Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) memutuskan untuk menonaktifkan sementara Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Provinsi Papua.
Keputusan ini dilakukan Demokrat agar Lukas Enembe dapat berkonsentrasi penuh dalam menghadapi proses hukumnya di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka terkait dugaan kasus suap dan gratifikasi.
Pengamat Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menilai keputusan pemberhentian Lukas Enembe dari DPD Partai Demokrat adalah langkah yang tepat. Mengingat, Kasus dugaan praktik korupsi Gubernur Papua Lukas Enembe membuat Partai Demokrat serba sulit.
Advertisement
Di satu sisi harus mempercayai kadernya sendiri, di sisi lain harus menjaga kredibilitas partainya dalam narasi besar agenda anti-korupsi.
"Langkah AHY untuk memberhentikan Lukas Enembe selaku Ketua DPD PD Papua merupakan langkah yang tepat. Selain bisa dimanfaatkan untuk menguatkan narasi keberpihakan terhadap agenda anti-korupsi, keputusan AHY itu juga akan menyelamatkan partainya dari sasaran tembak arus besar yang menghendaki pengusutan kasus Lukas Enembe," Kata Umam kepada Liputan6.com Jumat (30/9/2022).
Di sisi lain, AHY mengingatkan bahwa agenda penegakan hukum terkait kasus Lukas Enembe juga sarat dengan muatan politik yang kental.
Hal itu mengisyaratkan, banyaknya aktor besar yang ingin bermain, mengambil untung dan mengamankan kepentingannya di Papua, melalui upaya penyingkiran Lukas dari posisi Gubernur Papua.
"Kepentingan itu bisa saja terkait pengamanan sumber-sumber logistik dan resources di Papua, hingga upaya penggusuran struktur kekuasaan yang selama ini bertahan di Papua. Siapa yang bisa "mengambil untung" dari tersingkirnya Lukas Enembe, akan mampu menguasai sumber-sumber logistik dan pemenangan suara pemilih Papua dalam kontestasi politik 2024, mengingat penggunaan sistem noken dalam mekanisme pemungutan suara di Papua," Ujarnya
Lebih lanjut, Kata Umam, Dicopotnya Lukas Enembe selaku Ketua DPD PD Papua, jelas membuat daya tawar politik Lukas semakin lemah. Kondisi ini memberikan peluang lebih terbuka bagi KPK, untuk segera menyelesaikan kasus ini, supaya tidak berkepanjangan.
"Terkait kekhawatiran penegakan hukum yang bersifat tebang pilih, maka KPK harus bisa membuktikan netralitas, independensi dan profesionalitasnya," Jelas Umam.
SBY Diminta Turun Gunung Bujuk Lukas Enembe
Sebelumnya, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) meminta Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung bujuk Gubernur Papua Lukas Enembe memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
MAKI yakin Lukas Enembe akan menjalani perintah dari Presiden kelima RI itu.
"Ya perlu memang, saya memohon pada Pak SBY untuk bersedia memberikan arahan atau memberikan imbauan kepada Pak LE (Lukas Enembe) selaku juga pengurus Demokrat Papua, ketuanya bahkan, ya untuk menghadiri panggilan KPK itu," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Selasa 27 September 2022.
Selain meminta SBY terlibat, Boyamin juga menyarankan para petinggi Partai Demokrat lainnya juga bisa membujuk Lukas untuk kooperatif terhadap proses hukum. Setidaknya, menurut Boyamin, hal ini menandakan kepedulian Partai Demokrat dalam pemberantasan korupsi.
"Ini menunjukkan semua partai patuh hukum dan mendukung proses prosesnya," kata Boyamin.
Advertisement
KPK Ingatkan Pasal Obstruction of Justice di Kasus Lukas Enembe
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menegaskan pihaknya tak ragu menerapkan pasal 21 UU Tipikor kepada mereka yang sengaja menghalangi proses penyidikan kasus dugaan suap dan gratifikasi Gubernur Papua Lukas Enembe.
"KPK akan keras untuk menerapkan ketentuan Pasal 21 UU 31 Tahun 1999 (Pemberantasan Tipikor) yang kita kenal dengan obstruction of justice," ujar Nawawi dalam keterangannya, Selasa 27 September 2022.
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan, 'Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.'
Maka dari itu, Nawawi meminta kepada semua pihak agar tak mencoba-coba menggagalkan proses penyidikan terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe.
"Kepada pihak lain diharapkan agar membantu supaya proses pemeriksaan pengambilan keterangan LE dapat secepatnya terlaksana dan jangan justru mencoba mencegah, merintangi, atau pun menggagalkan proses penyidikan," kata Nawawi.