Liputan6.com, Pariaman: Warga Pariaman, Sumatra Barat, kembali menggelar Ritual Hoyak Tabuik, 10 Muharam 1423 Hijriah yang jatuh pada Kamis, pekan silam. Sejak pagi, ratusan ribu pengunjung dari berbagai kota di Sumbar telah memadati Pantai Gandoriah, tempat tabuik--peti berisi tanah--dilarung. Padahal, puncak acara yaitu melarung tabuik ke laut baru dilakukan saat Magrib.
Menjelang petang, dua tabuik yang diberi nama Pasa dan Subarang diarak menuju Pantai Gandoriah. Seluruh warga yang menyemut berusaha mendekati tabuik. Saat azan Magrib berkumandang, tabuik pun dilarung. Pada saat ini, sebagian berusaha mendapatkan bagian-bagian tabuik karena menganggap bisa membawa keberuntungan. Sayangnya, tahun ini hanya tabuik Pasa yang dibuang ke lepas pantai. Sementara tabuik Subarang dibuang di sungai di tengah pasar. Kabarnya, pengangkat tabuik kesal karena tidak diberi makan siang.
Menurut Wali Kota Pariaman Firdaus Amin, pesta budaya tabuik digelar selama 10 hari mulai 1 Muharam. Ritual ini dilaksanakan untuk memperingati tewasnya cucu Nabi Muhammad S.A.W. Hasan dan Husen. Husen wafat dibunuh di Padang Karbala--sekarang wilayah Irak--saat melawan pasukan Raja Yajid, 61 H. Prosesi tabuik ini dimulai dengan pengambilan tanah saat Magrib di hari pertama. Ini melambangkan asal manusia dari tanah.
Tanah tadi kemudian diarak ratusan orang dan disimpan ke sebuah tempat berukuran 3x3 meter yang disebut daraga. Setelah itu tanah dibalut dengan kain putih dan diletakkan dalam peti. Peti itulah yang disebut tabuik. Konon, tabuik artinya peti pusaka peninggalan Nabi Musa A.S. yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Dalam perayaan peringatan wafatnya Husein bin Ali ini, tabuik melambangkan janji Muawiyah bin Abu Sofyan untuk menyerahkan kekhalifahan kepada musyawarah umat Islam. Namun janji itu ternyata dilanggar dengan mengangkat anaknya Jazid sebagai putera mahkota.
Firdaus menjelaskan, pesta budaya ini sudah dilaksanakan sejak 1831. Semula, acara ini bersifat ritual keagamaan. Namun, kini bergeser menjadi pesta budaya dan masuk kalender kegiatan pariwisata Sumbar. Kendati demikian, pesta ini masih mengandung pesan-pesan moral agama. Tabuik tidak hanya digelar di Pariaman. Tapi juga sejumlah daerah lain, seperti Bengkulu dan Banda Aceh, serta Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam.(ZAQ/Denni Risman)
Menjelang petang, dua tabuik yang diberi nama Pasa dan Subarang diarak menuju Pantai Gandoriah. Seluruh warga yang menyemut berusaha mendekati tabuik. Saat azan Magrib berkumandang, tabuik pun dilarung. Pada saat ini, sebagian berusaha mendapatkan bagian-bagian tabuik karena menganggap bisa membawa keberuntungan. Sayangnya, tahun ini hanya tabuik Pasa yang dibuang ke lepas pantai. Sementara tabuik Subarang dibuang di sungai di tengah pasar. Kabarnya, pengangkat tabuik kesal karena tidak diberi makan siang.
Menurut Wali Kota Pariaman Firdaus Amin, pesta budaya tabuik digelar selama 10 hari mulai 1 Muharam. Ritual ini dilaksanakan untuk memperingati tewasnya cucu Nabi Muhammad S.A.W. Hasan dan Husen. Husen wafat dibunuh di Padang Karbala--sekarang wilayah Irak--saat melawan pasukan Raja Yajid, 61 H. Prosesi tabuik ini dimulai dengan pengambilan tanah saat Magrib di hari pertama. Ini melambangkan asal manusia dari tanah.
Tanah tadi kemudian diarak ratusan orang dan disimpan ke sebuah tempat berukuran 3x3 meter yang disebut daraga. Setelah itu tanah dibalut dengan kain putih dan diletakkan dalam peti. Peti itulah yang disebut tabuik. Konon, tabuik artinya peti pusaka peninggalan Nabi Musa A.S. yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Dalam perayaan peringatan wafatnya Husein bin Ali ini, tabuik melambangkan janji Muawiyah bin Abu Sofyan untuk menyerahkan kekhalifahan kepada musyawarah umat Islam. Namun janji itu ternyata dilanggar dengan mengangkat anaknya Jazid sebagai putera mahkota.
Firdaus menjelaskan, pesta budaya ini sudah dilaksanakan sejak 1831. Semula, acara ini bersifat ritual keagamaan. Namun, kini bergeser menjadi pesta budaya dan masuk kalender kegiatan pariwisata Sumbar. Kendati demikian, pesta ini masih mengandung pesan-pesan moral agama. Tabuik tidak hanya digelar di Pariaman. Tapi juga sejumlah daerah lain, seperti Bengkulu dan Banda Aceh, serta Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam.(ZAQ/Denni Risman)