Sukses

HEADLINE: Sidang Perdana Ferdy Sambo, Ungkap Cerita Sesungguhnya Pembunuhan Brigadir J?

Ketenangan Ferdy Sambo ini juga diperlihatkan oleh JPU. Di mana saat dia mendengar kabar istrinya Putri Candrawathi dilecehkan di Magelang, Jawa Tengah, oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Liputan6.com, Jakarta Melepas rompi merahnya dan tetap tampil necis dengan balutan batik berwarna cokelat, Ferdy Sambotetap berjalan dengan kepala tegak saat memasuki ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/10/2022). Dia kemudian menangkupkan tangannya ke dada untuk memberi hormat ke jaksa, hakim, dan mereka yang hadir.

Mantan jenderal bintang dua Polri itu juga terlihat menenteng buku catatan berwarna hitam, yang selama sidang diselipkan di samping paha kirinya. Dia lalu mengeluarkan pulpen dan stabilo kuning untuk menandai salinan dakwaan dari jaksa penuntut umum.

Selama sidang, dia tenang, tak ada ekspreasi menonjol yang ditunjukkannya, meski dijerat dengan pasal pembunuhan berencana yang ancaman hukumannya tidak main-main.

Dalam dakwaan, jaksa menyebut Ferdy Sambo dengan kecerdasan dan pengalamannya puluhan tahun sebagai polisi, dia berusaha menenangkan diri saat mendengar kabar istrinya, Putri Candrawathi yang dilecehkan di Magelang, Jawa Tengah, oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Namun, bukannya mencari tahu soal kebenaran kabar itu, dia justru memilih merencanakan untuk membunuh ajudannya tersebut, bukan duduk dan bertanya kebenaran soal kejadian di Magelang.

"Mendengar cerita sepihak yang belum pasti kebenarannya tersebut membuat terdakwa Ferdy Sambo menjadi marah. Namun dengan kecerdasan dan pengalaman puluhan tahun sebagai anggota Kepolisian sehingga Ferdy Sambo berusaha menenangkan dirinya lalu memikirkan serta menyusun strategi untuk merampas nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang dibacakan di PN Jaksel, Senin (17/10/2022).

Jaksa menyebut Ferdy Sambo menyusun strategi pembunuhan berencana terhadap Yosua di kediaman pribadi, di Jalan Saguling.

Ferdy Sambo awalnya memanggil ajudannya Ricky Rizal Wibowo dan mengutarakan rencananya. Singkat cerita, Ferdy Sambo kemudian bertanya kepada Ricky Rizal soal kesiapannya menembak Yosua. Permintaan Ferdy Sambo ditolak Ricky Rizal dengan alasan tak siap mental.

Kemudian Ferdy Sambo meminta Rizky Rizal memanggil Richard Eliezer Pudihang Limiu. Richard pun menemui Ferdy Sambo yang akhirnya menyanggupi arahan Ferdy Sambo menembak Yosua.

Mendengar kesediaan dan kesiapan Bharada E untuk menembak Brigadir J, Ferdy Sambo langsung menyerahkan satu kotak peluru 9 mm kepadanya.

"Disaksikan oleh Putri Candrawathi, di mana kotak peluru 9 mm tersebut telah dipersiapkan oleh terdakwa Ferdy Sambo," tutur Jaksa.

Namun, ketenangan itu hanya sementara. Dengan meminta Bharada E mengokang senjatanya, Brigadir J pun dipanggil untuk menghadap Ferdy Sambo melalui Bripka Ricky Rizal Wibowo. Di sana juga ada Kuat Maruf.

Tanpa curiga, Brigadir J yang berada di luar masuk ke dalam rumah melewati garasi dan pintu dapur menuju ruang tengah dekat meja makan diikuti dan diawasi Kuat Maruf.

Saat itu Kuat Maruf juga ternyata menyiapkan pisau di dalam tas selempangnya untuk berjaga-jaga apabila terjadi perlawanan dari Brigadir J disaat eksekusi nanti berlangsung.

Sesampainya di ruangan tengah dekat meja makan, Ferdy Sambo langsung memegang leher bagian belakang Brigadir J lalu didorong ke depan sehingga posisi tepat berada di depan tangga dengan posisi saling berhadapan.

Ketika Bharada E yang sudah tepat berada di samping kanan Sambo, sedangkan posisi Kuat Maruf dan Bripka RR dalam posisi bersiaga untuk melakukan pengamanan bila Brigadir J melawan. Sedangkan Putri Candrawathi berada di dalam kamar utama dengan jarak kurang lebih tiga meter dari posisi Brigadir J.

Ferdy Sambo lantas bersiap mengeksekusi Brigadir J sebagai rencana awal dengan tembakan yang bakal dilesatkan Bharada E.

"Ferdy Sambo Langsung mengatakan kepada Korban Nopriansyah Yosua Hutabarat dengan perkataan, 'Jongkok kamu!!' Lalu Korban Nopriansyah Yosua Hutabarat sambil mengangkat kedua tangannya menghadap ke depan sejajar dengan dada sempat mundur sedikit sebagai tanda penyerahan diri dan berkata, 'Ada apa ini?'," tutur Jaksa.

Meski sudah dalam posisi menyerah, niat sambo menghabisi nyawa ajudan itu tetap tak terbendung. Dengan memerintahkan Bharada E untuk segera melepaskan tembakan yang berasal dari Glock 17.

"(Sambo) Berteriak dengan suara keras kepada Saksi Richard Eliezer dengan mengatakan, 'Woy...! Kau tembak...! Kau tembak cepaaat!! Cepat woy kau tembak!!!'," katanya.

Setelah itu mendengar teriakan Ferdy Sambo, Bharada E langsung mengarahkan senjata api Glock-17 Nomor seri MPY851 ke tubuh Brigadir J dan menembakkan senjata api miliknya sebanyak tiga atau empat kali.

"Hingga korban Nopriansyah Yosua Hutabarat terjatuh dan terkapar mengeluarkan banyak darah," jelas Jaksa.

Tembakan itu menimbulkan luka tembak masuk pada dada sisi kanan masuk ke dalam rongga dada hingga menembus paru dan bersarang pada otot sela iga ke-delapan kanan bagian belakang yang menimbulkan sayatan pada bagian punggung, luka tembak masuk pada bahu kanan.

Lalu, luka tembak keluar pada lengan atas kanan, luka tembak masuk pada bibir sisi kiri menyebabkan patahnya tulang rahang bawah dan menembus hingga ke leher sisi kanan, luka tembak masuk pada lengan bawah kiri bagian belakang telah menembus ke pergelangan tangan kiri dan menyebabkan kerusakan pada jari manis dan jari kelingking tangan kiri.

Ferdy Sambo lantas menghampiri Brigadir J yang tergeletak di dekat tangga depan kamar mandi dalam keadaan tertelungkup masih bergerak-gerak kesakitan, lalu menembaknya.

"Ferdy Sambo yang sudah memakai sarung tangan hitam menggenggam senjata api dan menembak sebanyak satu kali mengenai tepat kepala bagian belakang sisi kiri Korban Nopriansyah Yosua Hutabarat hingga korban meninggal dunia," jelas Jaksa.

Dalam Dakwaan tersebut, tak ada penyelasan dari Ferdy Sambo, karena dianggapnya mempertahankan harga diri.

"Ini harga diri, percuma jabatan dan pangkat bintang dua, kalau harkat dan martabat serta kehormatan keluarga hancur karena kelakukan Yosua (korban Nofriansyah Yosua Hutabarat), mohon rekan-rekan untuk masalah ini diproses apa adanya, sesuai peristiwa di tempat kejadian perkara (TPK)!," kata JPU seraya tirukan ucapan Sambo.

 

Sang Putri

Di hari yang sama, istri Ferdy Sambo, Putri juga mendengarkan dakwaannya. Hampir seperti suaminya, dia juga membawa alat untuk mencatat di salinan dakwannya.

Bahkan, Putri terlihat duduk santai mendengarkan dakwaan jaksa penuntut umum sambil sesekali merapikan rambutnya. Bahkan sesekali terlihat mengibaskan rambutnya.

Putri yang duduk di atas kursi pesakitan ini sesekali menaikkan kaki kanannya ke atas kaki kiri. Telapak tangan putri juga terlihat sesekali memang lengan kirinya. Bahkan sesekali kedua tangannya itu mengangkat berkas dakwaan.

Dalam dakwaan, Putri ternyata berada hanya tiga meter dari tempat pembunuhan Brigadir J. "Putri Candrawathi berada di dalam kamar utama dengan jarak kurang lebih 3 meter dari posisi korban Nofriansyah Yosua Hutabarat," ujar jaksa.

Putri juga disebut acuh tak acuh usai kejadian penembakkan. Jaksa menyebut, awalnya seusai Yosua meningal dunia sekira pukul 17.16 WIB, Ferdy Sambo keluar rumah melalui pintu dapur menuju garasi.

Saat itu Ferdy Sambo bertemu dengan saksi Azdan Romer yang berlari ke dalam rumah sambil memegang senjata api karena terkejut mendengar suara tembakan.

Adzan Romer pun sempat menodongkan senjata apinya ke arah Ferdy Sambo secara spontan. Ferdy Sambo pun mengatakan kepada Adzan bahwa Putri Candrawathi aman di dalam rumah. Adzan Romer pun sempat masuk ke dalam dan bertemu Richard.

Ferdy Sambo kemudian kembali ke dalam rumah dan masuk ke dalam kamar Putri. Ferdy Sambo pun mengajak Putri keluar kamar dengan cara merangkul kepala Putri di dadanya.

Kemudian Ferdy Sambo meminta Ricky Rizal Wibowo mengantar Putri ke kediaman pribadi di Saguling 2.

Jaksa menyebut saat kejadian penembakan, Putri sempat mengganti pakaian. Awalnya berpakaian baju sweater warna coklat dan celana legging warna hitam namun namun berganti pakaian model blus kemeja warna hijau garis-garis hitam dan celana pendek warna hijau garis-garis hitam.

"Lalu Putri Candrawathi dengan tenang dan acuh tak acuh (cuek) pergi meninggalkan rumah dinas Duren Tiga No. 46 diantar oleh Ricky Rizal Wibowo menuju ke rumah Saguling 3 No. 29. Padahal Korban Nofrianysh Yosua Hutabarat merupakan ajudan yang sudah lama dipercaya oleh Ferdy Sambo untuk melayani, mendampingi, dan mengawal Putri Chandrawathi," ujar jaksa.

Tak sampai di sana, Putri bahkan melaporkan Brigadir J ke Polres Metro Jakarta Selatan sebagaimana perintah Ferdy Sambo. Tindakan itu dilakukan setelah insiden pembunuhan berencana berlangsung pada Jumat, 8 Juli 2022

"Ferdy Sambo kembali melakukan cara-cara licik dengan meminta Terdakwa Putri Candrawathi selaku istri Saksi Ferdy Sambo agar membuat Laporan Polisi Nomor: LP/B/1630/VII/2022/SPKT /POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA, tanggal 9 Juli 2022," kata JPU dalam dakwaan.

Di mana, dalam dakwaan itu disebutkan jika Putri turut mempolisikan Brigadir J guna memuluskan skenario palsu baku tembak yang ditengarai adanya tindakan pelecehan yang dialami Istri Kadiv Propam tersebut.

"Saat itu Terdakwa Putri Candrawathi langsung memberikan keterangan yang dituangkan secara tertulis sebagai pelapor/korban dengan keterangan peristiwa pelecehan di Duren Tiga No. 46 yang dilakukan oleh terlapor Nopriansyah Yosua Hutabarat kepada Terdakwa Putri Candrawathi padahal diketahuinya keterangan tersebut merupakan keterangan yang tidak benar," katanya.

 

2 dari 3 halaman

Pembelaan Ferdy Sambo dan Istri

Dalam nota keberatan, Ferdy Sambo mengaku tidak merencanakan pembunuhan terhadap Brigadir J sebab pada detik-detik sebelum insiden, di mana dirinya hendak bermain badminton.

"Pada pukul 17.06 WIB, Putri Candrawathi meminta Ricky Rizal untuk mengantarkannya untuk melakukan isolasi mandiri di Komplek Duren Tiga No. 46, sembari menunggu hasil swab PCR sebelumnya. Putri tidak mengetahui dan tidak pernah meminta Yosua Hutabarat untuk ikut ke Rumah Duren Tiga. Sebelum pergi isolasi, Putri kepada Sambo agar menepati janjinya yaitu bermain badminton sesuai jadwal rutin seperti biasanya dengan salah satu petinggi dan mantan petinggi Mabes Polri,” kata pengacara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/10/2022).

Menurut keterangan Sambo, lanjut pengacara, Sambo merasa gundah gulana usai mendapat informasi dugaan pelecehan terhadap istrinya.

Dia pun yang sudah di dalam mobil dan berjalan memutuskan untuk putar balik dan mencari Yosua untuk mengkonfirmasi insiden yang diceritakan oleh istrinya terkait dugaan pelecehan seksual.

"Ferdy Sambo kemudian bersiap-siap berangkat badminton ke Depok. Beberapa saat kemudian, dirinya berangkat menuju lokasi badminton di Depok. Namun ketika melewati rumah Duren Tiga, Ferdy Sambo tidak tenang (keadaan marah dan Stress bersamaan) akan kejadian yang dialami istrinya kemudian secara mendadak meminta supir untuk memundurkan kendaraan yang sudah terlanjur melewati rumah duren tiga,” jelas pengacara.

Namun karena terburu-buru, lanjut pengacara pistol yang dia miliki sampai terjatuh dari mobil.

Hal itu diakui dan sesuai dengan BAP tambahan Ferdy Sambo halaman 3 paragraf 4 dan BAP Adzan Romer selaku ajudan Sambo yang bertugas sebagai sopir.

"Ferdy Sambo dalam keadaan terburu-buru turun dari mobil hingga menjatuhkan pistol miliknya. Kemudian dia segera menuju ke dalam rumah duren tiga," kata Pengacara.

Bahkan, Ferdy Sambo sempat meminta untuk dipanggilkan ambulans agar Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J mendapatkan pertolongan pertama usai ditembak Bharada E ketika di rumah dinas komplek perumahan Polri, Duren Tiga.

"Terdakwa Ferdy Sambo juga meminta untuk dipanggilkan ambulans, berharap Nofriansyah Yosua Hutabarat dapat segera mendapatkan pertolongan pertama," kata Pengacara.

Permintaan untuk meminta dipanggil ambulans itu, setelah Ferdy Sambo melakukan aksi menembak ke dinding dengan memakai senjata HS yang ada di samping Brigadir J.

"Kemudian secara spontan mengambil senjata jenis HS yang berada di belakang punggung Nopriansyah Yosua Hutabarat lalu kemudian melesatkan beberapa tembakan ke dinding," ujarnya.

Adapun aksi untuk pertolongan pertama dan menembak dinding itu dilakukan Ferdy Sambo karena sempat berpikir untuk melindungi dan menyelamatkan Bharad E dari tuduhan pembunuhan.

"Terdakwa Ferdy Sambo yang sedang kalut, merasa bahwa dengan membuat cerita seolah-olah terjadi tembak menembak, maka nantinya Richard Eliezer bisa lolos dari proses hukum," katanya.

"Kemarahan besar, kekalutan, ketidakmampuan berpikir jernih inilah yang sampai saat ini masih disesali oleh Terdakwa Ferdy Sambo. Seharusnya ia lebih mampu mengontrol diri sehingga aksi penembakan tersebut tidak perlu terjadi," tambah dia.

Meskipun, kata Kuasa Hukum, di saat itu sangat tidak mudah baginya untuk mampu mengontrol dan menguasai diri saat mengingat kejadian kekerasan seksual yang diceritakan istrinya beberapa saat sebelumnya.

Sementara, Pengacara Terdakwa Putri Candrawathi, Febri Diansyah menyebut insiden Magelang pada 4 Juli 2022 memang ada pelecehan seksual terhadap kliennya itu terjadi.

"Pada malam hari tanggal 4 Juli 2022, bertempat di lantai 1 Rumah Magelang, kondisi Terdakwa Putri saat itu sedang sakit kepala dan tidak enak badan, tiba-tiba Yosua bermaksud membopong Putri yang sedang selonjoran di sofa sambil menonton TV ke kamar di lantai 2. Namun niat Yosua ditepis oleh Putri," kata Febri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/10/2022).

Bahkan Kuat pun menegur. Usai ditegur, Yosua pun langsung keluar mencari Richard Eliezer dan mengajaknya secara bersama-sama untuk membantu Putri naik ke kamar.

Sebab, kamar Putri di rumah Magelang berada di lantai 2. Namun niat tersebut kembali ditolak Putri.

"Niat tersebut kembali ditolak oleh Putri dan Kuat kembali menegur dengan mengatakan "Gak ada yang angkat-angkat ibu"," jelas Febri.

Usai ditegur Kuat. Yosua terlihat kesal dan keluar dari Rumah Magelang.

Bahkan, dari dakwaan yang ada, Putri mengaku tak paham dan mengerti. Awalnya, saat Jaksa menyudahi membaca keseluruhan dakwaan, dan menanyakan kepada terdakwa.

"Bagaimana saudara terdakwa sudah mengerti apa yang disampaikan JPU tadi?" tanya majelis hakim usai jaksa membacakan surat dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (17/10/2022).

Namun Putri mengaku tidak mengerti apa yang disampaikan oleh JPU selama hampir dua jam tersebut. "Mohon maaf yang mulia saya tidak mengerti dakwaannya yang mulia," ujar Putri.

"Silakan dijelaskan lagi saudara penuntut umum," timpal hakim.

JPU pun menjelaskan pasal-pasal yang didakwakan terhadap istri Ferdy Sambo ini. Menurut JPU, Putri adalah terdakwa yang sudah didakwa melakukan pembunuhan berencana secara bersama-sama.

"Jadi bukan hanya saudara terdakwa saja. Ini sudah terlihat jelas, Bu Putri yang menelepon Ferdy Sambo, memesan PCR hingga semua," ucap Jaksa.

"Mohon maaf yang mulia, saya tetap tidak mengerti," ucap Putri Candrawathi lagi.

Mendengar jawaban tersebut, pengunjung sidang langsung berseru. Hakim pun meminta penasihat hukum menjelaskan hal terkait dakwaan ke penasihat hukum.

Usai berkonsultasi dengan penasihat hukum, Putri Candrawathi mengaku siap melanjutkan persidangan.

"Mohon izin yang mulia, saya siap menjalani persidangan dan saya serahkan ke penasihat hukum saya," ucap Putri menutup.

 

3 dari 3 halaman

Prematur untuk Dipercaya

Pengamat kepolisian Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut, bahwa ini persidangan ini bukanlah akhir untuk menjawab semua kebenaran yang terus menghantui publik berbulan-bulan.

"Terlalu prematur kalau saat ini publik sudah merasa lega dengan pengakuan Sambo cs," kata dia Kepada Liputan6.com, Senin (17/10/2022).

Mungkin, banyak publik atau masyarakat yang memang sudah menanti-nanti agar kasus ini masuk di persidangan dan bisa jernih secepat mungkin, agar bisa menghukum mereka yang benar terbukti salah.

Akan tetapi, permasalah Sambo ini adalah krusial bagaimana banyaknya anggota polisi yang terlibat dan mengancam kepercayaan institusi Polri. Diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi saja mengakui kasus Ferdy Sambo ini memang menganggu kepercayaan publik ke institusi yang kini dipimpin oleh Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo itu.

"Problem yang lebih krusial terkait dengan kasus-kasus turunan dari kasus pembunuhan itu sendiri. Upaya rekayasa oleh banyak personel dan dilakukan secara terstruktur, sistemis dan massif itulah yang menggerus kepercayaan publik pada kepolisian," ungkap Bambang.

Dia menegaskan, ini bukan hanya digunakan untuk momentum perbaikan bagi kepolisian, tapi mengingat lagi apa fungsinya mereka bagi masyarakat.

"Kasus itu hanya pintu masuk saja. Yang lebih penting itu pertanggungjawaban dari pengemban amanah UU Kepolisian. Sebagai proses sistemis perbaikan itu justru jangan sampai berhenti, karena kalau berhenti artinya game over," tutur Bambang.

Senada, Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto, melihat memang kebenaran harus diungkap dan keadilan ditegakkan sebagai keinginan publik, tapi kasus ini juga menjadi pertaruhan institusi kepolisian sebagai penegak hukum, yang harus melakukan pembenahan dan perbaikan secara utuh dan menyeluruh.

"Pembenahan, perbaikan, penguatan dan pemahaman anggota Polri terkait dengan posisioting kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan harus kembali dikuatkan dalam seluruh keanggotaan Polri. Dengan demikian seluruh anggota Polri bisa memahami utuh hakikat tugas, tanggung jawab dan kewenangan besar yang diamanahkan UU adalah untuk kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. Perilaku dan sikap mentalnya adalah pengayom dan pelayan masyarakat, bukan sebaliknya," kata dia.

Selain itu, penting bagi anggota Polri memahami utuh reformasi instrumental yang meliputi filosofi (visi, misi, dan tujuan) di level regulasi, kemampuan fungsi dan perencanaan. Sehingga demikian anggota Polri akan memahami hakikat dari penggunaan instrumen-instrumen dalam kepolisian dan pertanggungjawaban institusionalnya.

Reformasi kultural yang terdiri atas doktrin, sistem rekrutmen dan pendidikan, dan sistem operasional ini yang menjadi PR besar. Jika Kapolri tidak serius, cepat, tepat dan terukur dalam melakukan ini, maka bisa berpotensi munculnya berbagai persoalan besar yang mendera institusi Polri.

"Lahirnya kultur loyalitas korps yang salah dan keliru yang juga terindikasi dalam Kasus Sambo, tidak tertutup kemungkinan terjadi karena sistem dan kultur yang terbangun sejak rekrutmen, pendidikan dan operasional termasuk mutasi serta kepangkatan tidak berbasis kepada sistem, tapi diselewengkam oleh oknum-oknum kepolisian. Jika ini terjadi maka akan banyak penumpang gelap yang punya kepentingan untuk merusak Polri," jelas Didik.

Politikus Demokrat ini juga berharap para aparat penegak hukum baik Jaksa dan Hakim yang memeriksa perkara Sambo ini, harus independen, bekerja secara transparan, profesional dan akuntable dalam menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan.

"Jangan ada keraguan dan ketakutan sedikitpun untuk mengungkap tuntas. Pengungkapan kasus ini juga akan menjadi moment dan landasan penting bagi segenap anggota Polri untuk tidak abuse of power. Dan bagi institusi Polri, peringatan keras untuk terus menguatkan pengawasan dan pembinaan anggota," pungkasnya.