J alias Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Guna mengenal alat lie detector sampai mengetahui bagaimana cara kerjanya, Divisi Humas Polri melalui keterangan videonya menjabarkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal, dan Kuat Maruf, serta satu saksi Susi mantan asisten keluarga Ferdy Sambo.
"Mereka diperiksa menggunakan poligraf atau dikenal lie detector. Poligraf adalah alat untuk menguji kejujuran seseorang melalui reaksi tubuh," demikian keterangan dalam video yang dikutip, Kamis 8 September 2022.
Alat lie detector atau poligraf dikenal sebagaimana alat pemeriksaan psycho physiological deception detection atau pendeteksi kebohongan seseorang melalui gejala psikis lewat reaksi tubuh terperiksa.
Alat produksi Amerika Serikat tahun 2019 yang dipakai Puslabfor Bareskrim Polri ini telah diakui asosiasi poligraf Amerika memiliki tingkat akurasi sampai 93 persen sesuai standar ISO (The International Organization for Standardization) atau IEC 17025.
Adapun, Puslabfor dalam pemeriksaan poligraf memakai tiga teknik yaitu: sensor jantung, kelenjar keringat, dan sensor pernapasan sebagaimana telah menjadi standar dari asosiasi poligraf Amerika.
Dengan para pemeriksaan yang telah mengikuti pelatihan, proses pemeriksaan poligraf dilakukan dengan beberapa persiapan yaitu pemilihan metode, atau teknik pertanyaan yang bakal diajukan.
"Puslabfor Polri turut memakai metode yang merujuk pada penelitian yang merujuk pada penelitian di Universitas Utah Amerika Serikat," jelasnya.
Teknik dari Universitas Utah Amerika Serikat dikenal dengan memakai metode Utah ZCT yang memiliki metode ini tingkat akurasinya harus di atas 92 persen. Nantinya hasil tersebut akan jadi alat pembanding sebagai pembukti. Teknik ini umum dilakukan di kepolisian
Advertisement
Fungsi Poligraf
Dengan memakai alat buatan Kanada, proses pemeriksaan poligraf berfungsi untuk mendapatkan kejujuran secara profesional, mendeteksi kebohongan, membuktikan ketidakbersalahan, membersihkan nama baik menyelesaikan permasalahan, investigasi kasus kejahatan, dan pre-employment screening.
Cara Kerja Alat Pendeteksi Kebohongan atau Poligraf
1. Poligraf mendeteksi perubahan denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah pada manusia saat proses tanya-jawab.
2. Saat tes poligraf, beberapa kabel akan dipasang di tubuh untuk mendeteksi perubahan psikologis.
3. Ketika seseorang menjawab sebuah pertanyaan, poligraf akan mencatat dan merekam seluruh respon tubuh secara simultan.
4. Ketika seseorang berbohong, ucapan yang dikeluarkannya akan menghasilkan reaksi psikologis di dalam tubuh yang akan yang mempengaruhi kerja organ tubuh seperti jantung, kulit, dan lainnya.
5. Melalui sensor yang dihubungkan pada bagian tubuh, poligraf akan memberikan grafik perubahan dalam organ yang dijadikan acuan seseorang berbohong atau tidak.
6. Diketahuilah grafik perubahan fungsi organ di antaranya grafik bernafas, detak jantung, tekanan darah, keringat, dan lainnya.
7. Pemeriksaan dengan menggunakan poligraf umumnya mencapai 2 jam, dengan tingkat keakuratan hingga 90 persen.