Liputan6.com, Jakarta - Ujian Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) dengan metode computer based test (CBT) menuai protes. Pasalnya, sebagian peserta tidak lulus ujian mengaku dirugikan karena kenaikan nilai ambang batas tidak diinfokan.
“Dari 6 ribu peserta, 3 ribu orang dinyatakan tak lulus. Ini terjadi, dirasa lantaran nilai batas kelulusan yang naik, dari 52,5 menjadi 56,5,” kata Rektor UTA '45 Jakarta, J. Rajes Khana dalam keterangan pers diterima, Senin (12/9/2022).
Rajes menilai, ketidaklulusan mahasiswanya juga mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. Sebab, persiapan dilakukan sudah dilakukan dalam setahun terakhir dengan menempuh pendidikan apoteker yang berbiaya tinggi.
Advertisement
"Sementara kerugian immateriil mereka malu dan tekanan psikologis. Hasil ujian memutus harapannya untuk menjadi apoteker yang baik," imbuhnya.
Alasan Panitia Nasional (PN) UKAI-CBT dalam menentukan batas NBL berdasar kesepakatan, dirasa janggal oleh Rajes. Sebab jika alasannya adalah demi meningkatkan mutu seharusnya tetap mengacu pada ketentuan perundang-undangan.
“Undang-Undang menyebut bahwa proporsi penilaian kelulusan uji kompetensi terdiri dari 60% dari IPK program sarjana dan 40% berasal dari ujian kompetensi. Ini sesuai Pasal 3 Ayat (2) Permendikbud No.2 Tahun 2020,” urai Rajes.
Rajes pun hendak mensomasi oknum yang diduga melakukan kesewenangan dengan mengubah batas nilai terkaif. Somasi ini dilakukan sebagai langkah hukum awal demi perbaikan. “Jika tidak ada perbaikan tentu kami akan mengambil langkah hukum lanjutan," tandas Rajes.
Sementara, Ketua Yayasan UTA '45 Jakarta, Bambang Sulistomo menambahkan pihaknya secara prinsip setuju dengan upaya peningkatan kualitas apoteker Indonesia. Namun, kata dia, hal tersebut harus dilakukan secara transparan.
"Panitia Nasional pasti bicara tentang peningkatan kualitas, tapi jika tidak dijalankan dengan proses yang terbuka, kejujuran, kita kecewa betul. Sebab nilai IPK yang sebelumnya disertakan, itu enggak disertakan," kritik dia.
Tanggapan Mahasiswa Peserta Ujian
Marvita Sari, salah seorang mahasiswa yang tak lulus ujian kompetensi, mengaku stres akibat kondisi yang ia alami itu. Terlebih, dirinya mengaku telah belajar secara mati-matian sebelum mengikuti UKAI-CBT.
"Banyak yang dirugikan. Ada yang melakukan percobaan bunuh diri, dan saat sedang dirawat di rumah sakit. Mahasiswa UTA '45 Jakarta," ujar Marvita.
"Semua orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, sehingga jangan disamakan. Bukan berarti dia tidak bisa," dia menandasi.
Advertisement