Liputan6.com, Jakarta Tim kuasa hukum AKBP Arif Rachman Arifin, Junaedi Saibih mengklaim kliennya hanya menjalakan perintah mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Perintah itu yang membuat Arief dijerat dalam perkara obstruction of justice pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum Arif melayangkan eksepsi atau nota keberatan dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (28/10/2022).
"Bahwa telah terang dan jelas terdakwa Arif Rachman Arifin selaku pejabat pemerintah pelaksana dalam melaksanakan segenap tindakan sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum dilakukan atas dasar perintah saksi Ferdy Sambo," ujar Junaedi.
Advertisement
Junaedi menilai dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap kliennya tidak cermat dalam memaparkan keterlibatan Arif di kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Menurut Junaedi, kliennya berbuat demikian lantaran mendapat ancaman dari Ferdy Sambo selaku atasannya.
Baca Juga
"Saudara penuntut umum tidak cermat menerapkan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perbuatan terdakwa Arif Rachman, karena tidak menguraikan kesamaan niat atas perbuatan fisik yang diperintahkan oleh saksi Ferdy Sambo," kata Junaedi.
Junaedi melanjutkan, klienya bersama Brigjen Hendra Kurniawan menerima perintah dari Ferdy Sambo seusai menyaksikan hasil rekaman CCTV yang telah disalin oleh Baiquni Wibowo. Saat itu, Sambo berang dan mengutus Arif Rachman memusnahkan dan menghapus salinan rekaman CCTV tersebut.
"Ferdy Sambo dengan emosi dan nada tinggi memerintahkan agar memusnahkan dan hapus semua salinan rekaman CCTV yang ada di laptop Baiquni Wibowo," kata dia.
Juanedi juga menyebut, tindakan Arif yang mematahkan laptop atas dasar perintah Sambo yang kala itu menjabat Kadiv Propam Polri. Tindakan Arif, lanjut Junaedi, telah sesuai aturan Peraturan Polisi (Perpol) Pasal 11 Nomor 7 Tahun 2022.
"(Perpol) setiap pejabat Polri yang berkedudukan sebagai bawahan dilarang untuk melawan dan menentang atasan," kata Junaedi.
Junaedi pun meminta agar majelis hakim mengabulkan eksepsinya dan membebaskan kliennya dari seluruh dakwaan JPU. Dia mengatakan, dakwaan JPU prematur dan tidak sah. Sehingga, Arif harus dibebaskan dari dakwaan tersebut.
"Membebaskan terdakwa Arif Rachman Arifin dari segala dakwaan penuntut umum dan melepaskan terdakwa Arif Rachman Arifin dari tahanan," sambungnya.
Tidak hanya itu, Junaedi juga meminta agar kliennya dipulihkan harkat dan martabatnya dalam perkara ini. Dia juga berharap agar hakim bisa memberikan putusan seadil-adilnya.
"Memulihkan terdakwa Arif Rachman Arifin dalam harkat dan martabatnya dan membebankan biaya perkara kepada negara atau apabila yang terhormat majelis hakim berpandangan lain, maka kami memohon agar majelis hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya," ucapnya.
Patahkan Laptop
Dalam kesempatan itu, Kuasa Hukum terdakwa, Junaedi Saibih menyatakan bahwa kliennya melakukan segala tindakan atas perintah Ferdy Sambo, termasuk mematahkan laptop.
"Bahwa terdakwa Arif Rachman Arifin merasa masih di bawah tekanan, 'Saya mematahkan laptop tersebut dengan kedua tangan terdakwa menjadi beberapa bagian, kemudian saya memasukkan ke paper bag atau kantong warna hijau saya letakkan di jok depan. Kemudian paperbag atau kantong yang berisi laptop yang sudah saya patahkan tersebut terdakwa Arif Rachman Arifin simpan di rumah terdakwa Arif Rachman Arifin dan tidak dihilangkan karena masih ragu terhadap perintah saksi Ferdy Sambo'," tutur Junaedi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Jumat (28/10/2022).
Menurut Junaedi, isi surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Arif Rachman tidak berdasarkan fakta dan sarat asumsi. Dia pun meminta Majelis Hakim menyatakan dakwaan terhadap kliennya batal demi hukum.
"Seluruh keterangan berita acara saksi fakta dalam proses penyidikan, diketahui tidak terdapat satu pun keterangan dan atau bahan hukum dapat yang digunakan untuk menunjukkan adanya maksud dan atau tidak niat terdakwa untuk menutupi atau menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan," jelasnya.
Kembali Junaedi menekankan bahwa JPU mengabaikan fakta bahwa kliennya berada di bawah tekanan saat mematahkan laptop berisikan file rekaman CCTV menjadi beberapa bagian.
"Terdakwa mematahkan laptop tersebut karena 'merasa masih di bawah tekanan' dan tidak menghilangkan laptop tersebut karena masih ragu saksi Ferdy Sambo d/h Irjen Pol Ferdy Sambo dan terdakwa masih berpikir laptop tersebut masih bisa digunakan/diakses datanya," Junaedi menandaskan.
Advertisement