Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Galdita A. Chulafak menyampaikan jika Kota Pekalongan mengalami laju penurunan muka tanah yang cukup tinggi, dibandingkan dengan DKI Jakarta yang berdampak akan potensinya terendam akibat efek banjir rob.
"Dari penelitian yang dilakukan oleh BRIN, Pekalongan mengalami laju penurunan tanah yang cukup tinggi bahkan melebihi Jakarta," ujar Galdita dalam webinar yang digelar Satya Bumi, Kamis (3/11/2022).
Belum lagi, lanjut Galdita, jika memasukkan parameter lain seperti pasang surut air laut, maka akan lebih banyak lagi lokasi yang akan tergenang, termasuk dengan Kota Pekalongan.
Advertisement
"Jika tidak ada langkah nyata yang dilakukan dalam menghadapi rob di Pekalongan, baik dari pemerintah maupun segenap elemen masyarakat, ujar dia, ancaman Pekalongan tenggelam di depan mata," sebut dia.
Galdita menyampaikan jika kondisi itu bisa terjadi akibat faktor manusia yang beraktivitas di wilayah tersebut baik membangun tambak dan rusaknya pelindung (barrier) alam yang melindungi daratan.
"Selain itu, data juga menunjukkan adanya rekayasa pesisir dimana terjadi perubahan muara sungai yang tadinya aliran tidak langsung mengarah ke laut karena terhalang barrier sedimen," sebutnya.
"Menjadi langsung ke laut dengan dibangunnya jetty dan dihilangkannya barrier alam, sebagaimana diduga oleh masyarakat sekitar menjadi penyebab utama terjadinya rob," tambah dia.
Kondisi ini menyebabkan kota yang masyhur dengan batik itu rawan terdampak rob. Dia menilai di kemudian hari, dampaknya diprediksi bisa jauh lebih besar jika tidak segera diatasi.
"Jika tidak ada action dalam menghadapi hal tersebut, tentu tidak dapat dipungkiri Pekalongan akan tenggelam," ujar dia.
Galdita memprediksi laju penurunan tanah bertambah atau berkurang tiap tahunnya. Jika mengambil rata-rata tengah laju penurunan tanah (6cm/tahun) di Pekalongan, hitungan tanpa parameter lain memungkinkan terjadinya penurunan muka tanah hingga 60 cm dalam 10 tahun ke depan.
"Padahal sebagian wilayah Kota Pekalongan sudah ada yang mempunyai elevasi di bawah 0 mdpl. Tinggal kita hitung perkiraan, misalnya elevasi tertinggi adalah 4 mdpl atau 400 cm di atas permukaan laut, dibagi enam, mungkin tenggelam seluruhnya sekitar 66 tahun lagi," ujar dia.
"Kalau memakai kemungkinan terburuk 11cm, ya semua wilayah yang elevasi kurang dari 1 meter kira-kira bakal tenggelam 9 tahun lagi jika tidak dilakukan pencegahan," lanjutnya.
Abrasi Air Laut
Dampak itu juga terlihat dari abrasi atau pengikisan pantai di wilayah pesisir Pekalongan. Secara khusus, bagaimana abrasi berdampak kepada penduduk sekitar pesisir, dengan berkurangnya kepala keluarga yang tinggal di wilayah Dusun Simonet di Kabupaten Pekalongan.
Perbandingan penginderaan jauh dari periode 2003 sampai dengan 2021 memperlihatkan berkurangnya wilayah pesisir akibat abrasi dan banjir rob yang terjadi di wilayah tersebut.
"Tadinya ada sekitar 40 KK namun sampai 2022 hampir semua warga di sana, kalau tidak salah tinggal satu KK, sudah direlokasi karena terjadinya banjir rob dan abrasi," kata Galdita
Pada kesempatan itu, Arif Ganda Purnama dari Mercy Corps mengemukakan bahwa risiko banjir dapat meningkat lima kali lipat dari sisi luasan dalam 15 tahun ke depan. Sementara itu hasil analisis dampak pada 41 kelurahan, kerugian per tahun mencapai Rp1,55 Triliun pada 2020 dan diprediksi meningkat 30 kali lipat menjadi Rp31,28 Triliun pada 2035.
"Untuk dapat menghindari skenario tersebut penanganan banjir slow-onset memerlukan transformasi tata kelola multi spektrum dengan visi bahwa banjir tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat," ujar dia.
Sementara, Kades Api-Api Kecamatan Wonokerto Kabupaten Pekalongan Qomarudin menyebut daerahnya termasuk yang kerap terkena rob.
"Saya terus menggali asa dan harapan Wonokerto di tengah-tengah derasnya laju air rob. Kita harus mengatasinya dengan aksi dan tindakan nyata," ujar dia.
Reporter: Bachtiarudi Alam
Sumber: Merdeka.com
Advertisement