Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah tokoh telah mengajukan judicial review terhadap Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi. Namun langkah tersebut kandas setelah Mahkamah Konstitusi atau MK menolak gugatan tersebut.
Politisi Partai Gerindra Fadli Zon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengoreksi ulang terkait Presidential Threshold demi calon Capres dan Cawapres yang tidak hanya diikuti dua atau tiga pasangan saja. Aturan itu dianggap sebagai penghambat bagi putra putri terbaik bangsa Indonesia untuk menjadi orang nomor satu.
"Semangat ini saya kira banyak di kalangan masyarakat supaya tidak ada satu fertekompli, bahwa capres dibatasi, harus paketnya itu, dan masyarakat harus memilih yang ada, padahal bisa menyajikan menu yang lebih banyak," kata Politisi Partai Gerindra Fadli Zon, Sabtu (1/10/2022).
Advertisement
Menurut dia, perubahan aturan itu bisa dilakukan melalui pengganti Undang-Undang (Perppu). Namun opsi itu baru bisa dilakukan apabila sudah mendapat persetujuan dari Presiden RI yaitu Joko Widodo.
"Kalau pak Jokowi mau meninggalkan sebuah legacy di dalam demokrasi, ya bisa dilakukan Perppu dan bisa langsung berlaku," tegasnya.
Baca Juga
Tapi, Fadli Zon melihat kenyataannya Jokowi tidak mengubah aturan itu sehingga MK menolak judicial review. Ditambah dengan sikap DPR RI yang memutuskan tidak membahas perubahan atau revisi UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sehingga, ketika tidak ada yang perlu direvisi oleh anggota DPR RI maka dianggap terus berlaku dan ketika digugat ke MK akan kandas.
"Apalagi Perppu juga kelihatannya agak sulit, jadi mungkin kalau tidak bisa di masa yang sekarang ya di masa akan datang setelah 2024," kata Fadli.
Sebelumnya, Politisi Partai Gerindra Fadli Zon pernah menolak rencana Undang-undang penyelenggaraan pemilu pada tahun 2017 silam karena presidential threshold atau ambang batas pencalonan. Sebab, sebelum pemilu berlangsung, kalangan elite politik atau oligarki sudah menentukan calon untuk didukung menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Artinya kalangan elite atau oligarki ini yang bakal menempatkan siapa calon Presiden dan Wakil Presiden untuk maju di Pemilu serta menentukan pemenangnya. Sementara, calon-calon presiden lain yang sudah mantap ingin maju di Pemilu pasti terganjal dengan aturan Presidential threshold.
"Padahal di tahun 2004, kita pernah punya lima calon pasangan Capres dan Cawapres, makanya dibuat sampai putaran dua," kata Fadli di Jakarta Sabtu (1/10/2022).
Secara tidak langsung, Presidential Threshold telah menghilangkan kesempatan calon-calon pemimpin bangsa Indonesia. Padahal pemilih presiden itu seharus adalah rakyat Indonesia bukan kalangan elite partai politik ataupun orang yang memiliki kepentingan.
"Tapi ini ada semacam pemilihan, pembatasan oleh para elit, kalau dipaksa ada pemilihan elit terlebih dahulu, apakah elit partai politik atau karena memang UUD kita dipilih atau ditentukan oleh partai politik, saya kira itu cukup fair," jelas Fadli.
MK Tolak Gugatan Yusril dan LaNyalla
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memutuskan menolak judicial review presidential threshold atau ambang batas sebesar 20 persen yang dimohonkan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, dan Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti, dalam sidang pembacaan putusan.
Adapun gugatan uji materi atau gugatan tersebut terdaftar pada Jumat 25 Maret 2022 lalu, dengan La Nyalla sebagai pemohon pertama dan Yusril Ihza Mahendra sebagai pemohon kedua dalam perkara nomor 41/PUU/PAN.MK/AP3 /03/2022.
Enam+01:35VIDEO: Anies Baswedan Gabung Pemuda Pancasila"Menyatakan permohonan Pemohon I (DPD-red) tidak dapat diterima. Menolak Permohonan Pemohon II (PBB-red) untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat bacakan putusan MK dikutip lewat Channel YouTube MK, Kamis (7/7/2022).
Dalam judicial review tersebut, Yusril beranggapan meski partai yang ia pimpin tak memenuhi syarat perolehan suara di parlemen, namun memiliki hak untuk mengajukan calon presiden atau capres. Hal itu sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Namun, hal tersebut kini dibatasi karena Pasal 222 UU Pemilu.
Alhasil, Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan prinsip negara hukum agar presiden dipilih langsung oleh rakyat, dan pemilu yang periodik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 6A ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Oleh sebab itu dia meminta Pasal 222 harus dihapus.
Advertisement