Sukses

Subsidi BBM Dinilai Kontraproduktif, Banyak Terbuang di Jalan Raya

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai bahwa subsidi yang dilakukan pemerintah saat ini kurang tepat sasaran.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mengalihkan subsidi BBM Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat yang membutuhkan. Langkah tersebut membuat harganya kini mengalami penyesuaian.

Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai bahwa subsidi yang dilakukan pemerintah saat ini kurang tepat sasaran. Menurut dia, lebih baik dana dialihkan ke sejumlah hal lainnya, seperti transportasi umum dan fasilitas kesehatan.

"Subsidi ini kontraproduktif, subsidi BBM mubazir karena banyak dibuang ke jalan raya," tutur Mamit kepada wartawan dalam diskusi terkait subsidi tepat sasaran, Senin (19/9/22).

Menurut Mamit, energi fosil yang menjadi bahan utama BBM saat ini telah menipis. Indonesia pun harus menemukan sumber cadangan minyak baru yang besar. Namun, untuk menemukan cadangan minyak baru, butuh investor yang mau menggelontorkan dananya.

"Yang namanya fosil terbatas sifat alami migas kita. Tanpa ada investasi, maka dibutuhkan investor yang paham," jelas dia.

Mamit menyebut, cadangan minyak di Indonesia saat ini hanya tersisa 2,4 miliar barel. Diperkirakan, 10 tahun lagi Indonesia tidak akan memiliki cadangan minyak.

"Revisi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) jadi kunci investasi hulu Migas," katanya.

2 dari 2 halaman

Pemerintah Diharapkan Punya Aturan yang Fleksibel

Dengan investasi yang mudah, lanjutnya, maka kemungkinan Indonesia dapat menemukan cadangan minyak semakin terbuka lebar. Pemerintah diharapkan dapat menyiapkan aturan yang fleksibel perihal tersebut.

"Dengan menyiapkan aturan yang fleksibel, maka dapat meningkatkan produksi dan cadangan minyak kita. Sehingga kita akan dapatkan cadangan migas untuk ke depannya," jelasnya.

Kondisi geografis Indonesia sendiri memiliki sejumlah cekungan yang berpotensi menyimpan cadangan Migas. Namun untuk melakukan eksplorasi tentu membutuhkan biaya yang besar.

"Kita punya 16 cekungan yg belum dieksplorasi. Namun mayoritas berada di timur Indonesia dan di laut dalam, sehingga membutuhkan high cost," Mamit menandaskan.