Liputan6.com, Jakarta Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE) Anton Aliabbas menyebut sejak Jokowi menjadi Presiden RI belum memberikan kesempatan kepada kepala staf angkatan laut (kasal) menjadi Panglima TNI.
Maka dari itu, menurut Anton jika Jokowi mempertimbangkan penguatan implementasi visi poros maritim dunia maka pilihan mengajukan Kasal Laksamana Yudo Margono memiliki pertimbangan kuat dan berdasar.
Baca Juga
Apalagi, menurut Anton, merujuk pada Pasal 13 ayat 3 UU No 34/2004 tentang TNI, posisi Panglima TNI dapat dijabat secara bergantian.
Advertisement
"Tentu saja, memperhatikan moril para prajurit terutama dari TNI AL semakin cukup beralasan mengingat hanya Kasal yang belum mendapat giliran memegang posisi Panglima TNI sejak Jokowi menjabat pada 2014," ujar Anton dalam keterangannya, Selasa (22/11/2022).
Menurut Anton, rotasi bergilir sejak era reformasi untuk pos Panglima TNI itu didasari semangat kesetaraan antar matra. Hal ini didasari pada pengalaman di era Orde Baru, hanya elit satu matra saja yang menjabat Panglima Angkatan Bersenjata.
"Dengan demikian, jika semua matra mendapat giliran menjabat posisi Panglima TNI tentu sedikit banyak akan menunjukkan rasa kesetaraan tersebut," kata dia.
Namun demikian, menurut dia, hingga kini Jokowi belum memutuskan siapa sosok yang akan dimajukan ke DPR sebagai kandidat Panglima TNI mendatang. Dia menyebut, baik Kasad Jenderal Dudung Abdurrahman, Kasau Marsekal Fadjar Prasetyo, maupun Kasal Laksamana Yudo Margono sama-sama memiliki kans kuat.
"Sebab, untuk menjadi kandidat Panglima TNI harus pernah menjabat posisi kepala staf. Dari tiga kepala staf yang ada juga tidak ada satu pun yang pernah bertugas di 'lingkaran' Jokowi seperti ajudan, paspampres, sekretaris militer atau pun berdinas di Solo saat Jokowi masih menjadi wali kota," kata dia.
Namun, dari sisi pengalaman manajerial dan penugasan, menurut dia tiga kepala staf yang ada sudah memenuhi kualifikasi tersebut. Karena itu, faktor kepercayaan dan kenyamanan tetap akan menjadi alasan terkuat Jokowi memilih siapa yang akan menjadi Panglima TNI berikutnya.Â
"Dengan kata lain, pengalaman atau rekam jejak sebelum jadi kepala staf, apakah pernah tercatat memberi impresi dalam penyelesaian atau pelaksanaan isu yang menjadi concern presiden atau tidak, dapat menjadi penentu," kata dia.
Meski demikian, jika mengacu pada rekam jejak sebelum menjabat kepala staf, maka Kasad mempunyai modal yang signifikan. Dia menyebut Jenderal Dudung saat menjadi Pangdam Jaya pernah dianggap sukses dalam mengelola dinamika keamanan ibu kota seperti menertibkan baliho FPI.
"Dan kesuksesan ini tentu saja dapat mempunyai nilai tersendiri dan memberi cukup impresi pada Jokowi," kata Anton.
Penunjukkan Panglima Tak Harus Bergilir
Sementara, cerita sukses rekam jejak Laksamana Yudo dan Marsekal Fadjar sebelum menjabat posisi kepala staf dalam menjalankan isu spesifik, juga berhasil menarik perhatian Jokowi belum terelaborasi dan terkapitalisasi secara maksimal di ruang publik.
Jika Laksamana Yudo misalnya dulu pernah merasa sukses menjalankan tugas spesifik yang berkaitan dengan pengamanan Tol Laut maka ada baiknya cerita sukses itu dikapitalisasi. Hal serupa juga berlaku untuk Marsekal Fadjar.
"Dengan demikian, publik termasuk Presiden Jokowi punya rekaman untuk mengingat dan aware dengan cerita sukses tersebut," kata dia.
Dia menyebut, undang-undang tidak secara eksplisit mengharuskan presiden menunjuk Panglima TNI secara bergiliran. Maka implikasi pilihan tersebut terhadap kinerja presiden secara umum menjadi ada dua ruang penafsiran.
"Ada yang dapat menganggap Jokowi tidak patuh terhadap UU, tetapi juga ada yang akan menganggap Presiden tidak melanggar ketentuan. Dalam konteks ini, siapapun Panglima TNI-nya, dia memang tetap harus melakukan konsolidasi internal dan fokus menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan dalam UU TNI," kata dia.
Apalagi, kata dia, tahun 2023 merupakan tahun politik. Karena itu, soliditas dan konsolidasi yang dilakukan Panglima TNI menjadi penting. Akan tetapi, sudah semestinya memang pemerintah tidak menarik, mewacanakan, ataupun juga menugaskan TNI untuk ikut mengurusi hiruk pikuk politik nasional.
"Gangguan keamanan untuk urusan politik hendaknya hanya dan cukup melibatkan Polri dan intelijen saja, tanpa perlu melakukan sekuritisasi dengan melibatkan TNI. TNI tetap harus dijaga fokusnya untuk menjaga negara dari ancaman musuh yang datang dari luar," dia menandaskan.
Advertisement