Sukses

Soal Larangan Ekspor Nikel, Uni Eropa Harus Hormati Kebijakan Pemerintah Indonesia

Indonesia masih melakukan banding atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) tentang kebijakan pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor nikel yang disengketakan oleh Uni Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Duta Besar Uni Eropa, Vincent Piket, menyatakan dukungannya terhadap laju perekonomian Indonesia, namun sesuai dengan aturan hukum internasional. Pernyataan itu disampaikan, terkait hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel (nickle ore), dimana Indonesia diminta mematuhi aturan World Trade Organization (WTO) atau badan perdagangan dunia.

Menanggapi hal tersebut, pengusaha sektor minerba asal Sulawesi Tenggara (Sultra) Muhammad Fajar Hasan, ikut angkat suara. Dia menyayangkan pernyataan Vincent Piket tersebut.

Menurut Fajar, pernyataan itu terlalu dini dan gegabah, karena Indonesia masih melakukan banding atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) tentang kebijakan pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor nikel yang disengketakan oleh Uni Eropa.

“Perlu diketahui, bahwa posisi Indonesia dan Uni Eropa di forum panel WTO setara, karenanya Uni Eropa harus menghormati Indonesia," kata Fajar dalam keterangan pers diterima, Kamis (15/12/2022).

Fajar meminta agar Indonesia tidak terkesan didikte, sementara proses sengketa masih berlangsung. Sebab, dalam tata krama diplomatik, seorang Dubes, tidak etis mengeluarkan pernyataan seperti itu.

"Uni Eropa seolah-olah sudah merasa menang. Padahal, faktanya putusan WTO tersebut belum final, karena Indonesia masih melakukan upaya banding," jelas Fajar.

Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat ini menambahkan, pernyataan Dubes Uni Eropa seolah juga mendahului putusan final WTO dan dapat dimaknai sebagai upaya membangun opini dan mengintervensi WTO.

"Seharusnya Uni Eropa menahan diri, menunggu putusan final WTO. Jangan sampai proses sengketa yang sedang berjalan di WTO, direduksi oleh narasi propaganda Uni Eropa, yang mengandung pesan menyudutkan Indonesia," saran Fajar.

Fajar berharap, WTO bisa bersikap adil dan tidak terpengaruh oleh upaya agitasi Uni Eropa. WTO diyakini mampu bersikap imparsial dan netral, dengan memberikan kesempatan yang setara kepada setiap negara anggota dan badan dunia yang bersengketa.

"Uni Eropa mestinya menghormati posisi Indonesia sebagai tuan rumah atau pemilik kandungan komoditas nikel terbesar di dunia, dimana saat ini sedang membangun ketahanan ekonomi nasionalnya salah satunya berupa pengelolaan komoditas nikel di dalam negeri melalui program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan," jelas Pengurus Badan Hubungan Legislatif Kadin Indonesia ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Fokus Pengelolaan Dalam Negeri

Terakhir, Fajar mengakui, bahwa Indonesia sangat memahami bahwa era ini perdagangan antarnegara sangat terbuka, tidak lagi mengisolasi diri melalui sistem ekonomi tertutup. Efeknya, kebutuhan barang dan jasa antarnegara sudah saling terkoneksi, komoditas suatu negara dapat dirasakan kemanfaatanya oleh negara lain. Namun untuk saat ini, Indonesia terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan nikel masih fokus di dalam negeri, tidak untuk ekspor.

"Setiap negara di belahan bumi ini, pasti mendahulukan kepentingan nasionalnya, dan membangun kemandirian ekonomi domestik terlebih dahulu, Uni Eropa seharusnya menghormati kepentingan dalam negeri Indonesia," ungkap Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) ini.

Fajar memastikan, kebijakan pemerintah Indonesia tentang moratorium ekspor nikel, sejalan dengan kepentingan nasional dan aspirasi rakyat yang efeknya telah dirasakan secara berantai dari kebijakan nasional hilirisasi pengelolaan sumber daya alam, diantaranya, pertumbuhan ekonomi meningkat, khususnya bagi daerah dengan kandungan nikel melimpah.

“Uni Eropa tidak boleh mengabaikan situasi ini, bahwa ada kepentingan nasional Indonesia lebih besar dan prioritas, sehingga pengelolaan nikel masih bertumpu di dalam negeri, tidak diekspor," dia menandasi.

Sebagai informasi, program hilirisasi menopang pembangunan smelter existing sebanyak 82 smelter (berdasarkan data Kementerian Perindustrian RI). Dengan rincian 35 sudah beroperasi, 30 tahap konstruksi, dan 17 tahap Feasibility Study, mayoritas berada di Sulawesi dan Maluku Utara.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.