Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Yanuar Prihatin menilai gugatan terhadap sistem pemilu proporsional terbuka akan memberikan dampak yang besar. Bila sistem pemilu berubah menjadi tertutup atau coblos partai, bukan hanya mengubah masalah teknis, tapi mempengaruhi kebatinan partai politik dan cara kampanye.
Secara teknis memang akan memudahkan KPU untuk mempersiapkan pemilu. Khususnya masalah logistik pemilu. Namun, harga yang dibayar cukup mahal, terutama dampak kepada partai politik.
Baca Juga
Konfigurasi pencalegan partai politik akan berubah, pematangan dan kompetisi antar caleg juga terhenti. Serta perilaku politisi menjadi lebih elitis, dan hubungan caleg dengan konstituen hancur berantakan.
Advertisement
"Konfigurasi internal pencalegan di masing-masing parpol akan berubah, proses pematangan, pendewasaan dan kompetisi para caleg menjadi terhenti, perilaku politik para politisi akan berubah menjadi lebih elitis, hubungan caleg dan konstituen akan hancur berantakan," ujar Yanuar kepada wartawan, Jumat (30/12/2022).
Hubungan para anggota legislatif terpilih dengan masyarakat di daerah pemilihannya akan terganggu dengan sistem pemilihan yang dilakukan coblos partai langsung.
Yanuar juga menyoroti sikap Mahkamah Konstitusi bila akhirnya memutuskan untuk mengabulkan gugatan agar sistem proporsional tertutup diberlakukan. Sebab, pada tahun 2009, MK yang memutuskan sistem proporsional terbuka digunakan.
"Jika nanti MK mengabulkan gugatan judicial review ke arah proporsional tertutup, hal ini akan menjadi aneh. MK berarti punya standar ganda tentang tafsir konstitusi terkait sistem pemilu," katanya.
Perubahan Sistem Pemilu menjadi Domain Pembentuk UU
Lebih lagi, perubahan sistem pemilu seharusnya menjadi domain pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Kalau MK terlibat maka harus menggunakan pendekatan konstitutif.
Kalau alasan masalah pragmatisme, biaya mahal, persaingan tidak sehat antar caleg, sampai menurunnya loyalitas kepada partai, bukan persoalan konstitusionalitas. Hal itu menjadi ranahnya pembuat undang-undang.
"Bila MK terlibat lebih jauh soal ini, berarti MK bukan lagi menggunakan pendekatan konstitutif, tetapi malah terjebak dalam pendekatan aktual lapangan yang semestinya menjadi ranah pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang," ujar Yanuar.
Â
Reporter:Â Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement