Liputan6.com, Jakarta Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perizinan lahan kelapa sawit PT Duta Palma Group di Indragiri Hulu, Riau dengan terdakwa Pemilik PT Darmex Group atau Duta Palma Surya Darmadi alias Apeng kembali digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2023).
Dalam persidangan kali ini menghadirkan mantan Staf Ahli Menteri ATR/BPN Iing Sodikin Arifin hadir sebagai saksi.
Baca Juga
Iing membenarkan banyak masalah akibat aturan yang tumpang tindih antara Peraturan Daerah (Perda) dan Undang-undang mengenai kawasan hutan.
Advertisement
Menurut Iing hal itu banyak terjadi di Riau dan Kalimantan Tengah.
Dia mengatakan, jika ada masalah kepemilikan antara tanah perkebunan atau kehutanan, lazimnya dilakukan penelitian ke lapangan oleh beberapa pihak, termasuk Pemda, BPN, Polisi Kehutanan, kemudian dipaduserasikan dan diputuskan apakah diselesaikan sesuai Perda atau dikeluarkan izin pelepasan.
Jika kemudian diketahui memang perkebunan itu adalah area hutan, maka bisa dikenakan sanksi administratif.
“Berdasarkan pengalaman, sanksinya administratif, tertuang di PP 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan salah satu penyelesaian melalui polisi kehutanan dan penyidik kehutanan, dikasih waktu sampai 2023 untuk penyelesaian sanksi,” ujar Iing dalam kesaksiannya, Senin (16/1/2023).
Menurut Iing, dahulu tanah instansi jarang dicatat agar tertib adminitrasi. Namun UU Nomor 1 tahun 2004 menyatakan harus disertifikatkan. Menurut Iing peraturan undang-undang memiliki daya ikat, namun jika ada Peraturan Daerah (Perda) yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat, maka secara hirarki, Perda yang lebih berlaku.
“Pencatatan wajib biar negara tahu berapa kekayaannya. Aset itu harus dikuasai dan dimanfaatkan. Makanya bu Sri Mulyani bilang kenapa kalah dengan negara maju, karena aset tidak work,” ujarnya.
Kemudian, sejak 2016 harus ada izin perkebunan berdasarkan putusan MK nomor 138/2016. Sedangkan perkebunan yang sudah berjalan sebelum 2016 bisa diusahakan haknya.
Klaim Sah
Terhadap keterangan Iing, Penasihat Hukum Surya Darmadi, Juniver Girsang menyebut saksi ahli dengan jelas menyatakan sertifikat yang sudah dimiliki itu adalah sah dimiliki oleh badan hukum sepanjang belum pernah dibatalkan. Yang disebutkan saksi, menurut Juniver tidak ada persoalan hak guna usaha terhadap kepemilikan tanahnya.
“Dimana selama ini kejaksaan menyatakan HGU-nya ini bermasalah, dengan ada ahli pertanahan terjawablah dengan tegas sertifikat yang sudah timbul tidak ada alasan dinyatakan tidak sah sepanjang itu tidak ada tindakan hukum, proses hukum,” ujarnya di pengadilan.
Yang kedua, kata dia, saksi Iing menjelaskan dasar kejaksaan selama ini yang menyatakan daerah Riau itu masuk kepada Tata Guna Hak Kesepakatan (TGHK). Ternyata dari paparan saksi-saksi, disebutkan bahwa sampai kini belum ada penetapan hutan di wilayah tersebut.
“Undang-undang pasal 15 UU kehutanan menjelaskan, untuk menetapkan kawasan hutan Itu harus melalui empat. Penataan, tata kelola, pendistribusiaan barulah ada penetapan kawasan hutan. Kalau tidak penetapan itu berarti daerah itu belum ada suatu ketentuan menyatakan kawasan hutan,” jelasnya.
Juniver menyebut, pernyataan saksi ahli yang menyebutkan bahwa kawasan hutan di seluruh Riau, maka harus berdasarkan penetapan kawasan hutan. Terbukti, pengurusan sertifikat terhadap tiga lokasi yang bukan kawasan hutan dan area penggunaan lain berbarengan yang berdekatan.
“Nah inilah tadi kejaksaan, dari ahli menyatakan karena terjadi friksi tumpang tindih ini, pemerintah pimpinan Pak Jokowi melihat harus ada jalan keluar dibuatlah Undang-undang Cipta Kerja, seharusnya kejaksaan menghargai, menghormati UU Cipta Kerja ini, kalau tidak, tidak akan selesai. Karena dari data yang kita peroleh permasalahan tumpang tindih ini hampir 3,2 juta hektare di Indonesia,” kata dia.
Advertisement