Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Tim Advokasi Anti Perampasan Tanah Rakyat menyatakan prihatin dan menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap perkara Nomor 50/PUU-X/2012, terkait judicial review Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, pada Rabu 13 Februari 2013 kemarin.
Tim Advokasi menilai keputusan MK tersebut konvensional. Sebab tidak memperhatikan dan memasukkan keterangan ahli yang telah diajukan pemohon. Karenanya, ia menilai hal ini merupakan preseden buruk yang berujung pada perampasan tanah rakyat.
"MK tidak jeli dalam membaca keseluruhan gugatan. Ini preseden buruk bagi perkembangan hukum dan kewibawaan MK ke depan, serta melanggengkan perampasan tanah rakyat," kata Ketua Eksekutif Indonesia Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (14/2/2013).
Dijelaskan dia, Tim Advokasi menilai, terdapat ketidaksesuaian antara judul dan isi UU 2/2012. Berdasarkan UU, pengadaan tanah seharusnya bersifat sukarela. Namun ternyata, isi UU tersebut berupa seperangkat kewajiban pelepasan tanah oleh warga negara.
"Tidak jelasnya perintah Pasal 9 terkait pentingnya memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan masyarakat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum," ujar Gunawan.
Advertisement
Dia juga menilai, dalam Pasal 10 UU tersebut, ada klasifikasi jalan tol dan pelabuhan (peti kemas dan pariwisata) ke dalam kategori pembangunan untuk kepentingan umum. Padahal, kata dia, jalan tol itu tidak termasuk fasilitas kepentingan umum. "Karena sifatnya ekslusif dan terbatas," ucap dia.
Kemudian Pasal 14, lanjut Gunawan, juga jelas sekali membatasi hak partisipasi warga masyarakat, khususnya warga setempat dan warga terdampak dari pembangunan sejak tahapan perencanaannya.
"Semuanya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 25 A, Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 G ayat (1), Pasal 28 H ayat (1) dan ayat (4) serta Pasal 33 ayat (3) UUD 1954," papar Gunawan.
Perampasan
Manager Advokasi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Martin Candrawinata menilai, putusan MK ini sama halnya dengan melegalisasikan negara demi ekspansi modal untuk merampas tanah rakyat.
"Kami sangat menyesalkan putusan MK ini. Ini sama saja melegalisasikan negara untuk merampas tanah rakyat," ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Wahidah Rustan selaku Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Menurutnya, putusan MK sama sekali tidak melihat secara komprehensif terhadap uji materi UU Pengadaan Tanah ini. Karena di lapangan, tidak sedikit rakyat kecil yang dirugikan, bahkan menerima penganiyaan dari aparat.
"Persoalan ini tidak mementingkan apa yang biasa dialami rakyat. Hanya mengutamakan kepentingan pemodal. Seperti yang terjadi di Pantai Batu Gong, Sumbawa baru-baru ini, rakyat kecil harus berhadapan dengan aparat karena lahan mereka digusur tanpa ganti-rugi," ujarnya mencontohkan.
Tak jauh beda dengan Koordinator Serikat Petani Indonesia, Hendri Saragih. Ia mengatakan seharusnya semangat konstitusi dilihat dengan keadaan sekarang. Masyarakat pedesaan saat ini hanya mengusai tanah 0,3 persen di seluruh tanah air, dan lambat taun semakin menurun kepemilikanya.
"MK melihat ini hanya prosedural saja dari pengadaan tanah. Tidak melihat semangat spirit konstiusi dulu dibuat. Ini letak kelemahanya.Contoh lain, hilangnya lahan-lahan penggembalaan rakyat karena lahan sudah dikuasi pemodal. Jadi lahan penggembalaan tidak dilihat sebagai kepentingan umum," contohnya.
Oleh karena itu, mereka berharap putusan MK tersebut sebagai persiapan advokasi masif terhadap penggusuran dan politisasi agraria yang mendorong agar Pemerintah sadar akan kewajiban yang dimandatkan rakyat, UUD 1945, UUPA 1960 dan UU Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam rangka melaksanakan agenda pembaharuan agraria sejati. (Riz)