Liputan6.com, Jakarta - Partai NasDem mengajukan sebagai pihak terkait dalam gugatan sistem pemilu proporsional terbuka yang tengah berjalan di Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022.
Permohonan ini diajukan lantaran sikap NasDem yang menolak perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup atau coblos partai.
Permohonan itu diwakili oleh NasDem Hermawi Taslim dan Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai NasDem DKI Jakarta Wibi Andrino. Permohonan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi oleh kuasa hukum Ucok Edison Marpaung.
Advertisement
"Untuk itu, saya dengan kedudukan hukum sebagai anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta yang dipilih langsung oleh rakyat, memberikan kuasa kepada BAHU (Badan Advokasi Hukum) NasDem bertindak untuk dan atas nama saya menjadi Pihak Terkait dalam pengujian UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup dengan registrasi perkara nomor 114/PUU-XX/2022 di MK," ujar Wibi Andrino dalam keterangan pers, dikutip Jumat (6/1/2023).
NasDem menegaskan kembali sikapnya menolak sistem proporsional tertutup. Menurut Wibi, sistem ini tidak akan menciptakan hubungan keterwakilan antara anggota DPR dengan rakyat yang diwakilkannya.
"Sebab, rakyat tidak dapat memilih secara langsung wakilnya sebagaimana dijamin oleh UUD 1955," jelasnya.
Sementara itu, Hermawi menyoroti status salah satu pemohon gugatan UU Pemilu ini yaitu Yuwono Pintadi. Karena Yuwono menggunakan atribut dan identitas sebagai Partai NasDem dalam mengajukan gugatan di MK. Sikap itu tidak mewakili sikap NasDem dalam mengajukan permohonan.
"Permohonan tersebut tentunya akan mempengaruhi hak konstitusional Pihak Terkait dan Partai NasDem," ujarnya.
Untuk menguatkan dalil gugatannya, Hermawi akan menghadirkan saksi ahli di dalam persidangan yang sudah dijadwalkan pada 17 Januari mendatang.
PDIP Dukung Gugatan Sistem Proporsional Terbuka
Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mendukung gugatan terhadap sistem proporsional terbuka. Sebab saat ini situasi pemilu dengan sistem terbuka sudah jauh melenceng.
"Hasil evaluasi kita itu, sistem Pemilu kita itu sudah sangat individual liberal dan kalau kita lihat konstitusi, itu kan tidak klop ya, konsitusi kita ya pasal 22 e UUD 1945 itu sudah jelas bahwa pemilu untuk anggota dpr, dprd itu adalah partai politik (parpol), parpol dong bearti pesertanya,” kata Djarot saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (5/1/2023).
Karena alasan tersebut, menurut Djarot, hendaknya sistem pemilu berbasil pada parpol dan bukan perseorangan. Mulai masa berkampanye dengan membawa nama parpol, hingga penunjukkan calon anggota legislatif (caleg) yang juga dipilih oleh parpol.
"Parpol punya tanggungjawab untuk melakukan kaderisasi, pendidikan politik, menyiapkan kader untuk ditugaskan di lembaga legislatif, eksekutif, jadi porosnya itu parpol,” tegas Djarot.
Djarot meyakini, cara tersebut adalah jalan yang lebih sehat dan bukan mempersempit ruang demokrasi. Sebab, tanggungjawab penuh dipegang oleh parpol dan mandat terhadap kader diberikan kepada mereka para anggota terbaik.
"Ini tanggungjawab parpol untuk bisa menyiapkan kadernya yang akan ditugaskan melalui proses ada pendidikan politik, ada kaderisasi. sehingga parpol mmmemiliki tanggungjawab untuk mengevaluasi, merekrut, mendidik, mengkader kemudian melihat track recordnya lalu mengajukan,” Djarot menandasi.
Reporter: Ahda Bayhaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement