Liputan6.com, Jakarta - Survei SMRC mencatat elektabilitas sejumlah partai, salah satunya Golkar, masih jauh di bawah hasil Pemilu 2019. Golkar hanya mengantongi elektabilitas 8,5 persen di bawah PDIP dan Gerindra.
Menanggapi hasil survei ini, politikus Partai Golkar Melkiades Laka Lena mengatakan, mesin Golkar sebetulnya sudah bergerak sejak 2019. Penanganan Covid-19 ini menjadi ajang kerja Golkar dan konsolidasi mesin serta figur partai.
Baca Juga
"Mesin Golkar terus bergerak dinamis sejak 2019. Penanganan covid menjadi ajang kerja dan bakti Golkar juga media konsolidasi mesin dan figur partai untuk berkarya melayani masyarakat dalam berbagai bidang dan peran yang diemban baik eksekutif, legislatif maupun peran fungsionaris dalam berbagai karya kemasyarakatan di pusat dan daerah," ujar Melki, Selasa 1 November 2022.
Advertisement
Golkar menyadari pentingnya konsolidasi dan figur handal. Salah satunya yang disiapkan adalah Ketua Umum Airlangga Hartarto. Ini menjadi modal Golkar untuk Pemilu selanjutnya.
"Partai Golkar sebagai perpaduan partai yang berbasis sistem yang kuat dan figur yang handal terus lakukan konsolidasi organisasi untuk menjawab tantangan masyarakat. Pak Airlangga dan jajaran DPP PG, juga pengurus partai di daerah sampai tingkat desa kelurahan terus bergerak dayagunakan semua potensi Partai Golkar terus membantu masyarakat," ujar Melki.
Â
Golkar Dinilai Belum Menonjolkan Capresnya
Sementara itu, penurunan elektabilitas Golkar dinilai karena belum menonjolkan calon presiden untuk Pilpres 2024. Golkar dinilai berkutat pada pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PPP dan PAN yang belum juga deklarasi calon presiden.Â
Maka Golkar dan KIB kalah dengan partai lain yang bisa menarik popularitas karena solid mendorong nama calon presiden. Setidaknya ada nama bakal calon presiden yang konsisten populer di publik.
"Misalnya Ganjar yang lekat dengan PDIP, Anies dengan Nasdem, AHY dengan Demokrat. Hal ini menjadikan Golkar tak lagi jadi pusat perhatian publik, sehingga mempengaruhi popularitas partai," papar Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Aisah Putri Budiatri.
Puput menilai ada faktor konteks yang lebih luas yakni usai Pemilu 2019. Pertama, Golkar cenderung tidak menunjukkan sikap bersama kebijakan-kebijakan pro-publik. Posisinya sebagai bagian dari koalisi pemerintah di satu sisi membuat Golkar menjadi lebih terkontrol dalam merespon persoalan publik dan tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah, bahkan termasuk yang kontroversial di kalangan publik.
"Misalnya pada isu omnibus law, Golkar menjadi salah satu yang paling vokal mendukungnya meski menjadi kontroversi di ruang publik," jelas Puput.
Kedua, menurutnya, sosok elite Golkar yang berada di pemerintah dan parlemen tampak belum berhasil menonjolkan program unggulan mereka yang pro-publik.
"Kebanyakan pemberitaan terkait dengan elite-elite Golkar ada pada respons mereka terhadap kebijakan pemerintah atau terkait koalisi menuju pilpres, tetapi bukan prestasi mereka dalam posisi jabatan publik masing-masing elite. Kalaupun mungkin ada, nampak tidak menonjol dan tenggelam dalam diskusi publik," jelas Puput.
Â
Advertisement
Survei SMRC
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis hasil survei soal dukungan pada partai-partai politik. Direktur Riset SMRC Deni Irvani menjelaskan, dari hasil survei yang dilakukannya pada 3-9 Oktober 2022 ini, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang surplus suara pemilih dibanding hasil pemilu 2019.
"Mayoritas partai lain masih mendapat dukungan di bawah hasil pemilu 2019," kata Deni melalui siaran pers diterima, Minggu (30/10/2022).
Deni menerangkan, hasil survei yang dipresentasikan menunjukkan dukungan pada PDIP mencapai 24 persen. Kemudian, pada posisi kedua, Partai Gerindra mendapat dukungan 13,4 persen. Sementara Golkar mendapatkan dukungan 8,5 persen.
"Selanjutnya PKB mendapat 7,1 persen; PKS 6,9 persen; Demokrat 5,5 persen; Nasdem 5,4 persen; dan PPP 3,3 persen dan partai-partai lain masih di bawah 3 persen. Meski begitu masih ada 19,3 persen responden yang belum menentukan pilihan," jelas dia.
Deni menghitung, jika dibanding hasil Pemilu 2019, dukungan kepada PDIP melompat naik dari 19.3 persen menjadi 24 persen. Sedangkan Gerindra naik dari 12,6 persen menjadi 13,4 persen. Sementara partai-partai besar lain cenderung menurun.
"Partai Golkar menurun dari 12,3 persen menjadi 8,5 persen; PKB dari 9,7 persen menjadi 7,1 persen; PKS dari 8,2 persen menjadi 6,9 persen; Demokrat dari 7,8 persen menjadi 5,5 persen; Nasdem dari 9,1 persen menjadi 5,4 persen; PPP dari 4,5 persen menjadi 3,3 persen; PAN dari 6,8 persen menjadi 1,2 persen; dan partai lain dari 9,7 persen menjadi 5,4 persen," kata Deni.
Sebagai informasi, responden survei ini berasal dari seluruh Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
Responden dipilih secara random (stratified multistage random sampling) 1.220 responden. Response rate sebesar 1.027 atau 84 persen. Margin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen(asumsi simple random sampling).
Â
Â
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com