Sukses

Respons KPK Disebut Tak Tegas Terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe

Alex menegaskan, selama ini KPK bekerja sama dengan TNI, Polri, dan institusi lainnya di Papua terus memantau kondisi Lukas Enembe.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata angkat bicara soal lembaganya dianggap tak tegas menghadapi Gubernur Papua Lukas Enembe.

KPK belum berani menjemput paksa Lukas Enembe meski politikus Partai Demokrat itu kedapatan dalam kondisi sehat saat meresmikan sembilan gedung pemerintahan di Papua.

"Dari pemberitaan yang bersangkutan meresmikan gedung kantor gubernur. Artinya yang bersangkutan bisa jalan, bisa menyampaikan sambutan dan lain sebagainya atau dengan kata lain bisa berpikir, tidak terganggu komunikasinya. Tentu menjadi perhatian kami," ujar Alex dalam keterangannya, Jumat (6/1/20223).

Alex mengatakan, Lukas Enembe belum dijemput paksa oleh KPK lantaran melihat kondisi di sekitar Gubernur Papua tersebut. Menurut Alex, KPK tak ingin penindakan yang dilakukan lembaga antirasuah nantinya menyebabkan efek samping lain yang terjadi di sana.

"Bukan kami tak tegas, bisa saja kami jemput paksa. Terkait dengan efek sampingannya nanti, kalau masyarakat nanti yang dirugikan terjadi konflik, tentu itu yang tak kami kehendaki. Untuk itu kami menunggu informasi dari aparat setempat apakah memungkinkan untuk dilakukan penahanan, dan seterusnya termasuk penjemputan," kata Alex.

Alex menegaskan, selama ini pihaknya terus memantau kondisi Lukas Enembe bekerja sama dengan TNI, Polri, dan institusi lainnya di Papua. Alex berharap penindakan yang dilakukan KPK tak menggangu jalannya roda pemerintahan di Papua.

"Kecuali dari Lukas Enembe yang menyampaikan akan kooperatif, yang bersangkutan bersedia ke Jakarta, itu akan lebih bagus. Buat masyarakat juga lebih bagus. Jalannya pemerintahan di daerah juga lebih bagus," kata Alex.

 

2 dari 3 halaman

Terima Suap dari Perusahaan Farmasi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut Gubernur Papua Lukas Enembe terima Rp1 miliar agar perusahaan farmasi bisa menggarap proyek infrastruktur. Perusahaan farmasi tersebut yakni PT Tabi Bangun Papua milik tersangka Rijanto Lakka.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut, pada 2019 hingga 2021 Rijanto mengikutsertakan perusahaannya untuk mengikuti beberapa proyek pengadaan infrastruktur di Papua. Padahal, PT Tabi Bangun Papua tidak punya pengalaman di bidang pembangunan.

"Untuk proyek kontruksi, perusahaan Tersangka RL (Rijanto Lakka) diduga sama sekali tidak memiliki pengalaman karena sebelumnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi," ujar Alex dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Kamis (5/1/2023).

Menurut Alex, Rijantono bisa mendapatkan proyek karena sudah melobi Gubernur Papua Lukas Enembe dan beberapa pejabat Pemprov Papua sebelum proses lelang dimulai.

Diduga kesepakatan yang disanggupi Rijanto dan diterima Lukas Enembe serta beberapa pejabat di Pemprov Papua di antaranya yaitu adanya pembagian persentase fee proyek hingga mencapai 14 % dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.

 

3 dari 3 halaman

Dapat 3 Proyek di Papua

Setidaknya, ada tiga proyek yang didapatkan Rijantono. Pertama yakni peningkatan Jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar. Lalu, rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar. Terakhir, proyek penataan lingkungan venue menembang outdoor AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar.

"Setelah terpilih untuk mengerjakan proyek dimaksud, Tersangka RL (Rijanto) diduga menyerahkan uang pada Tersangka LE (Lukas Enembe) dengan jumlah sekitar Rp1 miliar," kata Alex.

Sebelumnya, KPK menahan Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijantono Lakka. Dia merupakan tersangka kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur di Provinsi Papua. Dia dijerat sebagai penyuap Gubernur Papua Lukas Enembe.

"Ditahan untuk 20 hari pertama terhitung mulai tanggal 5 Januari 2023 sampai dengan 24 Januari 2023," ujar Alex.

Dalam kasus ini, Rijantono disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Lukas disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 dan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.