Liputan6.com, Jakarta - The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Tim Independen Gabungan Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan mengusut dugaan adanya penculikan terhadap saksi Tragedi Kanjuruhan oleh aparat kepolisian.
Desakan ICJR dan YLBHI kepada Kapolri dan TGIPF juga terkait adanya dugaan anggota mereka yang mencoba menghalangi pengusutan kasus yang meyebabkan ratusan orang meninggal dalam tragedi Kanjuruhan.Â
"Kapolri dan TGIPF yang dibentuk Presiden perlu mengusut dugaan adanya penculikan dan perampasan kemerdekaan sewenang- wenang dan memberi sanksi pada bawahannya yang tidak menaati prosedur, supaya bisa menghentikan praktik pelanggaran yang sepertinya sudah dianggap lazim," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Kamis (13/10/2022).
Advertisement
Baca Juga
Erasmus meminta pihak kepolisian bekerja secara profesional dalam proses penyidikan tragedi Kanjuruhan. Pemanggilan dan pemeriksaan saksi harus sesuai dengan prosedur dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut Erasmus, dirinya mendengar adanya saksi yang dijemput aparat kepolisian karena mencoba membuka bukti Tragedi Kanjuruhan.
"Sebelumnya, beberapa hari setelah tragedi Kanjuruhan, seorang saksi K mengaku dijemput aparat dan dibawa ke kantor polisi atas unggahannya di media sosial yang memperlihatkan kepanikan penonton di Stadion Kanjuruhan ketika pintu stadion ditutup dan gas air mata dilemparkan aparat," kata dia.
Erasmus menyebut, saksi K diperiksa aparat pada 3 Oktober 2022 pukul 16.00 WIB sampai 18.00 WIB. Menurutnya, ketika diperiksa, saksi K mendengar penyataan-pernyataan intimidatif dari penyidik yang mengatakan akan menghapus akun sosial media dan video-video dalam pinsel saksi K yang diambil saat tragedi Kanjuruhan terjadi.
"Setelah sempat 'diamankan' oleh penyidik, ponsel tersebut berhasil dikembalikan kepada saksi K pada Jumat, 7 Oktober 2022 dengan dibantu LPSK. Meskipun video serta akun media sosial saksi K masih utuh dalam HP-nya ketika dikembalikan, namun kami tetap mengutuk keras perlakuan intimidatif aparat terhadap saksi tersebut," kata dia.
Â
Penyidikan Kanjuruhan Patuhi Prosedur dalam KUHP
Erasmus berpandangan, kejadian yang dialami saksi K ini membuka kemungkinan saksi lain yang mengunggah video mengalami hal serupa, yakni dipanggil secara paksa oleh polisi yang luput terekam pemberitaan.
"Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo pada 4 Oktober 2022 memang mengakui bahwa ada yang bertugas untuk mencari saksi dari kalangan masyarakat. Namun, oleh karena pelaksanaannya yang tidak sesuai prosedur, beredar kabar bahwa pengunggah video tersebut telah diculik oleh intel aparat, meskipun kemudian ada klarifikasi dari pihak kepolisian soal pemanggilan tersebut," kata dia.
Erasmus menyerukan agar penyidik dalam melakukan penyidikan terhadap kasus Kanjuruhan mematuhi prosedur yang ada dalam KUHAP. Pasal 112 dan 227 KUHAP menegaskan bahwa harus ada tenggang waktu yang wajar antara pemberitahuan/pemanggilan dengan waktu pemeriksaan, yakni minimal berjarak 3 hari.
Selain itu, KUHAP juga memerintahkan polisi untuk membawa surat pemanggilan yang sah, menjelaskan alasan pemanggilan/pemeriksaan, tempat dilakukan pemeriksaan, termasuk memperlihatkan identitas yang jelas ketika melakukan tugas-tugas penyelidikan seperti pemanggilan saksi untuk dimintai keterangannya.
KUHAP juga mewajibkan untuk menyampaikan informasi tersebut kepada keluarga yang bersangkutan jika kemudian ditindaklanjuti dengan upaya penangkapan atau penahanan.
"Tanpa memenuhi prosedur sebagaimana tersebut, tindakan aparat menjadi tidak berbeda dengan penculikan terhadap warga sipil," ucap dia.
Â
Advertisement
Dokumentasi Warga Penting untuk Investigasi
Tindakan yang sewenang-wenang ketika melakukan pemanggilan terhadap saksi jelas akan menciptakan iklim ketakutan bagi warga untuk menyuarakan eskpresinya.
Masyarakat menjadi enggan memposting video-video yang didokumentasikannya ketika peristiwa terjadi karena takut akan ditangkap polisi atau diintimidasi.
"Padahal di sisi lain, dokumentasi dari warga tersebut juga dibutuhkan untuk proses investigasi," jelas Erasmus.
Untuk itu, ICJR dan YLBHI meminta secara khusus kepada Presiden Jokowi melalui TGIPF dan Kapolri merespons pelanggaran-pelanggaran prosedur hukum acara pidana yang kerap kali ditemukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Menurut Erasmus, hal ini bukan kali pertama terjadi pada kasus pengusutan tragedi Kanjuruhan dan sudah seperti menjadi praktik yang dibenarkan.
"Kapolri dan TGIPF harus bersikap tegas untuk mengusut dugaan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang tersebut hingga memberikan sanksi pada para pelanggar prosedur," kata dia.