Liputan6.com, Jakarta - Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Harris Yahya, mengatakan, regulasi adalah hal penting yang dibutuhkan dalam menyongsong percepatan pengembangan EBT untuk penyediaan tenaga listrik. Menurut dia, transisi energi merupakan komitmen pemerintah dalam rangka penurunan emisi.
"Komitmen Kementerian ESDM pada G20 terletak pada fokus transisi menuju energi yang berkelanjutan," kata Haris saat dialog interaktif bertema Ketahanan Energi dalam Perspektif Transisi yang dihelat oleh Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika.
Baca Juga
Haris menambahkan, saat ini kategori energi bersih adalah panas matahari, panas bumi, angin, ombak laut dan energi bio. Dia meyakini hal tersebut akan menarik industrialisasi penghasil produk-produk rendah emisi.
Advertisement
Senada dengan itu, Ketua Dewan Pembina Pimpinan Pusat Kesatria Muda Respublika, Iwan Bento Wijaya mengatakan, isu transisi energi merupakan salah satu pilar dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) yang akan berlangsung pada 15-16 November 2022 di Bali. Menurut dia, transisi energi tidak lepas dari landasan sosiologis mengenai konsep keadilan sosial kepada seluruh masyarakat Indonesia hingga daerah tertinggal, terdepan dan terluar dalam menikmati energi.
Iwan mengurai, banyak ragam dalam menggali potensi Indonesia dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satunya, dengan melakukan penguatan industri hulu dan hilir dalam pengembangan EBT.
“Pengembangan dimulai dari industrial bahan baku EBT, melakukan percepatan infrastruktur hukum Transisi Energi guna memberikan kepastian hukum dalam menciptakan iklim investasi yang baik hingga penerapan dan problematika gagasan power wheeling,” ujar Iwan dalam kesempatan yang sama.
Iwan menambahkan, percepatan transisi energi bukan hanya sebuah ide tapi juga harus diimplementasikan dengan langkah tepat, cepat dan terukur, dimulai dari pemetaan wilayah penghasil EBT dan wilayah-wilayah penghasil mineral penunjang EBT.
Dia meyakini, hal itu berguna untuk melakukan pemetaan dari supply, demand dan rantai pasok komoditi EBT serta melakukan penguatan hulu dan hilir komoditi mineral penunjang EBT. Sehingga, EBT merupakan komoditi yang efisien dan terjangkau serta membumi untuk setiap rakyat.
“Penguatan hulu dan hilir pada proses transisi energi harus berbanding lurus dengan kepastian hukum yang berlaku, yakni Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan. Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa penyediaan tenaga listrik adalah salah satu komitmen pemerintah dalam menciptakan kepastian hukum pada proses transisi energi,” jelas dia.
Soal pengaturan harga, sambung Iwan, tenaga listrik yang bersumber dari EBT serta konversi energi memang masih pada tahap pembahasan oleh pemerintah, dengan bentuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (RUU EBET).
Dia melihat, sejauh ini, RUU EBET merupakan tindak lanjut dalam kepastian hukum melalui gagasan power wheeling (penggunaan jaringan listrik bersama) dan insentif, yang sekaligus bentuk kehadiran negara dalam pemenuhan energi pada setiap warga negara.
"Gagasan power wheeling yang yang terdapat pada RUU EBET adalah bentuk kemajuan peradaban masyarakat. Negara hadir dalam mewujudkan dan memenuhi itu," tutur dia.
Insentif
Lebih lanjut, dalam RUU EBET, Iwan menyoroti adanya berbagai macam pola pemberian insentif, yang mana industri EBT merupakan suatu industri yang memiliki biaya modal yang tinggi atau high cost. Dia pun mendorong adanya suatu badan pembiayaan EBT yang sumber dananya dari suatu pungutan kenaikan harga komoditi mineral di pasar global dan pungutan pada konsep trading karbon.
“Hal tersebut seperti mengadopsi pola BPDPKS. Dana pungutan tersebut dapat diperuntukkan bagi pemberian insentif kepada badan usaha yang dibayarkan oleh badan pungutan tersebut kepada PLN dalam menggunakan power wheeling untuk kurun waktu tertentu,” usul Iwan.
Iwan meyakini, kepastian hukum akan merangsang dunia investasi EBT secara positif dimana pelaku usaha pada tahun-tahun ke depan akan dikenakan pajak karbon oleh pemerintah.
“Maka mau tidak mau pelaku usaha akan melakukan percepatan transisi energi untuk mencukupi kebutuhan energinya,” Iwan menutup.
Advertisement