Liputan6.com, Jakarta - Polri mengakui telah menggunakan gas air mata kedaluwarasa dalam Tragedi Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pun meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengevaluasi penggunaan kekuatan Polri.
Peneliti ICJR, Iftitahsari mengulas kembali pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo yang mengatakan bahwa senyawa dalam gas air mata kedaluwarsa justru mengakibatkan efek zat kimia di dalamnya menurun.
Advertisement
Baca Juga
"Atas hal ini, Polri mengklaim bahwa gas air mata yang telah kedaluwarsa itu tidak berbahaya dan tidak menyebabkan kematian," tutur Iftitahsari dalam keterangannya, Jumat (14/10/2022).
Menurut Iftitahsari, penggunaan gas air mata kedaluwarsa bukan pertama kali digunakan oleh kepolisian. Seperti pada September 2019 saat unjuk rasa mahasiswa atas penolakan RUU KPK dan RKUHP di Gedung DPR MPR, petugas juga menggunakan gas air mata yang telah kedaluwarsa.
"Awalnya, polisi sempat membantah bahwa Polri memakai gas air mata yang masih standar atau bukan kedaluwarsa. Namun, pernyataan itu diralat oleh Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo yang saat ini menjabat sebagai Kadiv Humas Polri, mengaku bahwa gas air mata yang digunakan oleh kepolisian telah kedaluwarsa. Namun, menurutnya gas air mata yang telah kedaluwarsa tidak berbahaya," katanya.
Iftitahsari mengingatkan, penggunaan gas air mata kedaluwarsa oleh aparat penegak hukum juga terjadi beberapa kali di negara lain, seperti aksi unjuk rasa di Venezuela pada 2014.
Â
Â
Pakar Sebut Gas Air Mata Kedaluwarsa Lebih Berbahaya
Penggunaan gas air mata yang kedaluawarsa awalnya dikira akan menurunkan efektivitas gas air mata apabila digunakan, namun seorang ahli kimia Mónica Kräuter dari Simón BolÃvar University, Venezuela, melakukan penelitian mengenai hal tersebut.
"Dan menemukan justru penggunaan gas air mata yang telah kedaluwarsa dapat terurai menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen. Sehingga senyawa-senyawa ini justru membuat gas air mata menjadi lebih berbahaya," kata Iftitahsari.
Asosiasi Dokter Kashmir di India sebagaimana dilansir dari Kashmir Dispatch, lanjutnya, turut menyatakan hal serupa. Penggunaan gas air mata kedaluwarsa bisa mengakibatkan luka bakar, gejala asma, kejang, kebutaan, hingga meningkatkan risiko keguguran.
Penggunaan gas air mata kedaluwarsa juga terjadi di Portland, Oregon. Ahli Direktur medis di Oregon Poison Center Dr. Rob Hendrickson kemudian juga menemukan hal yang sama, bahwa penggunaan gas kedaluwarsa berbahaya karena dua alasan.
"Pertama, mekanisme pembakaran dalam tabung kadaluarsa dapat rusak dan menyebabkan gas keluar terlalu cepat atau pada konsentrasi yang terlalu cepat atau pada konsentrasi yang terlalu tinggi. Kedua, komponen kimia gas dapat berubah melewati tanggal kedaluwarsa," ujar Iftitahsari.
Â
Advertisement
Jokowi Harus Evaluasi Penggunaan Kekuatan Polri
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, mengatur bahwa terdapat tahapan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisan.
Mulai dari kekuatan yang memiliki dampak pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kemudian kendali untuk menggunakan senjata kimia gas air mata.
Lebih lanjut, penggunaan senjata kimia seperti gas air mata juga diatur dalam Prosedur Tetap RI Nomor 1 /X/2010 tentang Penanggulangan Anarki, di mana diatur bahwa penggunaan senjata kimia seperti gas air mata harus digunakan sesuai dengan standar Kepolisian. Artinya, Polri sendiri mengatur standar yang harus dipenuhi dalam penggunaan senjata kimia dan penggunaan gas air mata.
"Yang sudah melewati kedaluwarsa pastinya bukan termasuk standar penggunaan. Dengan diaturnya standar penggunaan senjata kimia seperti gas air mata dalam berbagai peraturan Internal Polri, maka penggunaan gas air mata kadaluwarsa jelas tidak memenuhi prosedur. Seharusnya, kepolisian bertanggungjawab terhadap kesalahan ini, bahkan menetapkan sanksi," terang Iftitahsari.
Dengan penggunaan gas air mata kedaluwarsa yang bukan pertama kali terjadi, sambungnya, maka harus ada investigasi khusus terhadap aparat di lapangan yang menggunakan gas air mata kedaluwarsa, dan harus bertanggungjawab secara etik, disiplin, serta pidana.
Lebih dari pada itu, atasan anggota kepolisian di tingkat yang lebih tinggi harus terbuka untuk dimintai pertanggungjawaban atau command responsibility. Sebab, sangat mungkin semua tindakan yang menyebabkan hilangnya ratusan nyawa tersebut terjadi atas pembiaran atau bahkan atas perintah atasan.
"Atas bermasalahnya penggunaan gas air mata oleh polisi yang tidak pertama kali terjadi ini, ICJR meminta Presiden RI mengusut dan mengevaluasi penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian selama ini, termasuk penggunaan senjata kimia yaitu penggunaan air mata, agar tidak lagi-lagi hal ini dianggap lazim," Iftitahsari menandaskan.