Liputan6.com, Jakarta DPR akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Selasa 6 Desember 2022, melalui rapat paripurna di Parlemen Senayan.
Namun, ada 17 pasal dalam RKUHP yang dinilai mengancam kerja jurnalis.
Oleh karena itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak DPR untuk menangguhkan pengesahannya dan memperbarui belasan pasal tersebut.
Advertisement
Ketua AJI Sasmito Mardim mengatakan, pihaknya bersama Dewan Pers telah mendiskusikan RKUHP bersama sejumlah pihak dan praktisi hukum. Tak hanya kelompok jurnalis yang menolak disahkannya RKUHP. Banyak lintas instansi penegak hukum yang menilai ada pasal-pasal yang multitafsir.
"AJI bersama Dewan Pers sudah menguji pasal-pasal yang baru dipublikasi oleh pemerintah dan DPR bulan lalu, itu kita uji ke aparat penegak hukum. Kita berdiskusi dengan aparat polisi, kita berdiskusi dengan jaksa, kita berdiskusi dengan Mahkamah Agung. Bahkan aparat hukum sendiri menilai pasal-pasal yang ada di RKUHP adalah pasal-pasal yang multitafsir yang akan menambah beban kerja aparat penegak hukum," ujar Sasmito saat berorasi di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Bandung, Senin, 5 Desember 2022.
Oleh karena itu, lanjut dia, AJI bersama kelompok sipil lainnya telah membuat solusi agar RKUHP tersebut tidak bermasalah. Sasmito menegaskan solusi itu telah dikirimkan kepada DPR dan pemerintah.
Namun, hingga sehari sebelum rencana hari pengesahan, belum ada informasi yang diterima dari DPR dan pemerintah soal nasib solusi RKUHP yang dilayangkan AJI bersama kelompok sipil.
"Pemerintah dan DPR dengan mulut manisnya mengatakan akan mengakomodir kelompok sipil, ini kembali tidak dilakukan. Hari ini AJI di 40 kota menggelar aksi serempak menuntut dua hal yakni 17 pasal yang akan mengganggu kerja jurnalis dan pemerintah serta DPR menunda pengesahannya pada 6 Deember besok," kata Sasmito.
Sepihak
Sasmito mengatakan pembahasan RKUHP ini, tidak pernah melibatkan partisipasi kepada publik. Sehingga tidak ada ruang publik untuk memberikan masukan atau pendapat.
Yang terjadi adalah RKUHP ini hanya dilakukan sosialisasi sepihak dari pemerintah dan DPR. Sasmito menyebutkan posisi rakyat hanya diminta mengikuti keinginan pemerintah dan DPR.
Aksi menolak 17 pasal bermasalah di RKUHP di Bandung, Jawa Barat dilakukan 17 menit diam dengan menyalakan suara sirine.
"Kami juga mengajak rekan jurnalis di Bandung dan Jawa Barat, termasuk kawan-kawan pers mahasiswa untuk menyuarakan penolakan serupa," ucap Anggota DIvisi Advokasi AJI Bandung, Dikdik Ripaldi.
Dikdik meyakini pengesahan RKUHP bermasalah ini akan berdampak buruk bagi kerja jurnalis nantinya.
Jurnalis yang bertanggung jawab menyuarakan kepentingan publik dan mengawasi kinerja penguasa, berpotensi dikekang dan bahkan dikriminalisasi.
Dikdik menerangkan aksi ini merupakan ketiga digelar di Bandung dalam beberapa bulan terakhir.
"Kami melakukannya bersama kawan - kawan jejaring di Kota Bandung dan Jawa Barat," sebut Dikdk
Advertisement
Bantahan Jubir Tim Sosialisasi RKUHP
Juru Bicara Tim Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Albert Aries, membantah ada pasal yang mengkriminalisasi kemerdekaan pers di dalam draft RKUHP. Hal itu menanggapi surat Dewan Pers kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pengesahan RKUHP ditunda.
"Menanggapi surat Dewan Pers tertanggal 17 November 2022 ke Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan RKUHP, kami tetap menghormati pandangan Dewan Pers tersebut, namun kami perlu menyampaikan klarifikasi bahwa tidak benar RKUHP menghalangi dan mengkriminalisasi kemerdekaan pers," ujar Albert Aries.
Menurutnya, beberapa pasal yang dianggap mengkriminalisasi kemerdekaan pers itu sudah ada sejak lama. Adapun pasal-pasal yang dimaksud antara lain, Tindak Pidana Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Penyerangan Harkat dan Martabat Diri Presiden, Penghasutan Untuk Melawan Penguasa Umum, Penyebarluasan Berita Bohong, Penghinaan Terhadap Lembaga, dan Pencemaran Nama Baik.
"Sudah ada sejak lama dan eksistensinya sudah melalui serangkaian pengujian (judicial review) di Mahkamah Konstitusi," ungkap Albert.
Ia menjelaskan bahwa RKUHP diciptakan tidak hanya ditujukan bagi kelompok pers atau jurnalis sebagai bagian dari demokrasi Pancasila. Melainkan ditujukan bagi setiap orang.
Apalagi, lanjutnya, ketentuan Pasal 3, 4, dan 8 Kode Etik Jurnalistik juga mengatur bahwa dalam melakukan pemberitaan, wartawan juga harus menerapkan praduga tak bersalah, tidak memuat berita bohong dan fitnah, serta menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi. "Jika yang dikhawatirkan oleh Dewan Pers adalah soal implementasi dan perilaku penegak hukum di awal sistem peradilan pidana, maka silahkan dicek kembali Putusan Mahkamah Agung yang begitu konsisten baik dalam perkara perdata maupun pidana," tegasnya.
"Misalnya dalam Bambang Harymurti, Kasus Teguh Santosa, dan Kasus Supratman, dimana Mahkamah Agung senantiasa mengedepankan UU Pers sebagai lex specialis dari KUHP, sepanjang mekanisme hak jawab.
Ia juga menegaskan bahwa masukan dari Dewan Pers kepada Tim Perumus RKUHP telah sedapat mungkin diakomodasi, misalnya dalam Penjelasan Pasal 218 RKUHP tentang Penyerangan Harkat dan Martabat Diri Presiden, bahwa yang dimaksud “dilakukan untuk kepentingan umum” sebagai alasan penghapus pidana. "Permintaan Dewan Pers untuk menunda pengesahan RKUHP sama saja menghendaki status quo dari kondisi penegakan hukum pidana yang kaku dan tidak berkeadilan," ucapnya.
"Ditambah lagi kondisi lembaga permasyarakatan yang sudah overcrowding karena diakibatkan tidak adanya keseimbangan antara asas legalitas dan keadilan yang ditawarkan oleh pembaruan RKUHP," kata Albert.
Ia juga menjelaskan bahwa pembaruan RKUHP menganut keadilan korektif, keadilan rehabilitatif dan keadilan restoratif, dan mengatur alternatif sanksi selain penjara (denda, pengawasan, & kerja sosial), serta tujuan dan pedoman pemidanaan (standart of sentencing) sebagai hukum pidana dan sistem pemidanaan modern yang menjadi kebutuhan Indonesia sebagai negara hukum yang berdaulat.
Jamin Kebebasan Berpendapat
Saat ini beredar narasi seolah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ini jika mengkritik Presiden, Wakil Presiden, Pemerintah atau Lembaga Negara maka langsung dipenjara, Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, memberikan penjelasan soal isu tersebut yang menurutnya tidak tepat dan perlu diluruskan (Sabtu, 27/11/2022).
Menurut Albert, Pasal 218 RKUHP tentang penyerangan harkat dan martabat diri Presiden/Wapres dan juga Pasal 240 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara, semuanya sudah diberikan uraian penjelasan yang lengkap untuk dapat membedakan mana yang termasuk kritik dan mana yang merupakan penghinaan (tindak pidana). Konstitusi kita telah menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, tetapi sama sekali tidak memperbolehkan menghina orang lain.
Lebih lanjut, uraian penjelasan dari Pasal 218 dan Pasal 240 RKUHP juga diadopsi dari Pasal 6 huruf d UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers, yaitu kritik dalam Pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
“Jadi kedua pasal ini sama sekali tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berdemokrasi, karena kritik yang disampaikan, termasuk dalam unjuk rasa/demonstrasi bukan merupakan tindak pidana, itulah wujud Demokratisasi dan Dekolonisasi yang diusung oleh RKUHP.“ tegas Albert.
Albert menjelaskan Pasal 218 RKUHP bukan untuk menghidupkan kembali Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden yang dianulir MK yang merupakan Delik Biasa, tetapi mengacu pada Pertimbangan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian Pasal 134 KUHP tentang Penghinaan Presiden (Hal. 60), dimana MK berpendapat Pasal 207 KUHPidana tentang Penghinaan Terhadap Kekuasaan Umum dapat digunakan Presiden/Wapres sebagai Delik Aduan, yaitu dalam hal penghinaan itu ditujukan ke Presiden/Wapres selaku pejabat (als ambtsdrager), sehingga tidak ada proses hukum tanpa pengaduan dari Presiden/Wapres, sekaligus menutup ruang bagi simpatisan untuk melapor.
Advertisement