Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Mochamad Ardian Noervianto dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Ardian terbukti bersalah menerima suap terkait dana pinjaman pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk Kabupaten Kolaka Timur tahun anggaran 2021.
Baca Juga
"Menyatakan terdakwa Mochamad Ardian Noervianto telah bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 8 tahun dikurangi selama menjalani penahanan dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar jaksa KPK dalam surat tuntutannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (15/9/2022).
Advertisement
Selain pidana badan, jaksa KPK juga menuntut hakim menjatuhkan pidana tambahan terhadap Ardian. Pidana tambahan itu yakni berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp1,5 miliar.
Jika Ardian tak membayar uang pengganti setelah satu bulan usai vonisnya inkracht, maka harta bendanya akan disita dan dilelang untuk menutupi kewajiban uang pengganti. Namun, jika hartanya tak cukup, maka diganti pidana selama 3 tahun.
"Menghukum dengan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp1,5 miliar subsider 3 tahun," kata jaksa.
Hal yang memberatkan tuntutan yakni perbuatan Ardian dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ardian juga dianggap kerap berbelit hingga menyulitkan proses pembuktian dan merusak kepercayaan masyarakat.
Sedangkan hal meringankan yakni memiliki tanggungan keluarga, sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan sempat berjasa sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Tersangka Lain
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna La Ode M Syukur Akbar dituntut pidana selama 5 tahun dan 6 bulan penjara denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan. Dia juga dituntut pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp175 juta subsider 3 tahun.
Hal yang memberatkan tuntutan yakni La Ode M Syukur dianggap tidak mendukung program pemerintah dalam pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sedangkan hal meringankannya yakni punya tanggungan keluarga, sopan dalam persidangan, belum pernah dihukum, dan menjadi ASN yang telah mengabdi minimal 20 tahun.
Ardian Noervianto juga didakwa menerima suap sebesar Rp2.405.000.000 atau Rp2,4 miliar. Ardian diyakini menerima suap itu agar Kabupaten Kolaka Timur mendapatkan dana pinjaman Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tahun anggaran 2021.
"Melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut, yaitu menerima hadiah atau janji, yakni menerima uang seluruhnya Rp2.405.000.000,00," ujar jaksa KPK dalam surat dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis 16 Juni 2022.
Jaksa menyebut uang itu diterima Ardian dari Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur dan LM Roesdianto Emba selaku adik dari Bupati Muna La Ode Muhammad Rusman Emba.
Advertisement
Kronologi Kasus
Jaksa menyebut, awalnya yakni pada Maret 2021, Andi Merya yang saat itu masih menjabat Plt Bupati Kolaka Timur menyampaikan keinginan untuk mendapatkan dana tambahan pembangunan Infrastruktur di Kabupaten Kolaka Timur kepada Rusdianto Emba.
Kemudian Rusdianto menyampaikan keinginan Andi Merya kepada Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan SDM Kabupaten Muna Sukarman Loke yang memiliki jaringan di pusat agar membantu mewujudkan keinginan Andi.
Selanjutnya Sukarman menyampaikan informasi tersebut kepada Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna La Ode M Syukur Akbar yang sedang mengurus pengajuan pinjaman dana PEN Daerah Kabupaten Muna.
Selanjutnya pada 1 April 2021, Sukarman menyarankan agar Kabupaten Kolaka Timur mengajukan dana pinjaman PEN Daerah dengan bunga yang lebih rendah dari pinjaman lainnya. Kemudia Kolaka Timur mengajuka kepada Ardian Noervianto dana PEN Daerah sejumlah Rp350 miliar.
Kemudian pada 4 Mei 2021, Andi Merya bersama La Ode M. Syukur menemui Ardian di ruang kerjanya di Kemendagri. Dalam pertemuan tersebut Ardian menyanggupi Rp300 miliar dana PEN untuk Kolaka Timur.
Setelah pertemuan, M Syukur beberapa Komunikasi dengan Ardian menanyakan soal dana PEN Kolaka Timur. Kemudian Ardian menyebutkan posisi Kabupaten Kolaka Timur nomor urutan 48 sehingga kemungkinan tidak akan mendapat dana pinjaman PEN untuk tahun 2021.
Namun lantaran kerap ditanya soal dana pinjaman PEN untuk Kolaka Timur, Ardian menyarankan agar Kolaka Timur mengikuti Kabupaten Muna yang pernah menerima dana PEN Daerah.
Gelar Pertemuan di Gedung Kemendagri
Atas saran tersebut, pada 10 Juni 2021 diadakan pertemuan antara Ardian, M Syukur, dan Sukarman di Kemendagri. Dalam pertemuan itu Ardian meminta fee sebesar 1 persen kepada M Syukur.
"Atas permintaan Terdakwa (Ardian) tersebut, selanjutnya disampaikan oleh Sukarman melalui Roesdianto Emba. Selanjutnya Andi Merya meminta Mujeri Dachri Muchlis (suami Andi Merya) mentransfer uang seluruhnya sebesar Rp2 miliar ke rekening Roesdianto Emba untuk diserahkan kepada Terdakwa melalui M Syukur dan Sukarman," kata jaksa.
Atas hal itu, Ardian memprioritaskan dengan membahasnya dalam Rakortek dengan PT SMI, Pemkab Kolaka Timur, Kemenkeu (DJPK) dan Kemendagri yang hasilnya Kabupaten Kolaka Timur mendapatkan pinjaman dana PEN sebesar Rp151 miliar.
"Oleh karena Terdakwa meminta agar usulan PEN Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur disesuaikan, sehingga Andi Merya membuat surat usulan baru yang ditujukan kepada PT SMI dengan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Bina Keuangan Kementerian Dalam Negeri sebesar Rp151 miliar," kata jaksa.
Setelah pengajuan dana PEN itu berhasil, uang suap dari Andi dibagi-bagi. Ardian mendapatkan Rp1,5 miliar, sedangkan Rp500 juta sisanya disimpan Sukarman untuk dibagikan ke beberapa orang yang membantu.
Selain itu, menurut jaksa, Ardian, Laode, dan Sukarman juga menerima beberapa uang lain terkait pengurusan dana PEN Kolaka Timur. Sehingga, total yang yang diterima oleh Ardian bersama Laode dan Sukarman mencapai Rp2,4 miliar.
Ardian didakwa melanggar Pasl 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP, atau Pasal 11 Jo Pasal 18 UU Tipikor Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Advertisement