Sukses

KPK Usut Keikutsertaan PT Waringin Megah di Proyek Gereja Kingmi Mile 32 Papua

KPK telah menetapkan Bupati Mimika Eltinus Omaleng sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 Papua.

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut keikutsertaan PT Waringin Megah dalam proyek pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Mimika, Papua. Pembangunan ini ditengarai terjadi suap kepada Bupati Mimika Eltinus Omaleng.

Tim penyidik KPK mengusut keikutsertaan proyek ini dengan memeriksa Direktur/Asisten Direktur PT Waringin Megah Hermash Budi Yuwono Lukman dan karyawan PT Waringin Megah R Andrian Gatot Yudho Prabowo.

Mereka diperiksa di Gedung Merah Putih KPK pada Rabu, 26 Oktober 2022.

"Kedua saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan keikutsertaan perusahaan PT Waringin Megah dalam proyek pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Mimika," ujar Plt Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya, Kamis (27/10/2022).

Sementara satu saksi lainnya dari karyawan PT Waringin Megah bernama Febriansyah tidak hadir.

"Saksi tidak hadir dan penjadwalan pemanggilan ulang segera disampaikan tim penyidik," kata Ipi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan Bupati Mimika Eltinus Omaleng pada Kamis (8/9/2022). Eltinus ditahan setelah sebelumnya ditangkap di sebuah hotel di Jayapura, Papua pada Rabu, 7 September 2022 kemarin.

Eltinus merupakan tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Papua. Selain Eltinus, KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya yakni Marthen Sawy selaku Kepala Bagian Kesra Setda Kabupaten Mimika yang juga Pejabat Pembuat Komitmen dan Teguh Anggara selaku Direktur PT Waringin Megah.

Ketua KPK Firli Bahuri menyebut, perbuatan Eltinus diduga merugikan keuangan negara sejumlah Rp 21,6 miliar. Dalam korupsi proyek Gereja Kingmi Mile 32 ini, Eltinus juga menerima duit hingga Rp 4,4 miliar.

 

2 dari 3 halaman

Konstruksi Kasus

Firli menjelaskan, kasus ini bermula pada 2013 saat Eltinus ingin membangun Gereja Kingmi di Kabupaten Mimika dengan nilai Rp126 miliar.

Kemudian pada 2014 Eltinus terpilih menjadi Bupati Mimika dan mengeluarkan kebijakan memberikan dana hibah ke Yayasan Waartsing untuk pembangunan Gereja Kingmi Mile 32.

"Kemudian Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Mimika sebagaimana perintah EO (Eltinus) memasukkan anggaran hibah dan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 sebesar Rp 65 miliar ke anggaran daerah Pemkab Mimika tahun 2014," ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kamis (8/9/2022).

Firli mengatakan, saat itu Eltinus masih menjadi komisaris PT NKJ yang kemudian membangun dan menyiapkan alat produksi beton yang berada tepat di depan lokasi akan dibangunnya Gereja Kingmi Mile 32.

Untuk mempercepat proses pembangunan, pada 2015 Eltinus menawarkan proyek ini ke Teguh Anggara (TA) selaku Direktur PT Waringin Megah dengan kesepakatan pembagian fee 10 persen dari nilai proyek.

"EO mendapat 7 persen dan TA 3 persen," kata Firli.

Agar proses lelang dapat dikondisikan, Eltinus sengaja mengangkat Marthen Sawy (MS) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK). Padahal, Marthen tidak mempunyai kompetensi di bidang konstruksi bangunan.

"Eo juga memerintahkan MS untuk memenangkan TA sebagai pemenang proyek walaupun kegiatan lelang belum diumumkan. Setelah proses lelang dikondisikan, MS dan TA melaksanakan penandatangan kontrak pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 dengan nilai kontrak Rp 46 Miliar," kata Firli.

 

3 dari 3 halaman

Pembangunan Gereja Tidak Sesuai

Untuk pelaksanaan pekerjaan, Teguh kemudian mensubkontrakkan seluruh pekerjaan pembangunan gedung Kingmi Mile 32 ke beberapa perusahaan berbeda, salah satunya yaitu PT Kuala Persada Papua Nusantara (KPPN) tanpa adanya perjanjian kontrak dengan pihak Pemkab Mimika.

"Hal ini diketahui oleh EO," kata Firli.

PT KPPN kemudian menggunakan dan menyewa peralatan PT NKJ di mana EO masih tetap menjabat sebagai komisarisnya.

Dalam perjalanannya, kemajuan pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan.

"Akibat perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekitar Rp 21,6 miliar dari nilai kontrak Rp 46 Miliar. Dari proyek, ini EO diduga turut menerima uang sejumlah sekitar Rp 4,4 miliar," kata Firli.

Atas perbuatannya, para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.