Liputan6.com, Jakarta - Mantan Komite Pengarah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Sutedjo Halim, menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya di Pengadilan Tipikor, Selasa (28/11/2022).
Sutedjo Halim menyebut, kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng jadi salah satu penyebab kelangkaan di pasaran. Awalnya, dia mengakui ada distorsi harga antara nilai keekonomian dengan HET minyak goreng.
Baca Juga
Menurut dia, ada selisih yang cukup tinggi antara harga produksi minyak goreng dengan HET di pasaran.
Advertisement
"Betul bisa jadi karena ada selisih harga yang cukup tinggi antara harga keekonomian dengan harga di market," kata Sutedjo saat bersaksi di persidangan Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (28/11/2022).
Sutedjo pun mengamini bahwa HET menjadi salah satu penyebab kelangkaan minyak goreng, bukan karena ekspor yang berlebihan.
"Betul. Ada beberapa daerah yang memang menjadi kekurangan atau kelangkaan minyak goreng, adanya serbuan masyarakat karena berpikir minyak goreng makin langka makin sulit," kata dia.
Selain itu, menurut Sutedjo, naiknya harga minyak sawit mentah di dunia serta proses distribusi dan logistik yang bermasalah, jadi penyebab kelangkaan minyak goreng.
Dia juga mengungkapkan situasi global yakni perang antara Ukraina dan Rusia jadi penyebab kenaikan harga CPO yang berdampak pada kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng.
Situasi Global dan HET
Hal senada diungkapkan Kuasa Hukum Terdakwa Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumagor, Juniver Girsang. Ia mengatakan keterangan saksi menguatkan bahwa kelangkaaan migor lantaran adanya situasi global hingga disparitas harga produksi dan HET.
"Yang kemudian tadi dijelaskan juga bahwa permasalahan lebih lanjut itu adalah penetapan harga eceran teringgi. Biaya produksi dengan biaya jual itu berbeda jauh," katanya.
Dia juga menggarisbawahi masalah distribusi minyak goreng di pasar. Pasalnya, kata dia minyak goreng yang dilempar ke pasar langsung hilang.
"Ketiga itu timbulah masalah pendistribusian. Pendistribusian itu produksi dilempar ke pasar langsung hilang, karena ada perbedaan harga ekonomi yang berbeda, yang tinggi. Ini mengakibatkan menjadi langka," katanya.
Sementara itu, Patra M Zen, anggota penasihat Hukum Terdakwa Master Parulian Tumanggor menyatakan, dakwaan Penuntut Umum terbukti keliru dan salah alamat.
"Terdakwa bukan orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas kelangkaan dan hilangnya minyak goreng di pasaran," tegas Patra.
Patra menjelaskan berdasarkan keterangan Saksi, justru pelaku usaha bergotong royong untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan jalan menyalurkannya ke distributor. Untuk itu Pemerintah berjanji untuk membayar selisih harga kepada para pelaku usaha, termasuk Wilmar Group.
"Ironisnya, hingga hari ini, para produsen belum mendapatkan pembayaran selisih harga HET dari BPDKS," pungkas Patra.
Advertisement
5 Terdakwa
Jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mendakwa lima terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) merugikan negara sejumlah Rp18.359.698.998.925 (Rp18,3 triliun).
Lima terdakwa dimaksud yakni ialah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor.
Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari Stanley MA, General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang, Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
"Yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp6.047.645.700.000 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp12.312.053.298.925," papar jaksa saat membacakan surat dakwaan di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (31/8/2022).