Sukses

Momen Megawati dan Jokowi Pernah Tolak Program BLT Era SBY

BLT adalah program bantuan yang digagas di era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program BLT itu dicetuskan pada 2005 silam

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyindir habis-habisan pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang saat ini menggunakan program bantuan langsung tunas (BLT) sebagai kopensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Menurut AHY, BLT adalah program bantuan yang digagas di era Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program BLT itu dicetuskan pada 2005 silam. Hal itu guna merespons kenaikan harga BBM dan sembako.

Melihat lagi ke belakang, kala adanya BLT di era pemerintahan SBY tersebut, dikritik oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Jokowi ketika belum menjadi Presiden RI ke-7.

Seperti pada 2008 silam, Megawati Soekarnoputri yang juga Presiden RI ke-5 ini pernah menyatakan menolak adanya BLT yang diberikan oleh pemerintah SBY kepada masyarakat. Hal itu menurut Megawati, karena akan melahirkan mental masyarakat peminta-minta.

”Penyaluran BLT membuat bangsa semakin bermental peminta-minta. Memangnya pemerintah RI itu Santa Claus? Bagaimana jika rakyat kita bermental seperti itu?" kata Megawati di Rakernas PDIP di Makassar, 27 Mei 2008 silam.

Megawati pun menyindir keras mengenai harga diri bangsa Indonesia di program bantuan dari Presiden Ri ke-7 SBY tersebut.

"Bagaimana harga diri bangsa? Apakah kita bisa menjadi sebagai bangsa jika orang tidak menggunakan tenaganya untuk bekerja, tetapi meminta-minta?," tutur pendiri PDIP tersebut.

Sementara pada 2012 silam, kala itu Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo juga dengan tegas menolak adanya BLT yang digulirkan oleh Presiden ke-6 SBY.

Menurut Jokowi, bantuan langsung boleh saja diberikan, tetapi bukan dengan cara cuma-cuma. Melainkan bantuan yang diberikan pemerintah digunakan sebagai pemancing untuk memberdayakan ekonomi masyarakat.

"Kalau diberikan langsung tunai begitu, itu namanya kita mendidik masyarakat hanya menjadi tangan di bawah, menengadahkan tangan saja," kata Jokowi, 28 Maret 2012 silam.

Karena menurut Jokowi, pemberian bantuan digunakan ke masyarakat adalah sebagai pemacing. Hal ini akan menumbuhkan gairah masyarakat untuk menghasilkan uang lewat usaha yang dirintisnya.

"Tetapi jika bantuan itu untuk memberdayakan, ke depannya masyarakat bisa menghasilkan sendiri uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya," tuturnya.

Bahkan saat Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2014 silam, dirinya juga menyatakan menolak program BLT yang digulirkan oleh Presiden ke-7 SBY. Dia menyebut sejak awal tidak pernah setuju adanya program pemerintah tersebut

Menurut Jokowi, lebih baik BLT tersebut bukan berupa uang melainkan bantuan diberikan kepada usaha-usaha produktif. Termasuk juga usaha-usaha kecil dan rumah tangga yang produktif.

"Saya memang dari dulu tidak senang dengan bantuan tunai. Kalau bisa, bantuan itu diberikan kepada usaha-usaha produktif, usaha-usaha kecil dan rumah tangga yang produktif, itu akan lebih baik," ungkap Jokowi lewat video yang beredar viral belakangan ini.

2 dari 4 halaman

AHY: BLT Produk SBY yang Ditentang, Sekarang Justru Ditiru

Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyinggung soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan juga soal bantuan langsung tunai (BLT) di era Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Menurut AHY, BLT yang digagas di era Presiden Ri ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah diejek dan dijelek-jelekan. Namun berbanding terbalik, saat ini justru ditiru pemerintahan Jokowi.

Adapun, Program BLT diinisiasi oleh pemerintahan SBY pada 2005 silam. Hal itu guna erespons kenaikan harga BBM dan sembako.

“BLT, produk kebijakan Presiden SBY, yang dulu ditentang oleh sebagian kalangan, tapi justru sekarang ditiru dan terbukti menjadi penyangga utama, daya beli masyarakat,” kata AHY dalam keterangannya, Jumat 16 September 2022.

Meski demikian, AHY menyatakan BLT bisa menjadi solusi kenaikan harga BBM, dengan catatan harus tepat sasaran dan jangan ada kaitan dengan politik.

“Kenyataannya, harga BBM, sudah dinaikkan. Untuk itu, Demokrat menawarkan dua solusi. Pertama, bantuan kepada rakyat, yang ekonominya lemah, atau BLT jumlah uangnya harus cukup, tepat sasaran, dan harus bebas dari politik,” kata dia.

Selain itu, AHY mengingatkan saat ini minyak dunia sudah turun, oleh karena itu ia meminta pemerintah untuk bisa menurunkan harga BBM karena sangat memberatkan masyarakat.

"Jika harga minyak mentah dunia menurun, turunkan kembali harga BBM kita. Jangan sebaliknya, ketika harga minyak dunia turun, harga BBM justru dinaikkan,” tegasnya.

Selain menurunkan harga BBM, AHY menyarankan pemeintah melakukan relokasi anggaran hingga penundaan mega proyek seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara untuk mencegah kenaikan BBM.

“Sesungguhnya, ada banyak cara, untuk menyelamatkan fiskal, selain menaikkan harga BBM. Misalnya, dengan melakukan realokasi anggaran; penentuan prioritas; termasuk, penundaan sejumlah proyek nasional, yang tidak sangat mendesak,” tegasnya.

3 dari 4 halaman

Politikus PDIP Minta AHY Banyak Belajar Berhitung

Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Adian Napitupulu mengatakan, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) harus lebih banyak belajar soal data. Bahkan menurut Adian, putra sulung Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut Perlu juga kembali belajar berhitung.

Pernyataan Adian itu menanggapi AHY yang mengkritik bantuan langsung tunai (BLT) di era Presiden Joko Widodo. AHY membandingkannya dengan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Kalau menurut saya, AHY harus lebih banyak belajar tentang data. Kalau bisa belajar berhitung lagi lah," ujar Adian di Bogor, Jawa Barat, Jumat 16 September 2022.

Anggota Komisi VII DPR RI mengatakan, BLT di era SBY dan dan Presiden Joko Widodo alias Jokowi berbeda. Sebabnya kenaikan bahan bakar minyak (BBM) di era pemerintahan SBY lebih tinggi.

"Naiknya BBM di era SBY itu 259 persen, di era Jokowi BBM cuma naik 54 persen. Ada selisih 205 persen kenaikan antara SBY dan Jokowi. Lebih tinggi 200 persen di jaman SBY dibandingkan Jokowi," jelasnya.

"Kalau kenaikan BBM sampai 254 persen siapa pun boleh menangis untuk itu," imbuhnya.

Bedanya lagi, BLT di era Jokowi dibantu dengan program sosial lainnya. Sementara di era SBY tidak ada tambahan bantuan sosial tersebut.

"Nilai BLT, sebagai satu BLT tidak jauh berbeda. Tapi kan ada 6 sampai 7 program-program sosial lainnya. Ada PKH dan sebagainya, ya akumulasikan saja," kata Adian.

"Ada satu keluarga yang bisa dapatkan 4-5 program. Untuk anaknya sekolah, dia dapat untuk pengganti BBM-nya, dia dapat utk kesehatan. Zaman SBY mana, enggak ada," sambungnya.

4 dari 4 halaman

Disindir Keras AHY, Risma: Saat Ini Kondisi Negara Sedang Tidak Stabil

Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini alias Risma menjawab sindiran Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) soal program bantuan langsung tunai (BLT) yang pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapat kritik, namun dipakai pemerintahan Presiden Jokowi saat ini.

Risma menyampaikan bahwa saat ini kondisi sedang tidak stabil sehingga pemerintah menyalurkan BLT bahan bakar minyak (BBM).

"Jadi sebetulnya yang disampaikan karena saat kita tahu memang ada kondisi yang tidak stabil, tidak seperti biasanya maka diturunkan BLT BBM," jelas Risma dalam konferensi pers yang disiarkan di Youtube Sekretariat Presiden, Jumat 16 September 2022.

Ketua DPP Partai demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengatakan bahwa kondisi yang tak stabil ini bukan hanya terjadi di Indonesia saja, namun juga dirasakan negara-negara lain. Selain BLT BBM, pemerintah juga sudah menyalurkan bantuan untuk membantu masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.

"Ini kan bukan terjadi hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, jadi makanya diturunkan BBM. Kemudian kemarin diturunkan pada saat kemarin terjadi Covid-19," ujarnya.

Mantan Wali Kota Surabaya ini menjelaskan bahwa sesuai Undang-Undang Dasar 1945, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Oleh sebab itulah, pemerintah menggelontorkan sejumlah bantuan kepada masyarakat.

"Memang gini sebagaimana di Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34, bahwa fakir miskin dan anak terlantar itu dipelihara oleh negara. Jadi itu lah konsepnya," tutur Risma.