Sukses

HEADLINE: BPOM Pidanakan Produsen Farmasi Biang Kerok Gagal Ginjal Akut, Sudah Cukup untuk Tebus Dosa?

Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak memasuki babak baru. Melalui Bareskrim Polri serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), disebut sejumlah produsen farmasi yang diduga melakukan tindakan pidana.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak memasuki babak baru. Melalui Bareskrim Polri serta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), telah menyebut sejumlah produsen farmasi yang diduga melakukan tindakan pidana.

Sejauh ini belum ada penetapan tersangka, hanya ada dua produsen farmasi yang akan dipidanakan oleh BPOM. Yaitu PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical.

Dua perusahaan tersebut adalah yang diduga mengedarkan obat yang menggunakan bahan baku Propilen Glikol tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) melebihi ambang batas.

Selain itu, Bareskrim Polri segera melakukan gelar perkara terkait kasus gagal ginjal akut pada anak-anak. Polri pun telah memerintahkan seluruh Polda untuk mengambil sampel darah, urine, dan obat yang dikonsumsi korban gagal ginjal akut.

Dirtipidter Bareskrim Polri Brigjen Pipit Rismanto menegaskan, bila ada kesalahan produksi maka korporasi yang harus bertanggung jawab. Namun, apabila ada tindakan perorangan, maka individu tersebut yang harus bertanggung jawab.

Polri tidak hanya menelusuri soal unsur kesengajaan dan kelalaian dalam produksi obat. Akan dikembangkan kepada masalah distribusi bahan baku. Selain itu, dua perusahaan farmasi tersebut melakukan perubahan bahan baku.

Tak hanya itu, BPOM baru menghentikan produksi obat dari kedua perusahaan itu, serta memberikan sanksi administratif. Baik PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries dituding sebagai pihak hang bertanggung jawab atas cemaran etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) serta etilen glikol butil ether (EGBE) yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak.

Diklaimnya, dengan menarik peredaran obat mengandung cemaran kimia penyebab gagal ginjal akut serta menghentikan produksinya, sebagai langkah cepat mencegah semakin banyaknya anak-anak yang mengonsumsi obat sirop berbahaya itu.

Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing melihat hal biasa saja. Jika memang ada yang melanggar aturan, diberi sanksi administrasi dan kalau ada indikasi pidana bisa dilaporkan.

Justru menurutnya, yang harus dilakukan ini adalah dengan melakukan penelitian terhadap seluruh obat yang beredar. "Kemungkinan yang belum diuji, bisa saja mengandung ( EG, DEG, dan EGBE)," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (1/11/2022).

Karena itu, David meminta BPOM harus maksimal melakukan penelitian. Jangan hanya menyebutkan berdasarkan data registrasi obat saja ini tak mengandung, tapi harus diuji juga.

"Dia (BPOM) harus memeriksa semua obat yang beredar, yang pernah dia kasih izin edarnya. Jadi enggak cukup hanya random, enggak cukup hanya sebagian saja," ungkapnya.

David juga menilai, BPOM sebagai pengawas dan pemberi izin edar harus juga bertanggung jawab secara institusi. Pasalnya, dengan adanya kasus gagal ginjal akut ini, BPOM telah kecolongan.

"Kecolongan karena dia tak melakukan pengawasan pre-market dan post-market. Terbukti pre-market itu mereka hanya pasif menerima begitu saja data-data yang diberikan oleh produsen tanpa melakukan lagi pengujian," jelasnya.

"Setelah beredar obatnya juga tidak dilakukan post-market, inspeksi," sambung David.

Karena itu, sebagai bentuk pertanggung jawab lembaga tersebut, ada baiknya Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito diminta mengundurkan diri dari jabatannya.

"Sekarang ini sudah sangat masif urusannya dan menyangkut korban jiwa. Tentunya Kepala BPOM harus mundur. Dan bukan hanya Kepala BPOM, siapa yang di sana bertanggung jawab terhadap pengujian juga harus mundur atau pengawasan market harus mundur dan langsung harus dibuatkan SOP baru memang bisa menjamin peredaran obat," kata David.

Dia juga mengusulkan, dalam pengujian obat yang beredar harus dilakukan serentak dengan memanfaatkan sumber daya manusia serta lab yang ada. Hal ini mencegah masyarakat mengonsumsi obat yang belum diuji.

"Jangan satu-satu. Hari ini, hari ini. Kayak enggak punya teknologi yang canggih aja. Jadi kalau sekarang diombang-ambingkan masyarakat," kata David.

Dari sisi politis, memang sudah seharusnya BPOM bertanggung jawab. Pengamat politik Emrus Sihombing melihat, dengan adanya kasus gagal ginjal akut ini menandakan bahwa BPOM telah gagal melakukan pengawasan.

"BPOM telah gagal melakukan pengawasan pre-market dan post-market atau sebelum dan sesudah obat-obatan itu berada di pasar," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (1/11/2022).

Padahal sudah jelas dalam Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 huruf d Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan, diatur bahwa itu semua tanggung jawab dari BPOM.

Adapun bunyinya: Pasal 2 ayat 1 yakni; BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan Pasal 3 huruf d adalah menjelaskan fungsi BPOM yaitu yang berbunyi; Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar.

Karena itu, Menurut Emrus, Kepala BPOM Penny, adalah orang yang harus bertanggung jawab terhadap masalah ini.

"Menurut hemat saya, orang yang paling tepat bertanggungjawab atas segala sesuatu terkait peredaran obat sirup yang diduga menjadi penyebab kasus gagal ginjal akut pada anak," kata dia.

Dia menegaskan, kejadian gagal ginjal akut ini memang memilukan bagi keluarga Indoneisa. Tak terbayang bagaimana orang tua harus menghadapi masalah ini.

"Oleh sebab itu, hanya Kepala BPOM-lah sebagai orang pertama dan sekaligus representasi pemerintah yang paling bertanggung jawab atas pengawasan obat dan makanan," tukas Emrus.

Tak Pegang Kendali

Beberapa obat sirup mengandung senyawa kimia etilen glikol (EG) yang melebihi ambang batas aman beberapa waktu lalu ada di pasaran. Diduga kehadiran cemaran yang melebihi ambang batas itu yang menyebabkan gagal ginjal akut atau acute kidney injury (AKI) pada ratusan anak. 

Beberapa pihak pun mengatakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) lalai dalam memastikan keamanan obat. Anggapan ini pun disanggah oleh Kepala BPOM Penny K. Lukito.

Penny mengatakan pihak BPOM sudah menjalankan tugas sebaik-baiknya. Sebelum memberikan izin pada produk obat, BPOM terlibat dalam proses penelitian dan mendampingi para peneliti. Pendampingan dilakukan untuk memastikan apakah hasil penelitiannya bisa dihilirisasi menjadi produk atau tidak.

“Saat penelitian Badan POM terlibat mendampingi para peneliti untuk memastikan nanti hasil penelitian bisa dikembangkan dan dihilirasi menjadi produk. Industri farmasi belum bisa melakukan proses produksi sebelum dapat surat izin,” ujar Penny dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 28 Oktober 2022

Ia mengumpamakan bahwa ini sama halnya dengan mengemudi. Seseorang tidak diperbolehkan mengemudi sebelum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM).

“Kalau dia (industri) belum dapat CPOB (cara pembuatan obat yang baik) maka dicermati oleh Badan POM dulu. Kalau sudah dapat CPOB maka tanggung jawab sudah ada di industri bukan lagi di Badan POM.”

“Maka untuk perkara ini jangan ke Badan POM, kita lihat lebih jauh lagi. Ini sudah diberikan CPOB maka tanggung jawab sudah Anda industri untuk memproduksi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan BPOM, nah mereka yang harus bertanggung jawab,” lanjut Penny.

Penny menjelaskan tugas Badan POM mengawasi, me-review, dan melakukan quality assurance dari proses-proses tersebut.

“Dan ada satu titik yang kita temui terkait perkara ini, kandungan EG dan DEG ini masuk dari bahan baku yang bukan kendali Badan POM. Bukan Badan POM yang enggak mau mengendalikan, bukan. Aturan yang ada sekarang (bahan baku) masuk melalui sistem yang bukan melalui SKI (surat keterangan impor) BPOM.”

“Padahal, harusnya melalui SKI Badan POM karena dia digunakan untuk obat,” katanya.

Bahan baku obat harus memenuhi standar pharmaceutical grade. Sedangkan, banyak bahan pembantu pelarut atau kosolven seperti polietilen glikol yang hanya berupa bahan kimia biasa seperti yang biasa digunakan industri cat dan industri lainnya.

“Nah bisa jadi yang untuk industri cat masuk ke dalam industri farmasi dan tidak sesuai pharmaceutical grade. Karena tidak dalam kendali Badan POM, bukan karena Badan POM tidak mengendalikan," klaim dia.

2 dari 3 halaman

Beri Klarifikasi

Dow Chemical Thailand buka suara usai Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) menyebut pihaknya merupakan sumber produksi bahan baku PT Yarindo Farmatama.

Dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (1/11/2022), setelah memperoleh informasi dari BPOM, Dow segera mengambil tindakan untuk bekerja sama dengan BPOM dan memberikan semua data dan informasi kepada BPOM.

Selain itu, Dow juga melakukan penyelidikan internal secara menyeluruh dan kami tidak menemukan nama perusahaan yang disebutkan oleh BPOM dalam daftar pelanggan kami.

"Kami dapat memastikan bahwa Propilen Glikol (PG USP) yang dipasok oleh Dow dalam bentuk tersegel tidak mengandung EG dan DEG. Hasil analisis secara rinci dan dokumen-dokumen terkait yang diminta telah kami serahkan kepada BPOM. Kami berkomitmen untuk sepenuhnya mendukung dan bekerja sama dengan BPOM, serta siap untuk melakukan semua tes yang dibutuhkan terhadap produk-produk kami," kata Riswan Sipayung, Presiden Direktur Dow Indonesia dalam keterangannya.

Dow senantiasa mematuhi semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dimanapun beroperasi, termasuk Indonesia, dan mendukung upaya pemerintah untuk menjaga keselamatan dan kesehatan masyarakat.

"Dow sebagai perusahaan materials science juga memiliki komitmen untuk selalu menjaga kualitas dan memastikan keamanan produk kami. Oleh karena itu, produk-produk kami digunakan di seluruh dunia karena telah dipastikan kualitas dan kepatuhannya untuk formulasi obat, dan telah melewati serangkaian tes untuk memenuhi persyaratan peraturan yang berlaku," jelas Sipayung.

Sementara, Perusahaan farmasi PT Yarindo Farmatama membantah produk obat sirupnya tercemar Etilen Glikol (EG).

Perusahaan farmasi yang memproduksi obat sirup Flurin ini dikenai sanksi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia terkait adanya cemaran EG yang berujung pada kasus gagal ginjal akut.

Manajer Yarindo Farmatama, Vitalis Jebarus justru mengaku bingung atas temuan BPOM RI yang menyebut-nyebut pihaknya menggunakan bahan baku Propilen Glikol (PG) yang menghasilkan kadar EG melampaui ambang batas aman pada produk obat sirup yang dipasarkan.

Propilen Glikol merupakan salah satu eksipien yang sering digunakan dalam sediaan likuid. Propilen glikol banyak digunakan sebagai pelarut dan pembawa khususnya untuk zat-zat yang yang tidak stabil atau tidak dapat larut dalam air. 

Di Indonesia, Propilen Glikol digunakan dalam berbagai sektor industri seperti industri makanan, industi kosmetik, dan industri cat. Selain itu, dalam industri farmasi sendiri, propilen glikol digunakan untuk formula obat terutama pada sediaan likuid.

"Saya juga bingung. Saya dikasih oleh Kementerian Kesehatan soal daftar 102 obat yang dikeluarkan tercemar Etilen Glikol dari obat Flurin. Kami tidak pernah membeli bahan yang namanya etilen (produk tercemar etilen)," terang Vitalis usai konferensi pers 'Hasil Penindakan Industri Farmasi yang Memproduksi Sirup Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat atau Kemanfaatan, dan Mutu' di PT Yarindo Farmatama, Serang, Banten pada Senin 31 Oktober 2022.

Sanksi administrasi yang diganjar oleh BPOM ke PT Yarindo berupa penghentian distribusi, produksi, penarikan kembali serta pemusnahan produk obat. Selain itu, ada juga aspek pemidanaannya.

3 dari 3 halaman

Jadikan Pelajaran

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo memandang dipidanakannya dua produsen farmasi tersebut tidaklah cukup. Karena menurutnya ada pihak yang harus bertanggung jawab.

Karena itu, dia sepakat perlu dibentuk tim khusus. Dan langkah cepat pihak kepolisian bersama BPOM ini harus benar dikawal.

"Saya kira ini sudah menjadi atensi publik, harus dibuka terang benderang, tidak ada yang ditutup-tutupi. Terus bagaimana ini bisa terjadi, apakah ada unsur kesengajaan, ketidaksengajaan, atau keteledoran itu harus diserahkan Polri maupun BPOM," kata Rahmad kepada Liputan6.com, Selasa (1/11/2022).

Sebenarnya, kandungan obat tersebut sudah memakan korban di berbagai negara. Menurut Politikus PDIP ini menyebut di India saja, sudah dua tahun lalu memakan korban, dan itu tidak sekali.

"Kemudian juga di Amerika Latin juga menjadi salah satu penyebab terhadap meninggal beberapa anak di negara-negara tersebut," jelas Rahmad.

Bahkan, lanjut dia, BPOM sudah menyebut di awal memang tak melakukan uji khusus terhadap kandungan EG, DEG, dan EGBE. Dan menurutnya inilah pelajaran penting lembaga tersebut.

"Dengan kasus seperti ini saya kira, bahan baku obat yang didatangkan dari luar negeri yang kemungkinan potensial ada cemaran yang potensial ada kandungan bahaya, BPOM harus dilibatkan, kelak ke depannya," kata Rahmad.

Menurutnya, ini salah satu langkah yang bisa diambil agar ke depan tak terjadi lagi hal-hal yang tak diinginkan, terlebih kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak-anak ini.