Liputan6.com, Jakarta - Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago menyatakan munculnya keinginan kembali ke desain sistem pemilu proporsional tertutup merupakan koreksi dan kritik terhadap penyelenggaraan sistem proporsional terbuka selama ini untuk terus diperbaiki.
Pangi menyebut kompleksitas sistem pemilu proporsional terbuka terkesan “melemahkan” partai politik.
Menurut Pangi, sistem proporsional terbuka memiliki kekuatan pada “figur” kandidat populis, melemahkan partai politik, tidak ada pembelajaran dan tidak menghormati proses kaderisasi di tubuh partai politik. Sementara proporsional tertutup menguatkan institusi kelembagaan partai politik.
Advertisement
“Menguatnya keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup boleh jadi karena antitesis rendahnya kualitas, kapasitas, mutu dan kompetensi 575 anggota DPR-RI yang terpilih di periode sekarang, walaupun mereka dipilih rakyat secara langsung tapi produk undang-undang yang dihasilkan jauh dari jeroan selera rakyat, undang-undang untuk kepentingan elite semata,” kata Pangi dalam keterangannya, Senin (9/1/2023).
Baca Juga
Pangi membeberkan beberapa alasan sistem pemilu proporsional terbuka telah merusak partai politik. Pertama; calon legislatif sesama di internal partai bersaing ketat satu sama lain, manusia menjadi serigala bagi sesamanya (leviathan), saling menerkam dan saling memakan di antara internal caleg.
Kedua; sistem proporsional terbuka melemahkan partai politik, tidak ada caleg yang benar-benar kampanye mengunakan visi dan misi yang telah disusun partai, masing-masing caleg berkampanye dengan cara, tema dan narasinya sendiri-sendiri bagaimana berfikir untuk menang mengalahkan caleg sesama kader di internal partai, bukannya berkompetisi dengan partai lain, sesama caleg kader internal partai berkontestasi dan berbenturan secara keras satu sama lain agar mendapatkan suara terbanyak di internal partainya.
“Sistem proporsional terbuka mengesampingkan tautan platform, visi dan misi partai hanya sebagai aksesoris pajangan belaka, hanya gimik, tidak digunakan masing-masing caleg sebagai fitur kampanye, realitasnya masing-masing caleg berkampanye untuk dirinya sendiri-sendiri,” ujarnya
Caleg Tak Mau Kerja Keras
Ketiga; sistem proporsional terbuka lebih cenderung menyebabkan pemilih memilih “figur” kandidat ketimbang tautan “partai”, itu maknanya sistem proporsional terbuka lebih mengandalkan “figur” ketimbang menguatkan sistem “kepartaian”, cenderung memilih presiden ketimbang partai, senang dengan nama, maka memilih nama dan tidak memilih partai.
“Tentu saja, memang tidak bisa disamaratakan kasusnya, misalnya PDIP dan PKS lebih cenderung yang menonjol pengaruh DNA partai ketimbang pengaruh kandidasi figur calonnya di dalam memutuskan pilihan politiknya, artinya “party effect” lebih menonjol daripada “person effect”,” ungkapnya.
Keempat, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan salah satu alasan rendahnya party-ID, hanya sebesar 13.2 persen, pemilih yang merasa dekat baik secara “ideologis” maupun secara “psikologis” dengan partainya, dugaan saya salah satu penyebab rendahnya party-ID karena penerapan sistem pemilu proporsional terbuka, sepanjang tetap memakai sistem proporsional terbuka, maka selama itu presentase party-ID di Indonesia tetap rendah.
“Kelima, sistem pemilu proporsional terbuka juga menyebabkan tingginya “split ticket voting”, tidak tegak lurus atau beririsan antara pilihan “partai” dan pilihan “presiden”. Fenomena split ticket voting adalah bentuk dari kegagalan partai politik politik di dalam mengelola isu dan program, kejenuhan konstituen yang kemudian menyebabkan pemilih abai terhadap “keinginan” partai, kecenderungan pemilih lari kepada calon lain yang justru tidak diendorse oleh partainya,“ ujarnya.
Keenam, sistem pemilu proporsional terbuka cenderung merusak sistem “meritokrasi” parpol, melemahkan proses kaderisasi partai. Yang tadinya bukan kader partai, lalu tiba-tiba bisa “nyelonong” jadi caleg, dapat nomor urut cantik lagi.
Sistem proporsional terbuka tokoh populis, artis dan publik figur mendapatkan tempat istimewa di partai (privilege), karena caleg artis dimanfaatkan sebagai “vote getter” mesin pengumpul suara semata oleh partai politik, bisa menjadi caleg di partai tersebut tanpa ada bukti kerja dan tanpa melalui proses kaderisasi yang matang. Jadi sistem pemilu proporsional terbuka melemahkan “eksistensi parpol”, karena kecenderungan pemilih memilih orang/nama ketimbang partai.
“Sistem proportional terbuka mengandalkan figur, artis yang tekenal bakal terpilih, mau di tarok di “partai bulan madu” sekalipun, kemungkinan terpilihnya jauh lebih besar, apa yang terjadi apabila ngak punya kompetensi, duduk sebagai wakil rakyat, ngak bisa berbuat apa apa,” ungkapnya.
Advertisement
Kelemahan Sistem Tertutup
Adapun yang menjadi kelemahan sistem proporsional tertutup; pertama, mengurangi interaksi dan intensitas kader partai dengan pemilih. Caleg yang terpilih bakal jarang turun bersosialisasi, menyapa dan menyalami masyarakat secara langsung, sebab caleg yang terpilih bertanggung jawab langsung kepada partainya bukan konstituennya, sumber kekuasaan bukan daulat “rakyat”, tapi daulat “elite” parpol.
Kedua; cenderung caleg tidak mau bekerja keras untuk mengkampanyekan dirinya dan partai, sebab mereka percaya yang bakal dipilih adalah caleg prioritas nomor urut satu, bukan basis suara terbanyak, itu artinya menurunkan persaingan antarkader internal caleg. Ketiga; kurang sesuai untuk partai baru dan partai kecil yang belum terlalu dikenal. Keempat, belum cocok untuk partai yang populis, yang belum kuat dan belum tumbuh secara merata sistem kaderisasinya.
“Kelima, menguatnya oligarki di internal partai politik, partai ada kemungkinan lebih mengutamakan kelompok dan golongan tertentu, kekuasaan berada di tangan segelintir orang. Keenam; proporsional tertutup di khawatirkan seperti memilih kucing dalam karung, pemilih banyak “ngak” kenal dengan daftar list nama calegnya, sebab pemilih tidak merasa dekat dengan pemilihnya,” pungkasnya.