Sukses

KPU Pelajari Putusan MK soal Larangan Eks Koruptor Nyaleg hingga 5 Tahun Usai Dipenjara

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif hingga lima tahun setelah keluar dari penjara.

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan, mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif hingga lima tahun setelah keluar dari penjara.

MK menilai 5 tahun itu akan menjadi waktu bagi mereka untuk beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk dalam hal ini calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. 

Menurut MK, para eks koruptor harus menjalankan persyaratan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati diri dan tidak menutupi latar belakangnya. Hal ini adalah rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih saat menentukan wakil rakyatnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari mengatakan KPU akan mempelajari putusan tersebut. Selain itu, KPU akan berkonsultasi putusan MK tersebut kepada Presiden dan DPR, khususnya Komisi II.

"Kami akan konsultasikan materi Putusan JR MK tsb kpd Pembentuk UU dalam hal ini Presiden dan DPR (Komisi 2 DPR)," kata Hasyim melalui pesan singkat soal larangan eks koruptor nyaleg, Kamis (1/12/2022).

Dia memastikan, terdapat sejumlah hal yang patut dikonsultasikan. Utamanya, apakah aturan tersebut hanya berlaku pada calon tertentu atau secara keseluruhan.

"Di antara hal yang perlu kami konsultasikan adalah pemberlakuan dalam PKPU apakah hanya untuk Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi/Kab/Kota, atau termasuk juga Calon Anggota DPD," jelas Hasyim.

Sebagai informasi, beleid yang digugat adalah Pasal 240 ayat 1 huruf g UU 7/2017 yang berbunyi: Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

 

2 dari 4 halaman

Perubahan

Pasal itu kemudian berubah menjadi:

(i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;

(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan

(iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang;

3 dari 4 halaman

Putusan MK

Dalam hal ini MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Leonardo Siahaan, warga Tambun Utara, Bekasi.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan pada Rabu (30/11/2022) di Jakarta.

Adapun putusan ini dimusyawaratkan oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai anggota.

Dalam putusannya, MK menyebut Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan masa menunggu jangka waktu lima tahun bagi narapidana kasus korupsi sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

"Ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan pula masa menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara yang berdasar pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota," bunyi putusan MK.

4 dari 4 halaman

Introspeksi

Menurut MK, jangka waktu tersebut dirasa cukup bagi para mantan terpidana kasus korupsi untuk instrospeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya.

MK menjelaskan, terkait frasa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan merupakan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.

"Oleh karena itu, pembedaan syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota bagi mantan terpidana tersebut dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara," kata MK.

Senada dengan hal ini, perbedaan secara faktual dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu sepanjang frasa 'kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana' sejatinya tidak lagi selaras dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.

“Oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” bunyi putusan.

Persyaratan atas adanya keharusan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya tersebut, menurut MK hal itu diperlukan hanya dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.

“Hal ini terpulang pula kepada rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak untuk memberikan suaranya kepada calon tersebut. Sementara itu untuk pengisian jabatan melalui pemilihan, pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya,” demikian bunyi putusan MK.