Liputan6.com, Jakarta Tanah tertimur Indonesia kini resmi menyandang status darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Status ini tentu saja tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi di Papua belakangan ini, yang mirisnya, sang pelaku acapkali merupakan orang orang terdekat korban.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Merauke, ayah kandung menghamili anaknya sendiri. Bahkan, sang anak sudah melahirkan sebanyak dua kali. Kasus ini diketahui setelah ibu angkat korban melaporkan kejadian ini di Polsek Kurik pada awal Januari lalu. Selain itu, pada kasus lainnya, seorang oknum prajurit TNI Yonif 757/Ghupta Vira Merauke berinisial Prada HT diduga melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan di Merauke pada awal Januari lalu.
Baca Juga
Tak hanya di Merauke, kasus tindak pidana asusila di Kabupaten Mimika naik tajam sejak akhir Tahun 2021 lalu hingga dua bulan di awal Tahun 2022, terutama yang menimpa anak-anak sebagai korbannya. Akibat meningginya angka tindak pidana pencabulan ini, pihak kepolisian hampir setiap minggunya menerima laporan pelecehan seksual dari warga.
Advertisement
“Hampir tiap minggu ini kita menerima laporan maupun mengungkap kasus pelecehan anak dibawah umur,” papar Kasatreskrim Polres Mimika, Iptu Berthu Haridika Eka Anwar.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengatakan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak di Papua dalam kurun waktu 2019 sampai dengan 2022 terus meningkat. Kebanyakan kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh orang-orang terdekat korban lantaran tidak ada kesadaran dari para pelaku bahwa anak-anak perlu dilindungi karena mereka adalah generasi bangsa.
Menurut catatan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Provinsi Papua Barat dan Polda Papua Barat ada lebih kurang 400.000 anak berusia dibawah 18 tahun yang memerlukan perlindungan khusus. Dari jumlah itu, kondisinya cukup masih cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil dari Diskusi Perlindungan Anak dan Permasalahannya yang diselenggarakan Komnas Perlindungan Anak dan Polda Papua Barat di Mapolda Papua Barat Kamis, 28 April lalu, ditemukan ada banyak anak dieksploitasi sebagai pekerja di berbagai tambang-tambang di Manokwari.
Terdapat juga fakta dilapangan bahwa terdapat berbagai laporan sejumlah anak terpaksa tinggal dan dieksploitasi di rumah bordir di Manokwari sebagai pekerja seksual komersial. Ada banyak juga anak-anak dinikahkan pada usia dini, demikian juga ada banyak anak dalam stunting, kurang gizi dan terhambat pertumbuhannya.
Dalam waktu 5 hari kunjungan kerja di Kabupaten dan kota Sorong dan Manokwari 25-29 April 2022 oleh Komnas Perlindungan Anak, ada banyak warga masyarakat dan para pekerja media di 2 tempat ini melaporkan sejumlah fakta derita anak dan perempuan yang penanganannya sangat lemah menurut Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait melalui rilis tertulis pada 30 April silam.
Selain itu, penyelesaian kasus kasus kekerasan seksual ini banyak mengalami kesulitan, terutama dalam memutus mata rantai pelanggaran hak anak, terutama dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah penyelesaiannya yang melalui jalan damai dan adat yang difasilitasi tokoh adat bahkan institusi agama, sehingga banyak kasus diselesaikan tidak berpihak pada korban. Faktor inilah yang menyebabkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Papua masih sangat lemah.
Tentu saja, Komnas Perlindungan Anak tak tinggal diam melihat fakta lapangan yang terjadi di Tanah Papua. Dalam diskusi tersebut, Komnas Perlindungan Anak memaparkan apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kasus kasus ini.
Pertama, yang perlu dilakukan dengan segera oleh perempuan dengan para kepala suku dan tokoh adat serta pimpinan sinodal gereja, pejabat pemerintah pengambil keputusan, pegiat perlindungan anak dan perempuan aparat penegak hukum yang dikoordinir Polda, Kejaksaan Agung dan Pengadilan adalah menyamakan visi dan misi yang sama dalam penanganan kasus kekerasan khususnya kekerasan seksual anak di tanah Papua.
Kedua, perlunya membangun gerakan perlindungan Anak berbasis keluarga dan kampung dan memanfaatkan Kampung Tangguh yang telah dibangun pemerintah dan Polda Papua, dengan melibatkan Babinkamtibnas, Karang Taruna dan aktivis gereja dan peduli anak.
Selain itu, pemerintah daerah juga harus menyediakan anggaran Perlindungan Anak dan perempuan yang cukup dengan program dan kegiatan berbasis desa dan kampung khususnya penguatan organisasi di pedesaan. Terakhir, untuk memutus mata rantai pelanggaran hak anak perlu segera dibentuk Forum anak di setiap desa dan kampung sebagai pelopor dan pelapor.
(*)